Penulis dan dramawan asal Norwegia, Jon Fosse (64), tak menduga saat diumumkan sebagai pemenang Nobel Sastra 2023. Ia merayakan kebahagiaan mendapatkan penghargaan prestisius itu dengan makan malam bersama keluarga.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Jon Fosse sedikit mati rasa saat mengetahui dirinya memenangi Nobel Sastra 2023. Ia tidak menyangka akan menerima penghargaan atas karya-karya inovatifnya yang menyuarakan hal-hal yang tidak dapat diungkapkan.
Fosse sedang mengemudi di sebuah perdesaan di pantai barat Norwegia saat Sekretaris Akademi Swedia Mats Malm menghubunginya untuk memberitahunya sebagai pemenang Nobel Sastra, Kamis (5/10/2023). Percakapan berlangsung singkat karena Fosse harus fokus mengemudi dalam perjalanan pulang ke rumah.
Dalam wawancara yang ditayangkan di Associated Press, Jumat, penulis kelahiran Haugesund, Norwegia, 29 September 1959, itu mengaku sangat senang dengan penghargaan tersebut dan menganggapnya sebagai kehormatan besar. Ia tak punya ambisi besar untuk mendapatkannya.
”Aku ingin menulis dan dapat mencari nafkah darinya dengan satu atau lain cara. Aku dengan senang hati menerima semua hal baik yang terjadi, tetapi aku tidak berharap banyak. Hanya saja, aku tidak mau menyerah,” ujarnya.
Fosse menjadi penulis Norwegia keempat yang menerima Nobel Sastra. Tiga penulis sebelumnya adalah Bjørnstjerne Bjørnson pada 1903, Knut Hamsun pada 1920, dan Sigrid Undset pada 1928. Atas penghargaan ini, Fosse berhak atas hadiah uang 11 juta krona Swedia atau sekitar Rp 15,6 miliar.
Karya-karya besarnya yang ditulis dalam bahasa Nynorsk Norwegia mencakup berbagai genre, terdiri dari drama, novel, kumpulan puisi, esai, buku anak, dan terjemahan. Karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari lima puluh bahasa. Sementara dramanya telah dipentaskan lebih dari seribu kali di seluruh dunia.
Dalam karyanya, Fosse menyajikan situasi sehari-hari yang langsung dapat dikenali dari kehidupan nyata. Ia menulis dengan gaya khas yang kemudian dikenal dengan Fosse minimalisme. Tulisan-tulisannya menyentuh hal-hal yang mungkin sulit untuk diungkapkan, seperti drama kehidupan yang menyayat hati.
Novel perdananya berjudul Raudt, Svart (Merah, Hitam) pada 1983 mengangkat tema bunuh diri. Tulisan yang memberontak sekaligus emosional ini menentukan arah untuk karya-karya selanjutnya dalam menghadirkan potret kelam kehidupan.
Dalam novel keduanya, Stengd Gitar”(1985), Fosse menyajikan variasi yang mengerikan pada salah satu tema utamanya, yaitu momen kritis dari ketidakpastian. Seorang ibu muda diceritakan meninggalkan apartemennya untuk membuang sampah ke saluran pembuangan.
Sang ibu mengunci dirinya di luar, tetapi bayinya masih di dalam. Dia tidak pergi mencari bantuan karena tidak bisa meninggalkan anaknya. Novel ini dikupas dengan paparan mendalam. Pada saat yang sama, ada rasa gentar dan ambivalensi yang kuat.
Cara hidup
Bagi Fosse, menulis adalah cara hidup. Ia memulai menulis saat berusia 12 tahun. Ia menjadikan menulis sebagai kebutuhan dalam hidupnya.
”Jika saya tidak punya sesuatu untuk ditulis, saya tidak tahu harus berbuat apa. Asalkan bisa menulis dengan baik, itu cukup untuk dipublikasikan” ucapnya.
Fosse menuturkan, menulis merupakan proses yang mengalir. Jika punya keinginan untuk menulis, silakan lakukan. Namun, kalau tidak, biarkan saja tanpa harus dipaksakan.
Fosse menjadi penulis Norwegia keempat yang menerima Nobel Sastra. Tiga penulis sebelumnya adalah Bjørnstjerne Bjørnson pada 1903, Knut Hamsun pada 1920, dan Sigrid Undset pada 1928. Atas penghargaan ini, Fosse berhak atas hadiah uang 11 juta krona Swedia atau sekitar Rp 15,6 miliar.
”Anda tidak dapat menulis karena Anda berpikir akan mendapatkan Nobel. Anda pasti tidak akan mendapatkannya. Anda harus menulis karena Anda ingin,” ucapnya.
Ketua Komite Nobel Anders Olsson mengatakan, karya Fosse berfokus pada ketidakamanan dan kecemasan manusia. Tulisan-tulisannya memadukan akar bahasa dan latar Norwegia dengan teknik artistik modernis.
Unsur kedekatan dalam tulisan melekatkannya pada perasaan pembaca. Hal ini membuat pembaca seolah berada di tempat yang dijadikan latar dalam tulisan.
”Yang spesial adalah dia menyentuh perasaan terdalam yang kamu miliki” ujar Olsson. Beberapa tulisan Fosse menggabungkan ikatan lokal yang kuat, baik linguistik maupun geografis Norwegia.
Menurut Olsson, Fosse merupakan penulis yang luar biasa dalam banyak hal. Tulisannya sangat menyentuh sehingga membuat orang yang mulai membaca karyanya tertarik untuk membaca karya-karyanya yang lain.
Empat dasawarsa
Fosse dibesarkan di sebuah kawasan pertanian kecil di Strandebarm, Norwegia. Dia belajar sastra di University of Bergen. Selain sebagai penulis, ia juga pernah bekerja sebagai penerjemah, salah satunya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Norwegia.
Sebelum menerbitkan novel pertamanya, Raudt, Svart, ia telah menulis cerita pendek Han yang diterbitkan pada 1981. Cerpen ini menjadi awal perjalanan kariernya dalam kesusastraan selama lebih dari empat dasawarsa.
Tulisan Fosse mempunyai sejumlah ciri khas, seperti menggunakan pengulangan, monolog batin, dan gaya musikal yang menggugah. Pada periode 1980-an, ia rajin menerbitkan prosa, puisi, dan buku anak-anak.
Setelah memantapkan dirinya sebagai novelis, penyair, dan penulis esai, ia merambah ke dunia kepenulisan drama. Tulisan drama perdananya pada 1992 berjudul Nokon Kjem Til å Komme (Seseorang Akan Datang). Ia mengungkapkan, emosi manusia yang paling kuat berupa kecemasan dan ketidakberdayaan dalam istilah sehari-hari yang paling sederhana.
Akan tetapi, drama pertama yang dipentaskan adalah Og Aldri Skal vi Skiljast (Dan Kita Tidak Akan Pernah Berpisah). Drama ini dipanggungkan di National Theater, Bergen, pada 1994.
Fosse merupakan penulis drama yang produktif. Debut internasionalnya terjadi pada 1999 ketika sutradara asal Perancis, Claude Régy, mementaskan Nokon Kjem Til å Komme. Tahun berikutnya, giliran teater terkenal Schaubühne Berlin, Jerman, menampilkan drama Namnet di Festival Salzburg. Kedua produksi ini membantu membuka jalan bagi drama Fosse menuju panggung dunia.
Walaupun secara internasional lebih dikenal sebagai penulis drama, Fosse juga mempunyai karya sastra lain yang mengagumkan. Novelnya berjudul Melancholy I dan Melancholy II, misalnya, bercerita tentang kehidupan pelukis Norwegia, Lars Hertervig, yang tersiksa oleh cinta tak terbalas.
Meski tak menduga akan mendapatkan penghargaan Nobel Sastra, Fosse senang dengan pencapaian itu dan ingin sedikit merayakannya dengan cara sederhana. ”Saya ingin merayakannya dengan makan malam yang enak bersama keluarga,” ujarnya. (NOBELPRIZE.ORG/AP/TAM)