Pembedahan dengan Bantuan Robot
Menurut publikasi ilmiah, pada operasi prostat radikal manfaat bedah robotik lebih pada kenyamanan pasien, sedangkan hasil akhir operasi lebih kurang sama dengan bedah konvensional.
Ayah saya sudah berusia 62 tahun. Setiap tahun biasanya pada bulan puasa beliau melakukan (medical) check up termasuk pemeriksaan laboratorium. Ayah sudah diketahui menderita darah tinggi dan jantung koroner. Untuk kedua penyakit tersebut dokter hanya memberi obat yang harus diminum setiap hari. Ayah juga harus konsultasi secara teratur, belakangan ini cukup dua bulan sekali.
Tahun ini hasil check up-nya agak mengagetkan karena hasil laboratoriumnya tinggi sekali, nilai PSA 42 unit, padahal normalnya hanya 4 unit. Saya khawatir dengan keadaan prostat ayah dan mengajaknya berkonsultasi ke dokter spesialis urologi. Dokter melakukan pemeriksaan lebih jauh termasuk melakukan biopsi prostat. Hasilnya, ayah menderita kanker prostat stadium dini. Menurut dokter, jika dilakukan operasi, kemungkinan untuk sembuh besar.
Kami sekeluarga amat terkejut dengan diagnosis dokter dan kakak saya menganjurkan agar ayah mencari second opinion. Ayah membawa ayah saya ke klinik di negeri tetangga. Semua data yang ada di Indonesia dibawa.
Dokter di klinik tersebut setuju dengan diagnosis dokter di Indonesia. Dokter tersebut juga menganjurkan tindakan operasi prostat radikal. Menurut penjelasan dokter tersebut operasi prostat radikal diharapkan dapat membersihkan semua sel kanker yang pertumbuhannya masih amat terbatas. Dengan demikian, tidak diperlukan tindakan tambahan seperti kemoterapi.
Sudah tentu bedah robotik juga mempunyai kekurangan, di antaranya biaya operasi jauh lebih mahal dan perlu dukungan sistem IT agar operasi tak terganggu.
Dokter juga memberi informasi untuk mempertimbangkan apakah ayah akan menjalani operasi secara biasa atau operasi dengan bantuan robot. Hasil operasi dengan bantuan robot sebenarnya sama dengan operasi biasa, tetapi lama perawatan rumah sakit lebih singkat serta jumlah perdarahan juga lebih sedikit.
Kami minta izin untuk membicarakan terapi ayah dengan keluarga dan juga menanyakan biaya operasi secara biasa dibandingkan dengan bantuan robot. Ternyata operasi dengan bantuan robot jauh lebih mahal karena banyak alat bekas pakai yang harus dibuang.
Kami juga mencari informasi apakah di Indonesia sudah ada operasi dengan bantuan robot ini terutama untuk kanker prostat. Ternyata di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta sudah ada dan sudah digunakan cukup lama meski lebih banyak untuk operasi kandungan. Di kota lain, menurut informasi yang kami peroleh, belum ada peralatan robotik untuk membantu operasi.
Keluarga kemudian memutuskan untuk memilih operasi dengan bantuan robot ini untuk kenyamanan ayah. Ternyata benar, ayah hanya dirawat di rumah sakit tiga hari, luka operasi amat kecil, perdarahan juga kurang dari 100 ml. Ayah pulang ke Tanah Air serta melanjutkan perawatan di Indonesia.
Pertanyaan saya, kenapa pemerintah belum mengadakan peralatan untuk operasi dengan bantuan robot ini di Indonesia? Apakah dokter bedah di Indonesia sudah mampu melakukan operasi dengan bantuan robot ini? Jika ada, tentu akan lebih mudah bagi pasien yang memerlukannya menjalani operasi tersebut di Tanah Air. Terima kasih atas penjelasan Dokter.
M di S
Teknologi pembedahan di Indonesia sebenarnya cukup berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi kedokteran di dunia. Dulu operasi usus buntu perlu dilakukan dengan membuka rongga perut, sayatan cukup luas agar tangan pembedah dapat bekerja dengan leluasa.
