Soal Pangan, Percayakan ke Petani dan Nelayan
Fondasi dan ekosistem swasembada pangan berdikari yang rapuh berlangsung hingga kini, 25 tahun setelah reformasi.
Tanggal 16 Oktober lalu, kita merayakan Hari Pangan Sedunia. Apa yang dirayakan? Keselamatan (security), ketahanan (resiliency), dan yang tertinggi nilainya, kedaulatan (sovereignty) atas pangan (of food).
Keselamatan pangan, nilainya sangat mendasar karena menyangkut hak hidup sehat setiap orang.
Ketahanan, ketersediaan, dan keterjangkauan akses pangan bagi setiap orang, tentu amat penting, agar ia tak kelaparan, meninggal, atau mengalami kuntet (stunting). Dan yang paling ideal, kedaulatan pangan. Yaitu tidak hanya swasembada pangan tanpa impor, tetapi juga memastikan aktor utama produksinya, bukan investor besar, negara maupun swasta, tetapi para petani dan nelayan.
Maka istilah tepatnya, swasembada pangan ”berdiri di atas kaki sendiri” (berdikari), sebagaimana dicanangkan Presiden pertama RI, Soekarno, pada 17 Agustus 1964. Kedaulatan pangan, diluncurkan kembali dalam Rapat Kerja Nasional IV, oleh salah satu partai berkuasa di Indonesia (29/9/2023).
”Diluncurkan kembali” karena itu bukan hal baru. Itu sudah menjadi program kerja, sejak politik etis ”balas budi” atas tiga generasi pemerasan Tanam Paksa oleh pemerintah kolonial Belanda diterapkan, yakni dengan meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi ala ”minyak pelumas” (oli velt) atau mengerahkan tenaga penyuluhan pertanian (extension services), serta irigasi dan transmigrasi, sejak 1901.
Program kerja Orde Lama meliputi mulai dari Rancang Kesejahteraan Kasimo (1948), gerakan lumbung paceklik dari dusun ke dusun hingga berbagai penemuan/persilangan padi Srigadis, Bengawan oleh Dr Handrian Siregar dari Institute Riset Pusat untuk Tanaman Pangan di Bogor.
Tanggal 16 Oktober lalu, kita merayakan Hari Pangan Sedunia. Apa yang dirayakan? Keselamatan ( security), ketahanan ( resiliency), dan yang tertinggi nilainya, kedaulatan ( sovereignty) atas pangan ( of food).
Selain itu, penemuan ketela stek okulasi jenis karet (manihot glaziovii) atas jenis singkong (manihot esculenta) oleh Mukibat, petani dari Ngadiloyo, Kediri (1903-1966); dan pembudidayaan/pengairtawaran ikan laut jenis tilapia (oreochromis mossambicus) oleh Moedjair dari Papungan, Kanigoro, Blitar tahun 1936. Bahkan, beras tela-katjang-djagung (Tekad) pernah diproduksi di salah satu pabrik di Jalan Magelang, Kutu, Yogyakarta.
Demikian juga, ketika Soeharto, membidani ”swasembada” beras, dengan sumber dana berlimpah petrodolar, setidaknya pada 1984 dan beberapa tahun kemudian, Indonesia mengalami nol impor beras.
Meskipun, ada yang menyayangkan, karena kebijakan itu menelantarkan genus tanaman pangan yang lain, kurang memperhitungkan dampak lingkungan dan keadilan antarpetani lahan luas dan sempit, menghilangkan sebagian keanekaragaman pangan khas lokal.
Bangunan swasembada beras di atas fondasi reforma agraria yang tak tuntas itu menjadikan ekosistem kedaulatan pangan lewat swasembada berdikari juga tidak solid (bdk Sajogyo, 1973, Ben White, 1989, F Wahono, 1998). Fondasi dan ekosistem swasembada pangan berdikari yang rapuh itu berlangsung hingga kini, 25 tahun setelah reformasi politik.
Tiga kelalaian mendasar
Artikel ini menyoroti tiga kelalaian mendasar, mengapa persoalan kedaulatan atau swasembada berdikari aneka pangan pokok tak selesai-selesai sampai sekarang.
Pertama, harus dicamkan, bahwa swasembada pangan berdikari, lebih besar implikasinya pada kehidupan, daripada sekadar menghitung berapa ketersediaan aneka pangan.
Kedua, sokoguru swasembada pangan berdikari adalah para petani dan nelayan, yang sering tergusur derap pembangunan fisik dan acap kali dilupakan, bahkan oleh kebijakan politik teknokratik pemerintah.
Ketiga, peran pemerintah bukan menggantikan petani dan nelayan, tapi sebaliknya, memastikan dan mendukung mereka jadi sokoguru pangan.
Dari data statistik yang tersedia, sejak Reformasi hingga kini, Indonesia belum mencapai status kedaulatan pangan. Belum ada swasembada berdikari dalam hal kecukupan pangan, apalagi gizi baik. Yang ada status ketahanan pangan. Itu pun lebih rendah daripada rata-rata kondisi Asia Pasifik.
Pada 2022, Indeks Ketahanan Pangan Indonesia berada di urutan ke-69 dari 113 negara dunia (Global Food Security Index). Berbagai pangan pokok, seperti beras, gula, daging, jagung, kedelai, gandum, minyak goreng, tepung ikan, bawang, dan garam, masih diimpor.
Sebuah ironi dari negara kepulauan tropis yang subur tanahnya, sejuk iklimnya, dan luas lautannya.
Perlu disadari, swasembada aneka pangan bukan sekadar memastikan kuantitas ketersediaan untuk memenuhi kebutuhan. Swasembada aneka pangan mengandung banyak aspek kehidupan. Selain pemenuhan gizi, juga penciptaan lapangan kerja layak, keterampilan dan kearifan berproduksi, menyimpan, memproses, mengangkut, serta mendistribusikan dan memasarkan.
Konservasi dan pemuliaan benih, galur, plasma nutfah, entah itu tumbuhan, hewan, ataupun ikan adalah hasil kerja budaya pertanian dan perikanan, yang butuh waktu lama dan rentan dibajak. Belum lagi ekosistem lokal dan ketersediaan lahan, serta iklim, yang sangat berpengaruh pada hasil juga teknologi yang memengaruhi jaringan semua proses.
Menjadi petani berlahan dan bergembalaan cukup, serta nelayan berkapal serta berwilayah tangkap cukup, adalah suatu harkat, budaya, dan kebutuhan pokok hidup, yang berdimensi HAM. Itu semua tak dapat diukur dengan kuantitas kecukupan pangan dan gizi.
Dari data statistik yang tersedia, sejak Reformasi hingga kini, Indonesia belum mencapai status kedaulatan pangan.
Sokoguru dilupakan
Jumlah petani dan pekerja sektor pertanian di Indonesia, pada 2023 adalah 40,69 juta orang (BPS). Mereka umumnya menguasai lahan amat sempit, kurang dari 2.500 meter persegi per keluarga. Setiap tahun, luas lahan pertanian yang 70 juta hektar, berkurang seluas 50.000-70.000 hektar karena alih fungsi ke nonpertanian.
Padahal, produksi beras tahun 2023 di Indonesia per hektar rata-rata hanya 5 ton, sedangkan di Australia 10 ton, Jepang 7 ton, Vietnam 6 ton, dan Thailand 3 ton. Jumlah nelayan Indonesia 1,27 juta pada 2022, berkurang sekitar 5,22 persen dari tahun sebelumnya yang 1,34 juta jiwa.
Menurut Walhi, penurunan tersebut disebabkan krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil (2022). Dari laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2022, produksi ikan sebanyak 27,09 ton. Namun, nelayannya kebanyakan miskin karena keterbatasan teknologi tangkap, lemahnya kemampuan mendapatkan ikan dan kemampuan jelajah wilayah laut kita.
Dari kacamata Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Rakyat yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP, 2018), yang embrionya dirumuskan oleh petani Indonesia 18 tahun sebelumnya (F Wahono, ed, 2001), dapat dikatakan petani dan nelayan kita lemah dan rapuh untuk menyangga cita- cita kedaulatan aneka pangan dan kekayaan gizi.
Pendekatan yang benar
Sebagai nusa-bangsa, kita kaya dan beranekaragam sumber daya alam (SDA) pangan. Juga tak kurang program ataupun niat baik, ahli manajemen dan teknologi, dana yang diguyurkan, dan fasilitas diberikan. Bahkan, juga tak kurang jumlah kementerian yang menangani.
Tak hanya Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan; tetapi juga Kementerian Perdagangan; Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR); serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Bahkan, juga Kementerian Pertahanan dan Kepolisian Negara RI dengan satgas pangannya dilibatkan penuh, lengkap dengan anggarannya.
Namun, bila pendekatan yang ditempuh melenceng dari ekosistem dan sokoguru pelaku utama, program kedaulatan aneka pangan Indonesia dipastikan akan gagal.
Negara harus mereposisi diri, vis-à-vis petani dan nelayan. Mereka bukan lagi diperlakukan sebagai apendiks perhelatan agung bangsa dalam menghidupi rakyat, tetapi sebagai sokoguru yang dapat dipercaya dan diandalkan. Caranya: buat petani dan nelayan serta generasi muda mereka tertarik jadi petani dan nelayan, dengan menjamin lahan atau wilayah tangkap tersedia, lewat reforma agraria yang dipercepat dan pro-petani, bukan pro-investor.
Jika ingin harga pangan terjangkau konsumen, sebagaimana di negara-negara maju, berikan subsidi. Subsidi ini akan kembali dalam bentuk meningkatnya produktivitas kerja di sektor pertanian-perikanan, maupun industri.
Negara harus mereposisi diri, vis-à-vis petani dan nelayan. Mereka bukan lagi diperlakukan sebagai apendiks perhelatan agung bangsa dalam menghidupi rakyat, tetapi sebagai sokoguru yang dapat dipercaya dan diandalkan.
Di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Belanda, Perancis, dan negara-negara Skandinavia, banyak kegiatan pertanian dan perikanan dikelola lewat organisasi kooperasi. Agar tercapai skala ekonomi, tapi tetap menjadi gerakan akar rumput; pengelolaan lewat kooperasi produksi, konsumsi dan jasa, serta multipihak, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, adalah jalan yang benar.
Peran pemerintah, kendati amat penting, bersifat mendukung, bukan menggantikan peran petani dan nelayan.
Perpres Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, adalah langkah yang baik. Namun, perlu didukung komitmen yang juga optimal. Misalnya, komitmen terkait kewajiban negara menjamin minimal lahan subur dua hektar untuk setiap keluarga petani beranggotakan tujuh orang, batas maksimal kepemilikan lahan tak boleh melampaui empat hektar, dan harus menghormati lahan hukum masyarakat adat.
Semuanya itu sudah diatur dalam UU Pokok Agraria 1960, namun sayangnya tak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan perpres ini. Akibatnya, tentu saja, TORA (tanah obyek reforma agraria) menjadi amat terbatas bagi petani. Perpres terbaru ini mengecualikan dan mengeksklusikan tanah-tanah eksesif masif yang dikuasai swasta, yang notabene investor.
Mereka berlindung di bawah UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang pada Pasal 22 Ayat (a) memberikan kepada investor Hak Guna Usaha 95 tahun, yang bisa diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun, dan dapat diperbarui selama 35 tahun.
Belum lagi pengecualian dari UU Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja. Ranjau-ranjau Perpres Percepatan Reforma Agraria cukup banyak. Kecuali ada omnibus law reforma agraria yang propetani, pronelayan, dan proswasembada berdikari aneka pangan; baru petani dan nelayan akan mendapatkan jaminan atas eksistensi dan perannya sebagai sokoguru pangan dan gizi bangsa.
Francis Wahono Direktur Cindelaras Institute, Yogyakarta, dan Ketua Pembina Bina Desa, Jakarta