Nobel Sastra Fosse: Kemenangan Bahasa Minoritas
Fosse melihat teater lebih banyak mementaskan kepura-puraan. Ia kerap menampik permintaan sutradara teater menulis drama.
Setelah sejak 2013 setiap tahun dicalonkan meraih Nobel Sastra, Jon Fosse, lahir 29 September 1959, di Haugesund, Norwegia, tahun ini mendapatkannya karena, ungkap Akademi Swedia pada 5 Oktober, ”drama dan prosa Fosse yang inovatif menyuarakan hal-hal yang tak terungkapkan”.
Para penggiat teater Nowegia menyambutnya. Misalnya, sutradara Thomas Ostemeier menyebut ”Jon Fosse adalah keberuntungan bagi teater Eropa.” Sutradara lainnya, Luk Perceval, mengatakan ”Hadiah Nobel Jon Fosse adalah pengakuan atas kuatnya tradisi teater Eropa.”
Selain bahan pertunjukan teater, drama-dramanya memang menjadikan pertunjukan proses di mana individu dan kolektif mengalami sesuatu yang unik dan baru. Lebih dari 40 dramanya minim pengarahan. Sutradara, aktor, penata artistik, penata musik, dan kreator teater lainnya leluasa mewujudkan tafsir dan kian termotivasi menghasilkan karya kolektif melalui kerja kreatif demokratis.
Drama-dramanya, kata Fosse, bukanlah alat menyampaikan sesuatu, tetapi sesuatu itu sendiri. Sesuatu yang membangkitkan empati dan pengakuan audiens. Pengakuan terhadap apa-apa yang dialami karakter-karakter baik di kertas maupun di pentas.
Baca juga: Nobel Sastra untuk Penulis Norwegia Jon Fosse
Karakter-karakternya tulang punggung drama. Hampir semuanya tak memahami dirinya. Pemahaman mereka terbatas. Bukan karena tak bersikeras memahami, melainkan karena identitas mereka kompleks dan selalu tengah bernegosiasi dengan realitas (rekaan) yang sebagiannya terselubung misteri.
Dialog-dialog mereka ekonomis. Jeda dan gerak tubuh signifikan perannya dalam membangun dunia. Kata-katanya kebanyakan kata-kata sehari-hari, tetapi dipilih dan dirangkai demi mengalirnya ritme yang membangun suasana.
Banyak dari karakter-karakter itu melakukan berbagai repetisi, tetapi menguatkan, bukan melemahkan. Repetisi mereka kebanyakan mengungkap bahwa mereka nerotik.
Itulah sumber konflik hampir semua dramanya. Konflik-konflik ini tidak berakhir. Hampir semua akhirnya terbuka. Keterbukaannya menguatkan gambaran bahwa dunia ini berselubung misteri, penuh ketidakpastian, penuh berbagai kemungkinan.
Kecenderungan ini sudah sejak Someone is Going to Come. Drama pertama Fosse, ditulis tahun 1993, ini mengawali reputasi internasionalnya. Pada 1999, sutradara sohor Perancis, Cloude Regy, memainkannya di Paris.
Setelah itu, Fosse kian melambung. Tahun ke tahun ia produktif menulis drama, memenuhi permintaan drama-dramanya diterjemahkan ke berbagai bahasa dan berkeliling negara-negara Eropa memenuhi undangan menghadiri malam pertama pementasan drama-dramanya.
Fosse mengaku semula melihat teater lebih banyak mementaskan kepura-puraan. Ia berulang menampik permintaan beberapa sutradara teater Norwegia untuk menulis drama. Namun, pada akhir tahun 1980-an, ekonominya terpuruk.
Kumpulan puisi, kumpulan cerita pendek, kumpulan esai, buku cerita anak-anak, dan sejumlah novel Fosse sudah terbit. Bahkan, ada novelnya yang telah membuatnya beroleh penghargaan paling bergengsi di negaranya. Namun, karya-karya itu ditulisnya dalam Nyrsok. Populasi Norwegia ketika itu hanya sekitar 5 juta jiwa. Maka, pendapatannya pas-pasan belaka.
Drama-dramanya mengubah ekonominya. Hanya saja, pada tahun kesepuluh periode drama, ia jenuh dan lelah. Bertambahnya pendapatan dan meningkatnya reputasinya ini pun berarti ia terus keliling Eropa untuk menghadiri pementasan-pementasan drama-dramanya. Inilah yang membuatnya memutuskan berhenti menulis drama.
Baca juga: Jon Fosse, Suara yang Tidak Terungkapkan
Krisislah akibatnya. Setelah sepuluh tahun lebih menulis drama, Fosse tak dapat begitu saja kembali menulis genre lain. Kian terasalah yang senantiasa dialaminya. ”Aku selalu membawa rasa sakit dalam diriku yang tak dapat kujelaskan. Bagiku, menulis adalah cara untuk mengusir kegelapan.”
Hari-hari Fosse kian memburuk ketika gelombang panas melanda lingkungan tempatnya bermukim. Namun, ia diundang tinggal di kastil penyair Paul Claudel di Perancis. Undangan ini dimungkinkan ”putri penerjemah bahasa Jepang aku yang menikah dengan cicit Claudel”.
Di situlah, Fosse mulai lagi menulis novel selama beberapa pekan musim panas membakar. Sisanya ia tulis di kota kecil pinggiran Vienna, Austria. ”Aku mulai menulis sekitar pukul 16.00 atau 17.00 sampai pukul 09.00.”
Mungkin alasan mengapa menulis novel ini adalah karena aku merasa ada sesuatu yang penting yang ingin kusampaikan dan, bisa dikatakan, itu tugasku untuk mengatakannya.
Novel yang dimaksud adalah Septologi, sebuah novel satu kalimat yang terdiri dari tujuh bagian dengan panjang hampir seribu halaman. Di sebagian besar negara, buku ini diterbitkan dalam tiga volume. Fosse mengharap seluruhnya dibaca sebagai satu kesatuan, terutama bagian I-II, The Other Name, yang masuk daftar pendek International Booker Prize, dan bagian VI-VII, A New Name.
Manurut dia, Septologi, yang disebut magnum opus-nya oleh berbagai kalangan, bisa dibilang meringkas banyak dari apa yang telah kutulis sebelumnya—motif dari novel dan drama sebelumnya entah bagaimana ditulis ulang di sana—tetapi terlihat dalam cahaya yang berbeda.
”Mungkin alasan mengapa menulis novel ini adalah karena aku merasa ada sesuatu yang penting yang ingin kusampaikan dan, bisa dikatakan, itu tugasku untuk mengatakannya. Aku tidak bisa mengatakan apa itu, hanya novel yang bisa, tapi ada kaitannya dengan mistisisme kehidupan sehari-hari sehingga tidak salah jika menyebut novel sebagai semacam ’realisme mistik’.”
Namun, disebut apa pun, puluhan bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari lima puluh bahasa semua ditulisnya dalam Nynorsk. Di Norwegia, ada dua bahasa resmi, Bookmal dan Nynorsk. Nynorsk adalah bahasa yang digunakan oleh 10 persen dari 5,4 juta penduduk negara tersebut. Dan Bokmaal, seperti dikatakan Guy Puzey, dosen senior Studi Skandinavia di Universitas Edinburgh, adalah ”bahasa kekuasaan, bahasa pusat kota, bahasa pers”. Sementara Nynorsk digunakan terutama oleh orang-orang di perdesaan Norwegia bagian barat.
Fosse, alumni Sastra Komparatif Universitas Bergen, mengetahui kedua bahasa tersebut. Ia pun memilih menulis dalam Nynorsk. Layaklah jika dikatakan bahwa Nobel Sastra yang d dapatkannya merupakan kemenangan bahasa minoritas.
Hikmat Gumelar, Penyair yang sekarang Koordinator Program Institut Nalar Jatinangor