Sekarang sudah sering dilakukan pendekatan minimally invasive surgery, pembedahan dengan luka yang kecil dan dengan bantuan alat. Pembedah tak perlu melihat langsung lapangan pembedahan, tetapi cukup melihat dari layar yang memberikan gambaran tiga dimensi.
Baca juga: Operasi Bedah Jarak Jauh dengan Robotik
Pendekatan ini memberikan keuntungan luka sayatan kecil, biasanya 1-2 cm. Sayatan ini digunakan untuk memasukkan alat. Lama operasi lebih singkat, penyembuhan lebih cepat dan lama rawat di rumah sakit jika diperlukan juga akan lebih singkat.
Pada bedah robotik, pembedah tidak langsung berhadapan dengan pasien. Pembedah dapat berada di ruang yang berbeda dengan pasien. Lengan robot dimasukkan ke tubuh pasien oleh asisten operasi, melalui sayatan minimal 1-2 cm. Lapangan operasi dapat tergambar di layar dan pembedah dapat melakukan pembedahan melalui layar tersebut.
Keuntungan bedah robotik yang sering disebut RAS (robot-assisted surgery), di antaranya sayatan lebih kecil, tindakan pembedahan lebih akurat, mengurangi perdarahan, waktu penyembuhan lebih cepat, dan lama rawat juga lebih singkat. Bedah robotik tak hanya digunakan di bidang kebidanan dan urologi, tapi juga dapat untuk bedah torak, bedah ortopedi, dan lain-lain. Sudah tentu bedah robotik juga mempunyai kekurangan, di antaranya biaya operasi jauh lebih mahal dan perlu dukungan sistem IT agar operasi tak terganggu.
Pengembangan di Indonesia
Pemerintah sebenarnya juga sudah menyiapkan agar negeri kita dapat memanfaatkan teknik bedah robotik ini. Sudah cukup banyak dokter kita yang dilatih. Bahkan, setahu saya di sebuah rumah sakit di Jakarta sudah cukup banyak operasi yang menggunakan dukungan robot ini. Untuk operasi prostat radikal setahu saya tahun 2021 sudah dilakukan di rumah sakit swasta tersebut. Saya juga mendengar di Bandung dan Yogyakarta juga dikembangkan bedah robotik ini.
Berapa harga peralatan robotik ini? Dewasa ini peralatan bedah robotik yang banyak digunakan adalah Da Vinci dan sudah sampai generasi keempat. Harga alat ini di luar negeri sekitar 1 juta dollar AS. Untuk memasukkan alat kedokteran ke Indonesia akan terkena pajak alat kedokteran yang cukup tinggi.
Alat ini memerlukan pemeliharaan. Banyak alat medis yang digunakan hanya sekali pakai sehingga akan meningkatkan biaya operasi. Di Australia, biaya operasi menggunakan RAS sekitar 20.000 dollar AS meski tiap jenis operasi akan berbeda biayanya.
Baca juga: “Dokter Robot” Makin Diminati dan Dibutuhkan di China
Pemerintah tentu ingin menerapkan teknologi baru untuk mendapatkan hasil terapi yang baik. Namun, menurut publikasi ilmiah, pada operasi prostat radikal manfaat bedah robotik lebih pada kenyamanan pasien, sedangkan hasil akhir operasi lebih kurang sama dengan bedah konvensional. Karena itu, pemerintah tentu harus mempertimbangkan bagaimana melakukan layanan kesehatan yang baik, nyaman, tapi juga dapat dinikmati masyarakat banyak.
Tampaknya dalam waktu dekat bedah robotik akan lebih banyak dikembangkan oleh layanan kesehatan swasta. Pemerintah tentu mempersiapkan diri, tetapi pemerintah mempunyai tugas yang lebih utama yaitu melakukan penyuluhan agar masyarakat peduli pada kanker prostat.
Kita perlu mengajak masyarakat untuk melaksanakan hidup sehat, menggunakan layanan deteksi dini kanker termasuk kanker prostat yang mudah diakses masyarakat. Investasi untuk upaya penyuluhan dan pencegahan ini jauh akan lebih bermanfaat daripada membeli banyak alat kedokteran canggih. Saya berharap ayah Anda serta keluarga tetap sehat.
Samsuridjal Djauzi, Dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta