Mitos Dikotomi Budaya Timur-Barat
Banyak masyarakat Indonesia membuat dikotomi antara budaya Barat dan Timur. Sebagai orang Timur yang pernah lama tinggal di Barat, saya menilai segregasi hitam putih budaya Timur-Barat itu hanya ada di alam imajinasi.
Sudah rahasia umum bahwa banyak masyarakat Indonesia, baik komunitas akademik maupun non-akademik, elite maupun non-elite, membuat dikotomi antara budaya Barat dan budaya Timur.
Kata ”Barat” mengacu pada negara-negara di Amerika Utara (AS dan Kanada), Eropa Barat, atau Australia dan Selandia Baru. Singkatnya, budaya Barat mengacu pada ”budaya bule”. Sementara ”Timur” merujuk pada kawasan Asia, termasuk Asia Timur dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia tentunya). Budaya Barat biasanya dicirikan berwatak intelektualis, individualis, selfish, kapitalis, liberalis, sekularis, ateis, berorientasi profit, dan sebagainya. Sementara budaya Timur digambarkan berwatak nyaris berlawanan dengan budaya Barat, yakni spiritualis, teis, agamais, kolektivis, dan sebagainya.
Selanjutnya, budaya Barat kerap diberi label atau stigma negatif. Misalnya, tidak mengenal sopan-santun, biadab, gemar berperang dan melakukan tindakan kekerasan, berperilaku seks bebas, minim solidaritas sosial, tak peduli tradisi lokal, dan sebagainya. Sementara budaya Timur sering dilabeli dengan hal-hal positif, seperti ramah, sopan, santun, penuh perdamaian, tidak suka kekerasan, gemar menolong sesama, peduli tradisi lokal, dan sebagainya.
Sebagai orang Timur yang pernah lama tinggal di Barat, saya menilai segregasi hitam putih budaya Timur-Barat itu hanya ada di alam imajinasi.
Mitos belaka
Pada praktiknya, dikotomi tersebut hanyalah mitos belaka. Sebagai orang Timur yang pernah lama tinggal di Barat, saya menilai segregasi hitam putih budaya Timur-Barat itu hanya ada di alam imajinasi. Tidak ada di dunia nyata atau hanya benar sebagian. Narasi tentang budaya Barat yang serba buruk dan negatif atau budaya Timur yang serba baik dan positif sama sekali tidak valid.
Faktanya, baik-buruk atau positif-negatif ada di dunia Barat maupun Timur. Sejumlah karakteristik dan stigma yang selama ini dialamatkan ke budaya Barat juga ada di budaya Timur. Begitu pula sebaliknya. Sejumlah label dan karakteristik yang selama ini disematkan ke budaya Timur juga ada di Barat.
Misalnya, Barat bukan hanya rumah bagi kaum intelektualis, tetapi juga kelompok spiritualis. Ada banyak individu dan kelompok spiritual di negara-negara Barat, termasuk ordo-ordo Sufi, komunitas yogi, kaum spiritualis Buddhis, pengikut gerakan New Age, masyarakat teosofi, dan sebagainya. Sebaliknya, Timur bukan hanya rumah bagi kelompok spiritualis dan mistikus, tapi juga aneka ragam kelompok intelektual-ilmuwan.
Baca juga Arab, Israel dan Yahudi
Jadi, dikotomi ”intelektualitas Barat” versus ”spiritualitas Timur”, misalnya, tidak lagi relevan. Bahkan, kini negara-negara seperti China, Taiwan, Jepang, dan Korsel sedang gencar membangun berbagai pusat pendidikan, teknologi, dan universitas kelas dunia yang akan menjadi kiblat peradaban intelektual dan teknologi di masa depan. Hasilnya, kini banyak universitas di Asia yang masuk jajaran kampus top dunia dan berpotensi menggeser dominasi Barat.
Sejumlah negara di Timur Tengah, khususnya di kawasan Teluk Arab, seperti Uni Emirat Arab, Qatar, dan Arab Saudi, juga sedang berlomba-lomba membangun universitas berkelas dunia yang bertumpu pada teknologi canggih (seperti artificial intelligence), riset ilmiah, dan spirit intelektualisme. Arab Saudi, misalnya, membangun sebuah kampus prestisius berkelas internasional, seperti King Abdullah University of Science and Technology yang kini dipimpin Presiden Tony F Chan, ilmuwan China-Amerika didikan Stanford dan mantan Presiden Hong Kong University of Science and Technology.
Asumsi bahwa Barat identik dengan sekularisme, liberalisme, atau ateisme dan agnotisisme juga tak selamanya akurat karena banyak kelompok militan-konservatif berbasis agama di Barat yang sangat anti terhadap doktrin-doktrin sekularisme dan liberalisme serta mengecam berbagai praktik sosial yang mereka anggap tidak religius. Sejak beberapa dekade silam, fenomena public religion, sebuah proses deprivatisasi agama di mana agama memainkan peran sentral di ranah publik, tengah menjangkiti sebagian negara Barat, khususnya AS.
Fenomena ini mendorong mendiang Peter L Berger, sosiolog ternama yang juga salah satu mentor saya di Boston, merevisi tesis klasiknya tentang sekularisasi agama dalam bukunya, The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics.
Meski dunia Timur (khususnya Timteng, India, dan China) tempat lahirnya berbagai agama dunia, sekularisme dan liberalisme juga hadir di kawasan ini, diperkenalkan oleh berbagai kelompok, seperti akademisi, ilmuwan, teknokrat, politisi, pemerintah, pebisnis, dan sebagainya, terutama sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Lihat saja budaya gotong royong atau kerja bakti yang dulu menjadi karakter masyarakat kini sudah luntur.
Individualis vs kolektivis
Kemudian, karakteristik Barat sebagai ”masyarakat individualis” (individualist society) yang diasumsikan secara keliru sebagai masyarakat yang mementingkan diri sendiri dan tak punya kepekaan, kepedulian, dan solidaritas sosial juga salah besar. Faktanya, kelompok filantropi dan lembaga karitas untuk misi kemanusiaan global menjamur di Barat.
Masyarakat Barat juga sudah terbiasa menggalang dana (fundraising) dengan berbagai cara untuk berbagai program kemanusiaan, pendidikan, beasiswa, dan lain-lain, baik untuk masyarakat yang tinggal di negara-negara Barat maupun di berbagai negara di dunia. Misalnya, Mennonite Central Committee yang mempunyai program kemanusiaan global di hampir semua negara di jagat ini.
Sementara Timur yang selama ini dilabeli ”masyarakat kolektivis” (collectivist society) yang diandaikan gemar menolong sesama, saling membantu, meminimalkan watak dan perilaku egoistik dan individualistik, dalam praktiknya tak selamanya terjadi. Lihat saja budaya gotong royong atau kerja bakti yang dulu menjadi karakter masyarakat kini sudah luntur. Banyak orang tak memedulikan yang lain saat antre bantuan, pembagian sembako, atau pada acara prasmanan. Dari pengamatan sederhana ini kita bisa tahu karakter budaya kolektivis masyarakat Timur tak selamanya akurat. Solidaritas sosial, kalaupun terjadi, biasanya hanya pada kelompok kecilnya saja, tak melintas batas agama, etnis, dan kemanusiaan.
Baca juga Belajar Ilmu Sekuler di Timteng
Kebiadaban versus keberadaban
Karakteristik lain yang tak akurat adalah memberi stigma Barat sebagai masyarakat yang penuh kekerasan dan Timur sebagai masyarakat yang penuh perdamaian atau Barat diidentikkan dengan kebiadaban dan Timur dengan keberadaban. Barat memang memiliki sejarah kelam yang penuh kekerasan, seperti kolonialisme, imperialisme, perang, pembersihan etnis, rasisme, dan ”barbarianisme”, baik terhadap penduduk lokal maupun asing. Tetapi, Timur juga berlepotan dengan kekerasan. Kolonialisme, imperialisme, perang, ethnic cleansing, rasisme, ”barbarianisme”, bukan hanya monopoli dunia Barat. Dunia Timur juga melakukan hal serupa. Kebiadaban bukan hanya terjadi di Barat, tetapi juga di Timur.
Jika Barat pernah memiliki Hitler atau Mussolini, Timur pernah memiliki Pol Pot atau Amangkurat I yang sangat bengis dan biadab membunuh ribuan ulama, termasuk adik dan ayah mertua sendiri. Peristiwa pembantaian atas jutaan umat manusia tahun 1965/1966 juga bagian dari sejarah kelam kekerasan yang dilakukan masyarakat Timur. Aksi-aksi terorisme yang brutal dan barbar juga dilakukan bangsa Timur.
Kini, masyarakat Timur yang dicitrakan penuh cinta, kasih sayang, perdamaian, keramahan, dan toleransi itu seolah-olah sirna dari bumi Pertiwi karena berbagai kejadian dan aksi kekerasan yang silih berganti seolah tak ada henti, seperti pengeroyokan, pemukulan, persekusi, terorisme, pengusiran, dan pembunuhan. Orang-orang Timur yang konon ramah dan damai tiba-tiba berubah jadi orang-orang kalap, bengis, dan tak berperikemanusiaan sama sekali.
Sementara itu, banyak orang, bukannya mengecam aksi keji dan tindakan kekerasan itu, tetapi malah bertepuk tangan, bersorak sorai, dan tertawa terbahak-bahak melihat berbagai peristiwa biadab yang berlangsung di depan mata mereka. Di manakah hati nurani mereka? Di manakah akal sehat mereka? Di manakah agama mereka yang mengajarkan solidaritas, perdamaian, kerahmatan, dan kasih sayang itu?
Orang-orang Timur yang konon ramah dan damai tiba-tiba berubah jadi orang-orang kalap, bengis, dan tak berperikemanusiaan sama sekali.
Bangsa besar
Akhirul kalam, bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengambil hal-hal bersih, baik, dan positif dari mana pun datangnya—Barat-Timur, Utara-Selatan—serta menyingkirkan hal-hal kotor, buruk, dan negatif dari mana pun berasal, baik dari negeri sendiri maupun mancanegara.
Indonesia akan menjadi bangsa besar jika mampu melakukan hal ini. Sebaliknya, Indonesia akan tersungkur menjadi bangsa kerdil jika terus-menerus hidup dalam budaya hipokrisi, memupuk dikotomi Timur-Barat yang sebetulnya hanya ada di alam imajiner.
Sumanto Al Qurtuby Pendiri Nusantara Institute, Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals, dan alumni Boston University.