Kita mengapresiasi langkah cepat Jokowi mengisi kekosongan di Kementan. Namun, publik bisa mempunyai interpretasi lain.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Politisi dan penguasa sering kali diidentikan dengan pecatur. Setiap langkah atau kebijakan yang dibuat diartikan seperti langkah bidak catur.
Kebijakan yang dibuat, seperti melangkahkan buah-buah catur, mengandung strategi dan ”kepentingan” yang harus dibaca dan dicermati oleh lawan main. Jika tak waspada, raja/ratu dalam permainan catur pun terguling. Kalah. Bisa juga sebaliknya, atau berakhir imbang. Seri atau remis.
Sebagai pejabat politik, langkah Presiden Joko Widodo mengangkat Andi Amran Sulaiman sebagai Menteri Pertanian lagi, mengganti Syahrul Yasin Limpo yang terjerat kasus korupsi, bisa dilihat tak semata-mata pergantian pejabat negara. Apalagi, saat ini kita sudah memasuki tahun politik. Dan, Presiden Jokowi dipandang memiliki daya untuk memengaruhi arah dukungan publik pada pasangan calon presiden/wakil presiden yang akan berlaga pada Pemilu 2024.
Kita mengapresiasi langkah cepat Presiden Jokowi untuk mengisi kekosongan pimpinan di Kementerian Pertanian. Segera ada kepastian di kementerian itu. Apalagi, tokoh yang ditunjuk pernah menjadi Mentan sehingga tak perlu belajar lagi, dan bisa lekas melaju mengatasi persoalan pangan di negeri ini. Namun, publik bisa mempunyai interpretasi lain.
Presiden mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat pejabat pembantunya, termasuk menteri atau kepala staf angkatan. Barangkali bukan kebetulan semata jika daerah asal Mentan yang baru ini sama dengan pendahulunya, yaitu Sulawesi Selatan. Namun, keduanya berasal dari partai politik yang berbeda. Pilihan ini, seperti melangkahkan bidak dan buah catur lainnya, apakah memuat strategi atau ”perangkap” yang bisa menyulitkan, bahkan mematikan langkah lawan?
Syahrul dari Partai Nasdem, yang telah menjadi rahasia umum, berseberangan dengan Presiden Jokowi dalam pencalonan presiden/wapres. Sebaliknya, Amran Sulaiman dari Partai Gerindra mengusung calon presiden/wapres yang dekat dengan Presiden Jokowi, yakni putra Presiden.
Pada Pemilu 2019, di Sulsel, Jokowi-Ma’ruf Amin meraih suara lebih kecil dibandingkan dengan Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno. Sebaliknya, pada Pemilu 2014 ,Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla menang dibandingkan dengan Prabowo, yang kala itu bersama Hatta Radjasa. Kalla pada Pemilu 2024 tampaknya memiliki pilihan politik berbeda dengan Presiden Jokowi.
Sulsel adalah salah satu dari tujuh provinsi yang harus dicermati. Selain memiliki jumlah pemilih yang besar, daerah itu merepresentasikan timur Indonesia. Siapa pun yang berkontestasi dalam Pilpres 2024, termasuk pendukungnya, tak boleh melepaskan suara di Sulsel untuk memenangi pemilu.
Presiden mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat para pembantunya. Namun, dalam tahun politik seperti saat ini, Kepala Negara perlu lebih terbuka kepada publik terkait alasannya dalam mengangkat pejabat publik. Rakyat yang kian cerdas akan membaca setiap langkah bidak yang dilakukan Presiden, dan bersuara jika dirasakan mengusik rasa keadilan. Suara publik ini sesungguhnya wujud dari kecintaan pada pemimpinnya. Dan, bukankah rakyat sesungguhnya pemilik kedaulatan?