Studi Agama di Perguruan Tinggi
Dapatkah PT Islam di Indonesia menjadi pionir studi agama non-Islam dan masyarakat non-Muslim?
Menarik untuk dipertanyakan dan direnungkan: mengapa ada banyak perguruan tinggi non-Islam, khususnya yang berafiliasi Kristen dan Yahudi, yang memiliki program studi, jurusan, departemen, atau lembaga riset tentang Islam dan masyarakat Muslim?
Sebaliknya, kenapa hampir susah didapatkan perguruan tinggi (PT) Islam (atau yang dikelola umat Islam) yang memiliki program studi, jurusan, departemen, atau lembaga riset tentang agama non- Islam dan masyarakat non- Muslim, misalnya studi kekristenan, keyahudian, Buddhisme, Hinduisme, agama lokal, dan sebagainya?
Berbagai PT di Barat, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia, atau negara-negara Eropa—negeri ataupun swasta, kampus besar ataupun kecil, kampus riset ataupun teaching college, baik yang denominasional (berafiliasi ke agama/kelompok agama tertentu) maupun non-denominasional— mempunyai program studi untuk mempelajari fenomena berbagai agama di dunia, baik agama lokal maupun transnasional, tak terkecuali Islam.
Bukan hanya di negara Barat, sejak beberapa tahun terakhir, kampus-kampus di Asia Timur (China, Jepang, Korea Selatan, atau Taiwan) juga mulai membuka program studi Islam. PT di Singapura, khususnya National University of Singapore, sudah lama memiliki program studi Islam.
Program studi Islam ini menyebar di berbagai departemen dan jurusan, khususnya bidang ilmu sosial dan humaniora (sejarah, antropologi, sosiologi, ilmu politik, arkeologi, dan sebagainya), bukan hanya di departemen atau jurusan agama. Bahkan di fakultas hukum (seperti di Harvard), mereka juga memiliki divisi hukum Islam yang kuat.
Kampus-kampus denominasional di AS, misalnya yang berafiliasi ke Katolik (University of Notre Dame, Georgetown University, Boston College, dan sebagainya), Yahudi (seperti Brandeis University), Mormon (seperti Brigham Young University), atau beberapa ”kampus Protestan” (Emory University, Graduate Theological Union, Union Theological Seminary, dan sebagainya) mempunyai program studi Islam yang baik.
Program studi Islam ini menyebar di berbagai departemen dan jurusan, khususnya bidang ilmu sosial dan humaniora (sejarah, antropologi, sosiologi, ilmu politik, arkeologi, dan sebagainya), bukan hanya di departemen atau jurusan agama.
Almamater penulis, Boston University, yang berafiliasi ke Kristen Methodis, juga memiliki banyak sekali program studi Islam yang tersebar di berbagai fakultas dan departemen.
Untuk memenuhi keperluan program studi Islam itu, kampus-kampus tersebut merekrut para ahli dan spesialis (dosen, periset, atau fellow), baik ”sarjana sekuler” (ateis atau agnostik) maupun sarjana dari agama tertentu (termasuk sarjana Muslim), yang fokus di bidang studi agama Islam atau masyarakat Muslim.
Dengan kata lain, bukan hanya sarjana non-Muslim, para sarjana Muslim dari beberapa negara (termasuk dari Indonesia) juga sudah banyak yang menjadi tenaga pengajar dan peneliti tentang Islam dan masyarakat Muslim di kampus-kampus Barat.
Tradisi studi Islam di Barat
Tradisi studi Islam di Barat dimulai dari kelompok orientalis, yakni sekelompok sarjana dan sejarawan yang mempelajari berbagai aspek tradisi dan ”budaya oriental”—maksudnya, Asia dan Timur Tengah (Timteng)—termasuk agama, bahasa, sastra, filosofi, hukum, dan sejarah, pada abad ke-18/19 Masehi.
Perlu diingat, tidak semua orientalis mempelajari Islam dan masyarakat Muslim. Adapun orientalis yang ahli di bidang studi/kajian Islam, masyarakat Muslim, atau Arab/Timteng yang masyhur kala itu seperti Ignaz Goldziher dari Hongaria, Theodor Noldeke dari Jerman, dan Christian Snouck Hurgronje dari Belanda.
Oleh banyak sarjana, trio orientalis ini dianggap sebagai pionir studi Islam di Barat. Dari ketiga orientalis ini, Hurgronje yang paling populer di Indonesia. Oleh umat Islam, Hurgronje dianggap ”antek intelektual” Belanda meskipun ia telah berkontribusi di bidang kajian keislaman dan kemusliman.
Orientalis lain yang masyhur di bidang kajian Islam, masyarakat Muslim, atau sejarah dan geokultural Timteng adalah Joseph Schacht, Hamilton HR Gibb, Wilfred Cantwell Smith, Philip K Hitti, atau Montgomery Watt. Mereka telah menulis banyak karya akademik tentang Islam, Muslim, dan/atau Timteng.
Para ilmuwan sosial—khususnya sosiolog dan antropolog—pada mulanya tidak tertarik dengan studi Islam meskipun Max Weber yang dianggap sebagai salah satu trio pendiri sosiologi (bersama Emile Durkheim dan Karl Marx) pernah menyinggung tentang Islam dalam karya-karyanya.
Adapun para pendiri antropologi, seperti Franz Boas atau Bronislaw Malinowski, sama sekali tidak menyinggung Islam/Muslim dalam karya-karya mereka.
Dalam antropologi, sependek pengetahuan penulis, antropolog Inggris Sir Edward Evans-Pritchard yang memulai mempelajari Islam dan masyarakat Muslim lewat karyanya, The Sanusi of Cyrenaica (terbit tahun 1949), dan membahas kelompok sufi atau tarekat Sanusiyah di Libya.
Mengikuti tradisi Evans- Pritchard, antropolog AS, mendiang Clifford Geertz, kemudian meneliti masyarakat Islam di Indonesia (Kediri, Jawa Timur) dan Maroko pada tahun 1950-an/1960-an.
Selain Geertz, ada mendiang Fredrik Barth dari Norwegia yang juga menjadi pionir studi antropologi masyarakat Islam. Barth banyak meneliti masyarakat Muslim di Oman, Iran, Pakistan, dan juga Bali.
Studi Islam di Barat mengalami booming sejak tragedi terorisme 9/11 di AS. Sejak itu, banyak PT di Barat yang membuka program studi Islam atau lembaga riset guna meneliti ”dunia Islam.”
Studi Islam di Barat mengalami booming sejak tragedi terorisme 9/11 di AS.
Studi agama di Dunia Islam
Jika di Barat banyak PT yang membuka studi Islam, di dunia Islam justru sebaliknya. Nyaris susah mendapatkan PT Islam atau ”PT umum” yang dikelola oleh umat Islam yang mempunyai program studi atau lembaga penelitian yang fokus di bidang kajian non-Islam dan masyarakat non-Muslim.
Pada umumnya PT milik umat Islam fokus di bidang studi ilmu-ilmu keislaman (misalnya hukum Islam, ilmu tafsir, ilmu hadis, dan sebagainya) atau ilmu-ilmu sekuler (ilmu eksakta, teknik, teknologi informatika, ekonomi, bisnis, komputer, kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan sebagainya).
Tren ini bukan hanya di Timteng, tetapi juga di kawasan Islam lain, seperti Afrika Utara, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Yang menarik, khususnya dalam konteks Timteng, PT yang berafiliasi Yahudi di Israel (misalnya The Hebrew University of Jerusalem, Tel Aviv University, The University of Haifa, dan sebagainya) atau Kristen di Palestina (misalnya Jerusalem University College) atau Lebanon (misalnya Saint Joseph University of Beirut), juga membuka program studi Islam, selain bahasa, sastra, dan budaya Arab/Timteng).
Akan tetapi, tidak ada satu pun PT yang berafiliasi Islam yang membuka program studi agama Yahudi, Kristen, atau bahasa Ibrani (Hebrew).
PT di Indonesia, khususnya yang berafiliasi Islam atau yang dikelola umat Islam, juga tidak ada yang membuka program studi agama non-Islam dan masyarakat non-Muslim. Ada beberapa universitas yang membuka program studi atau pusat penelitian Timteng, tapi isinya juga ”Timteng yang Islam.”
Padahal, Timteng tidak hanya menjadi rumah umat Islam, tetapi juga Kristen, Yahudi, Yazidi, Druze, Khaldean, Baha’i, Hindu, dan sebagainya.
PT di Indonesia, khususnya yang berafiliasi Islam atau yang dikelola umat Islam, juga tidak ada yang membuka program studi agama non-Islam dan masyarakat non-Muslim.
Sejumlah faktor mendasar
Selain didorong oleh motivasi politik (misalnya kolonialisme atau untuk mempelajari politik dan radikalisme Islam/Muslim), studi Islam di kampus-kampus Barat juga dilandasi oleh spirit ilmiah, etos akademik, dan keingintahuan yang kuat untuk mengetahui seluk-beluk agama Islam dan dunia Muslim.
Oleh karena itu, tradisi studi Islam di Barat, meminjam istilah Mahmood Mamdani, mantan profesor di Columbia University, dapat menghasilkan unfriendly orientalists (yang bias dan kurang bersahabat dengan Islam/Muslim) dan friendly orientalists (yang fair dan bersahabat dengan Islam/Muslim).
Terlepas dari motif dan tujuan yang beragam, tradisi studi Islam di Barat telah melahirkan banyak sarjana non-Muslim (khususnya Kristen, Yahudi, atau sekuler) yang ahli di bidang studi agama Islam dan masyarakat Muslim.
Sementara itu, minimnya perguruan tinggi Islam yang mempunyai program studi agama non-Islam/masyarakat Muslim menyebabkan minimnya para sarjana Islam yang ahli di bidang kajian agama-agama lain dan masyarakat non-Muslim.
Ada sejumlah faktor mendasar yang menyebabkan minimnya atau bahkan tidak adanya PT Islam (atau yang dikelola umat Islam) yang membuka program studi agama non-Islam atau masyarakat non-Muslim. Misalnya, rendahnya atau tidak adanya ketertarikan serta minat akademik dan riset di kalangan umat Islam untuk meneliti dan mempelajari agama dan umat agama lain.
Ilustrasi
Padahal, meneliti dan mempelajari agama dan umat agama lain dapat meningkatkan pengetahuan tentang agama-agama, memperkaya wawasan keagamaan, meminimalkan kesalahpahaman terhadap agama lain, dan memperkuat relasi antar-agama.
Dapatkah PT Islam di Indonesia menjadi pionir studi agama non-Islam dan masyarakat non-Muslim?
Mampukah PT Islam Indonesia mencontoh etos intelektual dan spirit akademik Abu Raihan al-Biruni (973-1048), seorang ulama Muslim Persia di abad ke-10/11 Masehi yang dijuluki ”Bapak Perbandingan Agama” karena menekuni agama-agama non-Islam (termasuk Hinduisme) serta mempelajari bahasa mereka (termasuk Sanskerta)?
Baca juga : Mitos Dikotomi Budaya Timur-Barat
Sumanto Al QurtubyDirektur Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals