Orang Muda dan Meritokrasi
Akrobat para politikus bukan hanya catatan sejarah, juga asupan pembelajaran generasi muda yang akan memimpin bangsa.
Orang muda menjadi sorotan dalam kaitan dengan persiapan Indonesia menyongsong usia emas pada 2045.
Target Indonesia menjadi negara maju dan sejajar dengan negara adidaya dibebankan pada manusia muda Indonesia yang diharapkan tangguh, unggul, berkualitas, dan memiliki karakter.
Banyak pejabat negara menyampaikan bahwa generasi yang akan mewujudkan Indonesia Emas adalah generasi muda. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pesan kepada anak-anak muda saat membuka Festival Terampil Tahun 2019 agar jangan gampang mengeluh dan siap untuk bekerja superkeras.
Yang bisa diambil dari kisah perjuangan hidup Presiden Jokowi sendiri, ”memulai sesuatu harus dan lebih baik kalau itu dimulai dari nol. Bukan dari langsung memiliki dan punya sesuatu yang besar, karena kalau dimanjakan seperti itu akan gampang ditelan oleh gelombang-gelombang. Gelombang kecil saja mungkin langsung ambruk, apalagi gelombang besar” (https://setkab.go.id/pesan-kepada-anak-anak-muda- presiden-jokowi-jangan-gampang-mengeluh/).
Kisah perjuangan Jokowi yang dikatakan ”tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki agunan, tidak memiliki kekayaan, tidak memiliki orangtua yang bisa memberikan bantuan modal” menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama pengagum dan pemuja. Kisah keberhasilan seperti ini sering menjadi contoh sistem atau budaya meritokrasi yang jadi andalan dalam membangun SDM yang andal berdasarkan asas keadilan sosial.
Banyak pejabat negara menyampaikan bahwa generasi yang akan mewujudkan Indonesia Emas adalah generasi muda.
Meritokrasi adalah istilah yang digunakan 60 tahun lalu oleh Michael Young, sosiolog praktis yang memelopori eksplorasi ilmiah modern terhadap kehidupan sosial kelas pekerja Inggris. Menurut Young, meritokrasi mewakili sebuah visi di mana kekuasaan dan hak istimewa akan dialokasikan berdasarkan prestasi individu, bukan berdasarkan asal-usul sosial.
Harapan dan hambatan
Terinspirasi oleh cita-cita meritokratis, banyak orang saat ini berkomitmen pada pandangan tentang bagaimana hierarki uang dan status di dunia harus diatur. Pekerjaan dan posisi seharusnya tak diberikan kepada orang-orang yang memiliki koneksi atau silsilah, tetapi kepada mereka yang paling memenuhi syarat untuk pekerjaan tersebut, terlepas dari latar belakang mereka.
Pada titik ini, pendidikan (seharusnya) berperan menciptakan kesempatan bagi setiap manusia muda untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk menjadikan dirinya layak dan kompeten untuk meraih posisi dan melakukan pekerjaan yang diidamkan.
Melalui pendidikan, anak dari latar belakang keluarga miskin seharusnya punya kesempatan yang sama dengan anak dari keluarga kaya untuk membangun masa depannya melalui kerja keras. Sayangnya, pendidikan melalui jalur persekolahan masih belum memenuhi harapan itu. Sekolah negeri, apalagi swasta, masih tersegregasi dan makin mengukuhkan perbedaan kelas antarsiswa.
Masih ada sekolah-sekolah elite yang dijadikan mercusuar oleh pemerintah dan masyarakat, sementara anak-anak miskin tak memperoleh layanan pendidikan dengan standar mutu yang sama. Kebijakan sistem zonasi yang bertujuan pada pemerataan kesempatan bagi semua anak untuk meraih pendidikan bermutu belum bisa dilaksanakan dengan optimal.
Bahkan, sebagian pendidik yang mestinya memberikan harapan kepada anak didiknya malah merasa kurang yakin terhadap masa depan mereka.
Penelitian kami tentang peran bahasa Inggris dalam meritokrasi di Indonesia menemukan bahwa 260 responden guru meyakini bahasa Inggris penting bagi kesuksesan siswa, tetapi ada perbedaan antara guru yang mengajar di sekolah miskin dan di sekolah mapan dalam keyakinan terhadap masa depan siswa mereka.
Para guru yang mengajar di sekolah miskin menganggap siswanya tak memiliki kesempatan yang sama untuk sukses dalam hidup (Lie dkk, Journal of Multilingual and Multicultural Development, 2022).
Meritokrasi (Sandel, 2020) mewakili konsep kunci di sini. Dua aspek yang agak kontradiktif dari meritokrasi adalah, pertama, pandangan bahwa setiap orang harus memiliki akses yang sama terhadap sumber daya sehingga pencapaian dalam pendidikan, karier, dan kekayaan hanya bergantung pada upaya yang mereka lakukan.
Namun, aspek kedua dari meritokrasi mempertanyakan mengapa, bahkan jika ada ”bidang persaingan yang setara” bagi semua orang, apakah adil untuk melakukan hal tersebut?
Pertanyaan ini menegaskan perbedaan antara equality (pemerataan) dan equity (keadilan) dan membawa perdebatan tentang keberpihakan.
Berbagai akrobat oleh para politikus bukan hanya jadi catatan sejarah, melainkan juga asupan pembelajaran bagi siswa sekolah menengah dan mahasiswa yang akan memimpin bangsa saat mereka berusia 35-45 pada 2045.
Harapan generasi emas
Apa yang belum berhasil dicapai melalui jalur persekolahan formal adalah kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk mendapat pendidikan bermutu agar bisa mengubah jalan hidupnya dan meraih keberhasilan.
Mayoritas yang tersaring bisa masuk ke perguruan tinggi terbaik masih dari kalangan keluarga dengan privilese dan hanya sedikit sekali outliers dari kalangan keluarga miskin.
Sudah ada berbagai upaya pemerintah dan masyarakat, tetapi belum cukup mengubah struktur masyarakat. Pendidikan tak hanya terjadi di sekolah. Apa yang kurang berhasil dilakukan di jalur persekolahan formal bisa diperoleh di relasi sosial-kultural di masyarakat.
Ada modeling sosial yang juga menjadi sumber inspirasi masyarakat. Kunjungan Presiden Jokowi selalu disambut sangat meriah dan penuh cinta oleh masyarakat di banyak daerah, terutama daerah tertinggal, karena figur Jokowi membawa harapan dan inspirasi.
Seseorang yang ”tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki agunan, tidak memiliki kekayaan, tidak memiliki orangtua yang bisa memberikan bantuan modal” bisa menapak jalan sukses hingga mencapai posisi tertinggi di negara ini melalui kerja superkeras, ketekunan, dan karakter menjadi persona acuan, terutama bagi orang muda dengan latar belakang yang sama.
Beberapa hari ini, Indonesia menonton drama politik menyongsong 2024. Berbagai akrobat oleh para politikus bukan hanya jadi catatan sejarah, melainkan juga asupan pembelajaran bagi siswa sekolah menengah dan mahasiswa yang akan memimpin bangsa saat mereka berusia 35-45 pada 2045.
Orang-orang muda ini akan menguji pelajaran tentang kerja keras, ketangguhan, dan etika yang mereka dengar dari guru dengan apa yang mereka tonton dari para aktor politik itu.
Baca juga : Meritokrasi untuk Republik
Anita Lie Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya