Kesejahteraan dan Makna Warga Negara
Indonesia memasuki babak kebijakan kesejahteraan berwajah kebangsaan, namun bukan berarti refleksi kemandirian bangsa.
Seperempat abad lalu, Indonesia memasuki tradisi politik adiluhung dalam distribusi kesejahteraan yang menggambarkan upaya negara menempatkan warga negara berdampingan setara dengan penguasa.
Di wilayah Eropa, hal seperti ini telah dipraktikkan sejak lebih dari empat abad lalu. Status berdampingan warga negara vis a vis negara ini mewujud dalam bentuk penghargaan pemerintah pada hak sosial warga negara, yaitu hak mendapatkan kesejahteraan sebagai bagian esensial konsep kewarganegaraan (citizenship).
Tahun 1998 menjadi saksi sejarah bagaimana Pemerintah Indonesia berupaya mewujudkan hak sosial warga negara berpenghasilan rendah melalui reformasi kebijakan perlindungan sosial, sebagai wujud riil konsep kesejahteraan (welfare). Reformasi ini monumental karena distribusi kesejahteraan itu dikhususkan bagi warga negara termarjinalkan, yang selama ini belum pernah dilakukan.
Reformasi ini mencerminkan tradisi kehidupan politik adiluhung karena reformasi ini menghadirkan kesejahteraan melalui penghargaan hak semua warga negara tanpa membedakan status sosialnya, sebagai hakikat kehidupan berbangsa dan bernegara.
Reformasi ini monumental karena distribusi kesejahteraan itu dikhususkan bagi warga negara termarjinalkan, yang selama ini belum pernah dilakukan.
Kesejahteraan dan kewarganegaraan
Konsep kesejahteraan melekat erat dengan kewarganegaraan. Perkembangan negara kesejahteraan (welfare state), sebagai sosok negara yang dianggap mumpuni dalam distribusi kesejahteraan, menjadi saksi bagaimana konsep kewarganegaraan menjadi salah satu pijakan sentral dalam pengembangan kebijakan kesejahteraan.
Praktik kebijakan kesejahteraan ditujukan untuk menghargai hak sosial warga negara, melalui serangkaian upaya distribusi perlindungan sosial agar semua warga negara terlepas dari berbagai bentuk risiko sosial. Menjadi tanggung jawab politik dan kewajiban pemerintah untuk mewujudkan hak sosial tersebut.
Salah satu pertimbangan utama, karena warga negara telah memberikan legitimasi politik pada pemerintah untuk menjadi penguasa dalam tata pemerintahan negara.
Seberapa kuat negara berupaya menghargai hak warga negara tecermin dari komitmen politik pemerintah dalam mewujudkannya dan bisa dilihat dari seberapa besar pemerintah mengalokasikan aset ekonominya, berupa anggaran untuk membiayai distribusi kesejahteraan.
Dengan demikian, citra negara yang menempatkan warga negara dalam posisi yang dihormati adalah negara yang memiliki komitmen politik tinggi dalam mewujudkan hak sosial warga negaranya.
Reformasi kesejahteraan paling tua yang berupaya mewujudkan hak warga negara berpenghasilan rendah terjadi di Inggris lebih dari 400 tahun lalu ketika pemerintah Kerajaan Inggris mengesahkan aturan hukum untuk menyelesaikan kesulitan sosial-ekonomi yang dihadapi warga negara miskin karena depresi ekonomi di Inggris.
Reformasi serupa diikuti Pemerintah Jerman lebih dari seratus tahun kemudian, ketika mereka berupaya mengelola jaminan sosial di pasar kerja pasca-Revolusi Industri.
Reformasi kebijakan kesejahteraan ini meluas di benua Eropa, Amerika, dan Australia, memasuki masa pasca-Perang Dunia II dan menempatkan status mereka sebagai negara kesejahteraan. Perkembangan kebijakan kesejahteraan menjadi semakin kuat memasuki dekade 1970-an pada saat situasi ekonomi global sangat kondusif, mendukung pertumbuhan ekonomi yang terjadi di hampir semua negara.
Reformasi kesejahteraan
Reformasi kesejahteraan di Indonesia 25 tahun yang lalu terjadi dalam bentuk pelaksanaan kebijakan distribusi perlindungan sosial yang ditujukan khusus untuk rumah tangga miskin dalam bentuk bantuan sosial (bansos).
Bantuan sosial ini berupa jaring pengaman sosial (JPS), yang terdiri dari bantuan beras, jaminan sosial pelayanan kesehatan, bantuan biaya pendidikan, dan bantuan sosial lain untuk rumah tangga miskin selama krisis ekonomi tahun 1997.
Program JPS menjadi salah satu bagian dari restrukturisasi sistem politik-ekonomi Indonesia menuju sistem liberal yang ramah pada ekonomi pasar, sebagai syarat yang diwajibkan Bank Dunia karena Pemerintah Indonesia berutang kepada bank tersebut. Utang ini dilakukan untuk menyelesaikan kesulitan finansial karena krisis ekonomi 1997.
Distribusi JPS itu menandai babak baru kebijakan perlindungan sosial karena bantuan sosial ini sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, belum pernah diberikan kepada rumah tangga miskin. Pada masa tersebut Pemerintah Indonesia memberikan skema perlindungan sosial hanya pada pegawai negeri sipil dan anggota militer.
Walaupun Indonesia telah berhasil memasuki babak baru dalam kebijakan kesejahteraan yang lebih berwajah kebangsaan, hal itu bukan berarti dengan sendirinya merefleksikan kemandirian bangsa.
Reformasi kesejahteraan ini, dengan demikian, memiliki makna sangat penting bukan hanya dari sisi sosial-ekonomi untuk membantu rumah tangga miskin menghadapi kesulitan sosial-ekonomi, melainkan juga dari sisi politik. Secara politis, JPS wujud penghargaan pemerintah pada hak sosial warga negara tak mampu yang diberikan kepada mereka untuk pertama kalinya.
Setelah krisis ekonomi dilewati dan Pemerintah Indonesia telah membayar utang kepada Bank Dunia, JPS dikembangkan menjadi program perlindungan sosial yang lebih besar. Program bantuan beras miskin, misalnya, sekarang menjadi program Kartu Sembako; program beasiswa miskin menjadi Program Indonesia Pintar; dan jaminan kesehatan untuk rumah tangga miskin menjadi program Jaminan Kesehatan Nasional.
Kemandirian bangsa
Walaupun Indonesia telah berhasil memasuki babak baru dalam kebijakan kesejahteraan yang lebih berwajah kebangsaan, hal itu bukan berarti dengan sendirinya merefleksikan kemandirian bangsa. Masalah kemandirian dalam kebijakan kesejahteraan ini tecermin dalam dua aspek hakiki, yaitu kemandirian gagasan dan kemandirian finansial.
Hampir semua kebijakan bantuan sosial yang dikembangkan di Indonesia bukan berasal dari gagasan Pemerintah Indonesia. Semua program JPS untuk merespons krisis ekonomi 1997 adalah murni gagasan Bank Dunia, yang diwajibkan untuk dilaksanakan Pemerintah Indonesia. Program Keluarga Harapan (PKH), yang dilaksanakan pemerintah sejak 2007, juga merupakan inisiatif Bank Dunia.
Dalam isu keuangan, selama krisis ekonomi 1997, guna membiayai program JPS, Pemerintah Indonesia harus berutang kepada Bank Dunia. Mengandalkan utang pada lembaga asing ini diulang lagi selama pandemi Covid-19.
Untuk membiayai program JPS selama masa pandemi, Pemerintah Indonesia juga harus berutang kepada Bank Dunia dan mengeluarkan global bond.
Dalam pembiayaan beberapa program bantuan sosial, misalnya PKH, Pemerintah Indonesia juga belum bisa melepaskan diri dari utang Bank Dunia.
Dalam pengembangan kebijakan kesejahteraan, pemerintah belum mandiri. Baik dari aspek gagasan maupun finansial, inisiasi kebijakan perlindungan sosial didominasi kekuatan lembaga global, terutama Bank Dunia.
Kinerja pemerintah
Selama 25 tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah berusaha meraih kemandirian dalam kebijakan perlindungan sosial, khususnya kemandirian finansial. Selain itu, pemerintah juga berupaya memperkuat penghargaan pada hak sosial warga negara berpenghasilan rendah.
Sejak 1998, anggaran pemerintah untuk kebijakan perlindungan sosial menunjukkan tendensi meningkat. Dalam periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah mengalokasikan anggaran yang sangat besar, hampir Rp 500 triliun.
Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia berusaha memperkuat penghargaan hak sosial untuk warga negara berpenghasilan rendah. Pemerintahan Presiden Jokowi telah mencanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk memberikan bantuan pembayaran premi jaminan sosial tenaga kerja (jamsosnaker) berpenghasilan rendah melalui program penerima bantuan iuran (PBI) jamsosnaker.
Meski demikian, upaya peningkatan kemandirian finansial dan penguatan penghargaan hak warga negara miskin tersebut menghadapi problem yang serius.
Tendensi peningkatan anggaran yang mencapai hampir Rp 500 triliun memang menggambarkan nominal yang besar, tetapi sebenarnya jumlah nominal ini belum mencerminkan komitmen politik pemerintah yang kuat dalam mewujudkan kesejahteraan warga negara. Jumlah ini belum mampu mencukupi pembiayaan distribusi perlindungan sosial.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyarankan agar anggaran pemerintah di negara berkembang bernilai minimal 5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Kehadiran PBI jamsosnaker untuk tenaga kerja berpenghasilan rendah sama pentingnya dengan keberadaan sistem perlindungan sosial untuk petani dan nelayan guna melindungi mereka dari risiko sosial yang cukup kompleks.
Dalam 25 tahun terakhir, rata-rata anggaran Pemerintah Indonesia untuk kebijakan perlindungan sosial maksimum hanya berkisar 2 persen terhadap PDB. Persentase ini berada jauh di bawah anggaran beberapa negara tetangga, seperti Malaysia yang mencapai dua kali lipat dari anggaran Pemerintah Indonesia, yaitu sekitar 4 persen, dan Thailand yang sekitar 4,5 persen.
Pada saat yang sama, pemberian PBI jamsosnaker untuk tenaga kerja rentan belum diwujudkan. Pencapaian target PBI jamsosnaker memang sudah dicanangkan dalam RPJMN 2020-2024 oleh Pemerintah Presiden Jokowi, tetapi sampai pada waktu yang sudah mendekati batas akhir pencapaian target RPJMN, target itu belum tercapai, bahkan programnya pun belum mulai dilaksanakan.
Kehadiran PBI jamsosnaker untuk tenaga kerja berpenghasilan rendah sama pentingnya dengan keberadaan sistem perlindungan sosial untuk petani dan nelayan guna melindungi mereka dari risiko sosial yang cukup kompleks.
Selain tenaga kerja berpenghasilan rendah, petani dan nelayan juga termasuk pekerja yang paling rentan terhadap risiko sosial yang mereka hadapi, yang mencakup misalnya gagal panen dan paceklik. Meskipun demikian, program perlindungan sosial untuk petani dan nelayan ini juga belum dilaksanakan.
Kealpaan sistem jaminan sosial untuk tenaga kerja berpenghasilan rendah, petani, dan nelayan mengakibatkan upaya penghargaan hak sosial warga negara miskin menjadi kurang utuh dan kurang kuat. Secara bersamaan, lemahnya komitmen politik dalam penganggaran memperumit problem kemandirian dalam kebijakan perlindungan sosial.
Upaya mewujudkan sistem perlindungan sosial yang utuh dan kuat dalam menghargai hak sosial warga negara yang dikelola secara mandiri, dengan demikian, menjadi mandat penting bagi pemerintah sekarang dan pemerintah periode yang akan datang.
Baca juga : Soal Pangan, Percayakan ke Petani dan Nelayan
Mulyadi SumartoDosen Senior UGM dan Dosen Tamu Oxford University