Diversifikasi Pangan Berbasis Pasar
Asupan energi warga Indonesia mayoritas dipenuhi dari beras dan gandum. Ini tragedi, amat rentan, dan tak berkelanjutan.
Pemerintah laksana ”tersandera” tatkala tingkat partisipasi konsumsi beras nyaris sempurna, hampir 100 persen. Seperti diuraikan secara terang benderang di Tajuk Rencana Kompas, 18 Oktober 2023, beras menjadi komoditas super sensitif. Manakala harganya naik, bukan saja bisa memicu inflasi, tetapi juga membuat jumlah warga miskin makin miskin. Dan mereka yang rentan/hampir miskin atau hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan bakal jatuh miskin.
Ini karena beras adalah komoditas pangan utama penyusun garis kemiskinan dengan andil sekitar 22 persen. Tak ada barang/jasa lain yang menandingi beras.
Kala produksi beras diperkirakan turun sekitar 650.000 ton tahun ini ketimbang tahun lalu, seperti dilaporkan Badan Pusat Statistik, psikologi pasar potensial terguncang. Mereka yang menguasai stok bisa saja menahan pasokan. Harapannya, mereka bisa menangguk untung dari kenaikan harga.
Situasi bisa tak terkendali manakala pemerintah tidak memiliki stok beras memadai untuk mengintervensi dan mengendalikan pasar. Dengan alasan negara tak boleh berjudi dengan ketidakpastian, sejumlah langkah diambil. Selain operasi pasar, juga mengguyur warga miskin dengan bantuan beras. Sumber berasnya dari impor.
Baca juga: Ironi Impor Beras
Sudah 3,5 juta ton kuota impor beras dikeluarkan pemerintah buat Bulog. Ini besar, bahkan terbesar setelah reformasi 1997-1998. Padahal, tahun lalu Indonesia meraih pengakuan dari IRRI (International Rice Research Institute) telah berswasembada beras periode 2019-2021. Apakah ini bukan tamparan bagi pemerintah?
Inilah salah satu risiko ”keberhasilan” masalisasi beras ke seluruh negeri, dari Sabang sampai Serui, hingga bergantung akut ke beras. ”Prestasi” ini memaksa pemerintah menyediakan beras dalam jumlah cukup di mana saja, kapan saja, dan bisa dibeli semua orang, terutama yang miskin.
Kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi, terutama telekomunikasi, dibarengi perbaikan kesejahteraan plus aneka kebijakan yang salah membuat pola makan warga mengkristal kepada beras. Sementara pangan lokal, seperti gaplek, jagung, ubi, dan cantel, tidak saja kian tersingkir, tetapi justru menjadi pakan pokok ternak.
Saat pangan lokal dibelit aneka masalah, pangan introduksi berbasis terigu justru kian perkasa. Sepuluh tahun terakhir, konsumsi bahan pangan dari gandum impor yang diolah jadi terigu itu meningkat pesat. Pada 1987, konsumsi terigu per kapita Indonesia masih 1,05 kilogram per tahun, naik menjadi 2,64 kg per tahun pada 1996, dan meledak menjadi 17,1 kg per tahun pada tahun 2020.
Dalam 33 tahun, konsumsi terigu meledak lebih dari 16 kali lipat. Di Indonesia tidak ada pangan lain yang mengalami ledakan sebesar konsumsi terigu. Konsekuensinya, impor gandum meledak. Pada 2002 impor biji gandum masih 4 juta ton, meledak menjadi 11,69 juta ton pada 2021 senilai Rp 54 triliun. Impor naik tiga kali lipat hanya dalam dua dasawarsa. Tak sedikit devisa melayang.
Dalam 33 tahun, konsumsi terigu meledak lebih dari 16 kali lipat. Di Indonesia tidak ada pangan lain yang mengalami ledakan sebesar konsumsi terigu.
Penetrasi ini tak lepas dari keberhasilan para pelaku usaha merekayasa aneka pangan asal terigu menjadi pangan murah, mudah didapat, dan sesuai selera lidah warga. Di luar itu, keberhasilan terigu menyodok ke posisi dua di susunan menu diet warga adalah kebijakan menyerahkan diversifikasi pangan ke pasar.
Kebijakan ini bercirikan dua hal. Pertama, memastikan kemudahan akses fisik. Ini mewujud dalam bentuk pangan tersedia di mana saja dan kapan saja. Dari kawasan terpencil, tertinggal, terdepan, dan terluar hingga kota metropolitan. Musim paceklik atau panen, pasokan dijamin ada. Juga kemudahan penyajian dan memiliki komplementari yang luas dengan pangan lain.
Revolusi distribusi, yang ditandai ”kepungan” minimarket di tiap jengkal permukiman warga dan menjamurkan warung kelontong, memudahkan akses fisik. Warga hanya perlu menyimpan stok sewajarnya karena tak ada kelangkaan.
Kedua, memastikan kemudahan akses secara ekonomi. Ini mewujud dalam bentuk harga yang terjangkau dan stabil. Harga yang terjangkau dan stabil ini jadi keniscayaan untuk memastikan semua orang, terutama warga yang miskin dan rentan, tidak terganggu daya belinya. Sudah pasti, pangan tersebut secara organoleptik (rasa, warna, tekstur, dan aftertaste) dan kandungan gizi (protein, mineral, dan vitamin) juga lebih unggul daripada kompetitor.
Tidak berkelanjutan
Semua rincian atribut tersebut ditemukan pada beras dan terigu. Sebaliknya, pada pangan lokal rincian atribut itu justru jadi titik kelemahan. Pangan lokal biasanya (hanya) unggul pada manfaat tambahan: indeks glikemik rendah, serat, dan antioksidan tinggi.
Pola pangan yang bertumpu kepada secuil spesies ini boleh dibilang sebagai tragedi. Sistem ekologis penopang keanekaragaman hayati mengalami erosi luar biasa. Ironisnya, diikuti kerusakan lingkungan pula. Sistem produksi dan budaya pangan seperti ini amat rapuh dan rentan. Jika terjadi gangguan pada sistem produksi dan distribusi, dampaknya akan serius, terutama di wilayah bukan produsen.
Sistem produksi dan budaya pangan seperti ini juga tidak berkelanjutan. Ketika terjadi guncangan dari luar, baik karena pandemi, krisis, maupun resesi, sistem tak mudah dipulihkan. Dengan kekayaan hayati dan ekologi yang beragam, diversifikasi pangan idealnya mengarah kepada pangan lokal.
Pola pangan yang bertumpu kepada secuil spesies ini boleh dibilang sebagai tragedi. Sistem ekologis penopang keanekaragaman hayati mengalami erosi luar biasa.
Menggeser pola diet itu perlu kebijakan hulu-hilir, radikal, konsisten, dan memihak kepentingan domestik. Kandidatnya banyak: sorgum, sagu, ubi kayu (mocaf), jagung, ubi jalar, sukun, dan yang lain. Intinya, semua pangan lokal yang sudah siap masuk pasar dan mengisi kebutuhan tepung industri bisa jadi kandidat. Mengapa harus tepung? Selain memudahkan fortifikasi, juga gampang diolah menjadi aneka penganan sesuai selera. Setidaknya ada lima hal yang diperlukan agar peta diversifikasi pangan tak layu dan mati.
Pertama, pastikan pasar di hilir dengan harga yang menarik dan menguntungkan. Pasar yang pasti akan menggerakkan petani dan pelaku usaha di hulu untuk mengisinya. Apabila di industri ada kewajiban memenuhi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), pemerintah perlu mewajibkan industri pengguna tepung terigu menyerap tepung lokal. Kewajiban ini disesuaikan kemampuan produksi tepung domestik.
Kedua, tidak memilih kebijakan melepas ke pasar (hands-off policy). Sebagai industri bayi (infant industry), tak adil tepung lokal–yang melibatkan ribuan (bahkan jutaan) petani/UKM, menciptakan dampak berganda maha luas—bersaing dengan industri tepung terigu yang sudah mapan.
Baca juga: Diversifikasi Pangan Pengganti Beras
Ketiga, perlu dukungan kebijakan fiskal yang memadai, seperti alokasi anggaran di APBN, tarif bea masuk, pajak, kredit berbunga rendah, dan subsidi pertanian. Amat mungkin pada tahap awal, tepung lokal belum kompetitif dengan harga terigu dan beras. Selisih harga antara tepung lokal dengan terigu dan beras bisa saja disubsidi. Dari mana uangnya? Mengapa tidak mengenakan bea masuk impor gandum yang duitnya bisa untuk menyubsidi harga tepung lokal. Dengan cara ini, harga tepung lokal kompetitif dan stabil.
Keempat, perlu dukungan riset intensif di hulu, juga riset olahan pangan berbasis tepung lokal, baik dari sisi rasa, warna, dan tekstur. Termasuk di dalamnya riset yang fokus pada kemudahan penyajian dan komplementari yang luas dengan pangan lain. Harus diakui, terigu dengan glutennya adalah komplementari yang luas dan bisa dimasak untuk aneka penganan: mi, aneka kue, roti, dan yang lain.
Kelima, memproduksi pangan lokal sesuai skala ekonomi di lahan yang belum optimal. Ditambah kemudahan akses, yakni tersedia di mana saja dan kapan saja, dan rekayasa sosial (social engineering) dengan membangun konstruksi sosial lewat edukasi dan kampanye/marketing/iklan intens dan terus-menerus terbuka besar peluang pangan lokal jadi tuan di negeri sendiri.”
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)