Agar tidak terjerumus ke arah Kakistocracy melalui politik transaksional, nepotisme, senioritas, konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan, dan jaringan mafia, Indonesia harus direformasi melalui prinsip meritrokasi.
Oleh
SUKIDI
·3 menit baca
SALOMO TOBING
Sukidi
”Selama ratusan tahun,” kata Michael Young dalam The Rise of the Meritocracy (1958), ”masyarakat telah menjadi medan pertempuran di antara dua prinsip besar— prinsip seleksi oleh keluarga dan prinsip seleksi berdasarkan prestasi.” Prinsip seleksi atas dasar meritokrasi telah menjadi kisah sukses dua negara maju Singapura dan Amerika. Sementara Republik ini rentan terjerumus ke arah Indonesian Kakistocracy, yang ditandai dengan kepemimpinan yang tak kompeten dan sarat penyimpangan moral di semua lini penyelenggaraan negara.
Prinsip seleksi berdasarkan meritokrasi mengantarkan Singapura menjadi negara maju. Berasal dari ayah yang lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 1903, Lee Kuan Yew menjadi arsitek brilian dalam kesuksesannya mentransformasikan Singapura dari kota pelabuhan tropis kecil tanpa kekayaan sumber daya alam menjadi negara maju dengan keunggulan modal manusia, kualitas hidup, kesehatan, pendidikan, dan pendapatan di dunia atas dasar prinsip meritokrasi yang non-diskriminatif.
Pidato Lee sejak 1971, ”Singapura adalah meritokrasi dan orang-orang ini telah naik ke puncak dengan prestasi, kerja keras, dan kinerja tinggi mereka sendiri.”
Spirit meritokrasi telah mendorong orang-orang berkecakapan dari berbagai latar belakang untuk berprestasi di Singapura.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Lee Kuan Yew Besuk SoehartoMantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew meninggalkan Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta seusai menjenguk Mantan Presiden Soeharto, Minggu (13/1/2008).
Kepemimpinan meritokratik yang berakar pada tradisi Asia, terutama Konfusianisme, ternyata meninggalkan keterpesonaan intelektual pada Ian Buruma ketika menulis di majalah Time (2005), ”Lee’s mark on history would have to be as a kind of Asian philosopher king.”
Melihat Lee sebagai personifikasi Asian philosopher king, bukan sekadar mengingatkan pada tradisi Konfusianisme—karena Konfusius mengajarkan bahwa mereka yang memiliki keunggulan dalam kebajikan dan kecakapan harus memerintah masyarakat—melainkan juga pada tradisi Yunani. Ini karena Plato, dalam Republic yang masyhur itu, berimajinasi tentang keunggulan the philosopher king yang berhak memimpin terwujudnya masyarakat yang adil. Dalam perspektif Barat, negara-kota Singapura itu tampak seperti versi teknologi tinggi dari Republic Plato,” tulis Adrian Wooldridge dalam The Aristocracy of Talent (2021), tetapi ”dalam perspektif Timur, negara-kota Singapura tersebut terlihat seperti versi tinggi dari negara Mandarin Konfusian.”
Lee Kuan Yew dikaitkan dengan Thomas Jefferson, bapak pendiri bangsa Amerika, dalam kontribusinya pada meritokrasi sebagai prinsip utama pemerintahan.
Agar tidak terjerumus ke arah Indonesian Kakistocracy melalui politik transaksional, nepotisme, senioritas, konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan, dan jaringan mafia, Republik ini harus direformasi melalui prinsip meritokrasi
Menurut profesor Harvard Michael J Sandel dalam karya terbarunya, The Tyranny of Merit (2020), para pendiri Republik Amerika memandang diri mereka sendiri sebagai Men of Merit, dan berharap orang-orang yang berbudi pekerti luhur dan berpengetahuan akan terpilih untuk menjabat. Mereka menentang aristokrasi warisan, tetapi tidak tertarik pada demokrasi langsung, yang mereka khawatirkan dapat mengantarkan demagog ke tampuk kekuasaan. Mereka berusaha merancang institusi, seperti pemilihan tidak langsung Senat AS dan presiden, yang akan memungkinkan orang yang cakap dan pantas memerintah. Thomas Jefferson menyukai aristokrasi natural yang didasarkan pada kebajikan dan bakat daripada aristokrasi buatan yang didasarkan pada kekayaan dan kelahiran.
Meritokrasi yang menjadi kisah sukses Singapura dan Amerika harus ditegakkan untuk kemajuan Republik Indonesia. Meskipun meritokrasi telah menjadi tradisi mulia selama ratusan tahun, Amerika pun pernah terjerumus ke arah American Kakistocracy, meminjam istilah Norm Ornstein dalam The Atlantic (2017), untuk merujuk pada ”pemerintahan yang dikendalikan orang-orang terburuk dan paling tidak bermoral di antara kita”—Donald Trump dan jaringan mafianya.
Agar tidak terjerumus ke arah Indonesian Kakistocracy melalui politik transaksional, nepotisme, senioritas, konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan, dan jaringan mafia, Republik ini harus direformasi melalui prinsip meritokrasi. Hal itu adalah tata kelola pemerintahan yang benar oleh orang-orang yang memiliki bukan sekadar kecakapan dan prestasi, melainkan juga kebajikan dan kebijaksanaan.
Spanduk kampanye anti politik uang dan politik sara diabadikan melalui pantulan kaca spion di sepanjang Jalan Ceger Raya, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (5/3/2020).
Sebagai impian pendiri bangsa yang mendesain Indonesia berbentuk Republik modern ketimbang monarki dan aristokrasi, meritokrasi harus ditegakkan kembali sebagai prinsip utama pemerintahan untuk mengantarkan Indonesia Emas 2045 sebagai negara maju. Impian negara maju dapat ditegakkan melalui prinsip meritokrasi. Meritokrasi untuk Republik ini harus dimulai pertama dan utama dengan reformasi tata kelola pemerintahan secara benar di semua aspek penyelenggaraan negara.
Kita sudah mencapai puncak hipokrisi dalam penyelenggaraan negara. Saatnya kita semua, khususnya pemimpin, harus berbenah diri secara total dan jujur, now or never! Ini semua semata-mata untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.