Penerimaan Sabuk dan Jalan Digital di Indonesia
Indonesia relatif sukses menyerap BRI dibandingkan negara lain karena politik dan ekonomi cenderung stabil dan terencana.
Kekhawatiran atas skenario politik Indonesia yang berubah secepat kilat menghadapi Pemilu 2024 tidak hanya dihadapi oleh ratusan juta orang yang berada di dalam negeri, tetapi juga investor asing.
Negara yang merupakan mitra dagang terbesar dan sumber investasi kedua bagi Indonesia adalah China, yang mengundang Presiden Joko Widodo dan rombongan untuk hadir di forum internasional Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) guna merayakan satu dekade program ini, sekaligus membahas bagaimana investasi bagi Indonesia ke depan setelah pemerintahan berganti.
Proyek BRI bertumpu pada pembangunan infrastruktur global yang berambisi meningkatkan kerja sama dan konektivitas dunia dari Timur ke Barat.
Kontras dengan Amerika Serikat (AS) yang belakangan mulai membatasi dirinya hanya berdagang dengan negara sahabat (friend shoring), Presiden China Xi Jinping melalui BRI ingin ”menyelesaikan masalah dunia, seperti ketimpangan pembangunan, tantangan tata kelola, kesenjangan digital, ketidaksetaraan pendapatan, dan membuat perekonomian yang terbuka, inklusif, berimbang, dan baik untuk semua”.
Dari infrastruktur fisik ke digital
Proyek BRI yang awalnya lebih terfokus pada pembangunan infrastruktur fisik kini merambah ke bidang digital dengan penggunaan data skala besar, komputasi kuantum, kecerdasan buatan, dan kota pintar.
Selain China memiliki kemampuan teknologi yang mumpuni dengan harga lebih terjangkau dibandingkan dengan produk Barat, BRI memfasilitasi negara berkembang untuk mendapat investasi guna membeli produk mereka, relatif tanpa dibebani norma dan penilaian atas integritas pemerintahan ataupun jaminan keberhasilan pembangunan.
Proyek BRI bertumpu pada pembangunan infrastruktur global yang berambisi meningkatkan kerja sama dan konektivitas dunia dari Timur ke Barat.
Sepuluh tahun BRI berjalan, telah ada 150 negara yang sepakat menandatangani kerja sama investasi.
Banyak negara yang menerapkan investasi itu di bidang digital untuk membangun fasilitas telekomunikasi penyangga (backbone) demi memfasilitasi warganya mengakses internet. Negara seperti Malaysia, Kamboja, Thailand, Kenya, Etiopia, dan Sri Lanka bekerja sama dengan Beijing dalam perdagangan digital, pembangunan pusat data dan instalasi kabel optik serta jaringan 5G.
Negara maju seperti Italia juga salah satu penanda tangan proyek BRI meski akhirnya pengaturan Uni Eropa atas keamanan digital teknologi Huawei membatasi Roma mengadopsi teknologi 5G dari China.
Jeratan utang
Indonesia adalah salah satu negara penerima BRI yang dianggap berhasil dengan beroperasinya kereta cepat Jakarta-Bandung Woosh dan pembangunan Kawasan Industri Morowali yang menyuplai nikel dalam jumlah besar ke China.
Pada forum BRI, Presiden Joko Widodo menekankan, keberhasilan BRI berasal dari prinsip kemitraan setara yang saling menguntungkan melalui perencanaan matang, transparansi pendanaan, penggunaan tenaga kerja domestik, dan penggunaan produk dalam negeri.
Jika dikaji lebih lanjut, Indonesia relatif sukses menyerap BRI jika dibandingkan dengan negara lain yang juga penerima investasi Beijing karena politik dan ekonomi negeri yang cenderung stabil dan terencana.
Negara lain, yakni Sri Lanka, terjerat utang 1,12 miliar dollar AS sehingga harus memberikan kepemilikan mayoritas Pelabuhan Hambantota kepada Beijing sebagai kolateral.
Di bidang digital, investasi yang diterima Kenya melalui kabel bawah laut Pakistan and East Africa Connecting Europe (PEACE), menggunakan Huawei sebagai pemasok, mampu memberikan sambungan internet cepat bagi Kenya.
Namun, seiring dengan jumlah utang pada proyek BRI yang meningkat mencapai 9 miliar dollar AS untuk mendanai infrastruktur fisik lainnya, otoritas pemerintahan Kenya juga mendapatkan serangan siber yang menarget informasi bagaimana negara ini akan membayar utangnya. Kenya tidak merasa upaya peretasan tersebut unik karena sebelumnya negara ini juga mendapat serangan siber dari Amerika dan Eropa.
Karena contoh buruk tersebut, terdapat kekhawatiran jika Indonesia terlibat terlalu dalam pada proyek BRI, maka akan masuk ke lilitan utang.
Ketakutan itu tidak berdasar karena meski baru tahun lalu Indonesia dan China menandatangani kerja sama peningkatan ekonomi digital, produk digital asal China telah merajai Indonesia, mulai dari gawai, kabel optik 5G, hingga menara penerima sinyal (base transceiver stations/BTS). Penandatanganan kerja sama ini hanya formalisasi dari investasi yang sudah masuk ke perusahaan bisnis digital Indonesia, misalnya investasi Alibaba ke Lazada, Bukalapak, Dana, dan Tokopedia sejak 2017.
Berbeda dengan Sri Lanka dan Kenya, Indonesia relatif memiliki posisi lebih baik karena memiliki tiga modal dasar, yakni transparansi, regulasi, dan prinsip demokrasi Pancasila yang sejauh ini masih dipegang kuat.
Kuatnya transparansi di Indonesia terbukti melalui pengawasan terhadap pembelanjaan negara. Contohnya pada penyisiran kasus korupsi proyek penyediaan menara BTS 4G oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) yang turut mengindikasikan keterlibatan Huawei Tech Investment.
Berbeda dengan Sri Lanka dan Kenya, Indonesia relatif memiliki posisi lebih baik karena memiliki tiga modal dasar, yakni transparansi, regulasi, dan prinsip demokrasi Pancasila yang sejauh ini masih dipegang kuat.
Keberpihakan regulasi
Keberpihakan regulasi terlihat pada adanya Program Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang disasar meningkat dari 20 persen pada tahun 2015 menjadi 50 persen pada 2024.
Implementasi dari program ini berdampak pada majunya perusahaan perangkat lunak (software), gawai, dan laptop produksi Nusantara.
Kebijakan terkait TKDN dikaji relevansinya dan dimutakhirkan secara berkala, dengan peraturan terakhir yang dikeluarkan tahun 2022 mengenai percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan tata cara penghitungan komponen untuk industri kecil. Contoh peraturan lain yang pro-domestik adalah penutupan pasar daring di media sosial asal China, Tiktok Shop, awal Oktober ini dengan alasan keberpihakan pada pasar tradisional.
Mengenai pendekatan demokrasi di Indonesia, penelitian CSIS mengenai norma digital yang sedang berjalan tahun ini menemukan bahwa demokrasi Pancasila berfungsi sebagai penapis yang memengaruhi teknologi dan inovasi asing yang masuk.
Penerimaan informasi dan nilai-nilai yang terkandung di dalam teknologi baru disaring dan di-Indonesia-kan dengan norma-norma Pancasila, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Pancasila menyeleksi nilai-nilai asing yang mampu bertahan, yakni yang cenderung pada posisi ”tengah” antara norma digital yang dianggap terlalu liberal—yang dipandang berasal dari Barat—dan norma yang terlalu membatasi ekspresi individu, yang umumnya diasumsikan berasal dari Timur.
Sampai sekarang proyek BRI di Indonesia belum menyentuh pada pentingnya informasi yang benar dan imparsial disampaikan kepada publik. Investasi perusahaan asal China, ByteDance, pada usaha rintisan dalam negeri yang mengompilasi warta Baca Berita (BaBe) diindikasikan justru menyebabkan penyensoran atas pemberitaan kritis.
Presiden Joko Widodo saat memberi pandangan dalam acara pembukaan Belt and Road Forum (BRF) ke-3, pada Rabu, 18 Oktober 2023, di Great Hall of The People, Beijing, China. (Laily Rachev-Biro Pers Sekretariat Presiden)
Sementara itu, memasuki masa politik diproyeksikan bahwa misinformasi akan meningkat dan menurunkan kepercayaan publik pada penyelenggaraan pemilu. Dukungan Beijing atas sirkulasi informasi yang benar menjadi krusial antara lain karena Tiktok meningkat penggunaannya di Indonesia.
Jika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Beijing untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan panutan implementasi proyek BRI sehingga investasi perlu diteruskan, perlu ditekankan bahwa keberhasilan tersebut merupakan dampak dari modalitas negara yang patut dipertahankan.
Untuk mempertahankannya, China perlu turut menyokong nilai-nilai yang memelihara demokrasi, antara lain melalui dukungan kepada keamanan siber, integritas data, dan verifikasi informasi dalam investasi dan teknologi yang difasilitasinya.
Baca juga : Dana Baru Rp 1.500 Triliun untuk Sabuk-Jalan China
FitrianiCentre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia