Dinamika ketidakpastian proses pemilu, khususnya Pemilu Presiden, akan terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Oleh
A.PRASETYANTOKO
·4 menit baca
Pemilihan Umum 2024 sangat mungkin menjadi salah satu pemilu yang paling tidak pasti. Ketatnya persaingan antarpasangan calon presiden dan calon wakil presiden membuat sulit memperkirakan siapa yang akan menjadi pemenang. Begitu pun proses pemilu yang diperkirakan akan panjang; dua putaran dan sangat mungkin diwarnai sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi. Apalagi rangkaian pemilu diawali dengan kontroversi putusan MK terkait batas minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Banyak pihak juga mengkhawatirkan adanya risiko ketidakpastian hukum terkait pemilu.
Dinamika ketidakpastian dalam proses pemilihan umum, khususnya pemilu presiden, akan terjadi di tengah ketidakpastian perekonomian global. Ada beberapa faktor yang membuat masa depan ekonomi kian tak pasti. Pertama, inflasi meski sudah turun masih tetap di atas angka yang ditargetkan banyak negara (maju) sehingga suku bunga akan tetap tinggi dalam kurun waktu cukup lama (higher-for-longer). Kedua, suku bunga tinggi akan menurunkan investasi yang pada gilirannya menggerus pertumbuhan global berada pada level relatif rendah untuk waktu cukup panjang (weaker-for-longer). Ketiga, rata-rata pertumbuhan global pada dekade ke depan akan lebih rendah dibandingkan dekade sebelumnya. Akibatnya, pendapatan per kapita penduduk dunia akan menurun dan dunia makin tak sejahtera.
Situasi ini dilatarbelakangi dua isu besar, yaitu perubahan peta geopolitik global serta meningkatnya tantangan perubahan iklim (climate change). Isu perubahan iklim tak banyak dibahas karena dianggap tak terlalu relevan dan masih jauh. Padahal, dia sudah ada di sini sekarang, datang lebih cepat dari perkiraan. Dunia benar-benar diselimuti ketidakpastian.
Implikasi domestik
Memanasnya geopolitik global setelah pecahnya perang Israel-Palestina (Hamas) punya risiko cukup besar, khususnya terkait harga energi. Apalagi jika perang ini menyeret konflik kawasan Timur Tengah. Arab Saudi adalah salah satu produsen minyak terbesar dunia dengan sumbangan produksi harian sekitar 12.000 juta barel pada 2022. Bersama dengan produsen minyak di kawasan Timur Tengah, kontribusinya menjadi sekitar 30 juta barel per hari atau menjadi penyumbang terbesar pasokan minyak dunia. Sementara Rusia menyumbang produksi harian sekitar 11.000 barel. Timur Tengah dan Rusia kini menjadi episentrum konflik geopolitik. Wajar jika harga minyak di masa depan penuh ketidakpastian.
Data Trading Economics menunjukkan harga minyak mentah Brent pada pertengahan Oktober lalu mencapai 94 dollar AS per barel. Harga minyak jenis ini pernah mencapai 122 dollar AS per barel menyusul invasi Rusia ke Ukraina. Banyak pengamat memperkirakan harga minyak 2024 bisa mencapai 150 dollar AS per barel jika konflik geopolitik global berkepanjangan. Padahal, asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, harga minyak mentah sebesar 82 dollar AS per barel. Kompas (21/9/2023) memberi catatan, setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar 1 dollar AS per barel akan menaikkan pendapatan negara sebesar Rp 3,3 triliun. Namun, pada saat yang sama akan meningkatkan pengeluaran sebesar Rp 9,2 triliun. Bisa dibayangkan jika tahun depan harga minyak menyentuh 150 dollar AS, dampaknya pada fiskal kita cukup serius.
Memang kenaikan harga minyak biasanya akan diikuti kenaikan harga komoditas lain, tetapi tetap saja risikonya perlu diperhitungkan mengingat kenaikan harga energi akan memaksa pemerintah menambah subsidi bahan bakar minyak dan listrik, bantuan sosial, dan tak tertutup kemungkinan munculnya biaya tidak terduga. Di tengah pemilu, kerentanan sosial bisa menjadi tantangan tersendiri jika kenaikan harga tak dimitigasi.
Tekanan harga energi akan beriringan dengan risiko pangan akibat dampak El Nino yang diperkirakan akan terjadi hingga kuartal pertama tahun depan. El Nino adalah fenomena pemanasan suhu permukaan laut di atas kondisi normal sehingga memicu cuaca panas ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan, kelangkaan air, hingga gagal panen. Indonesia diperkirakan akan kehilangan potensi panen beras sebesar 1,2 juta ton akibat El Nino tahun ini.
Persoalannya, situasi serupa terjadi di hampir seluruh belahan dunia. Efek perubahan iklim telah mengancam produksi pangan global. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengingatkan peningkatan risiko kerawanan pangan sehingga diperlukan mitigasi global agar ketersediaannya merata. Penanganan krisis pangan perlu belajar dari penanganan pandemi Covid-19, khususnya terkait ketersediaan dan distribusi vaksin yang menjadi isu global.
Harga beras sudah beranjak naik dalam beberapa bulan terakhir, sementara pasokan mulai merosot. Produksi nasional jelas tidak mencukupi, sementara impor semakin restriktif. Selama ini kita mengandalkan impor beras dari India, sementara di dalam negeri mereka juga ada tantangan serupa, yaitu risiko gagal panen dan ketersediaan pangan yang menipis. Pengurangan konsumsi beras akan meningkatkan impor gandum yang nilainya semakin meningkat pada tahun terakhir ini.
Mimpi tentang kedaulatan pangan (food sovereignty) sudah sejak lama, bahkan sejak pemerintahan Soeharto, dilanjutkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo. Program pembangunan lumbung pangan (food estate) bahkan masuk dalam Program Strategis Nasional 2020-2024, tetapi hasilnya sama sekali belum menjanjikan.
Situasi ekonomi-politik, baik global maupun domestik, pada 2024 penuh ketidakpastian. Diperlukan mitigasi yang matang dalam berbagai hal. Pertama, perlu pengujian kekuatan APBN 2024 terhadap tekanan berbagai faktor (stress test) sehingga bisa disiapkan mitigasinya mulai sekarang, termasuk potensi risiko sosial akibat proses pemilu yang begitu ketat dan panjang. Kedua, perlu disusun perencanaan dengan skenario (scenario planning) terhadap dinamika perekonomian pada tahun depan mengingat investasi tak akan optimal, sementara ekspor juga diperkirakan melambat. Konsumsi domestik menjadi tumpuan sehingga stabilitas harga perlu dijaga. Orkestrasi kebijakan fiskal dan moneter perlu ditingkatkan.
Melihat dinamika politik terakhir ini, sangat mungkin birokrasi dan pemerintahan akan lumpuh sehingga kemampuannya memitigasi risiko tak akan optimal. Jangan sampai tahun 2024 menjadi ”vivere pericoloso” atau hidup penuh bahaya. Jika demikian, masa depan bangsa ini sungguh dipertaruhkan. Warisan yang disiapkan justru tak bisa diberikan.