Politisi Nahdliyin
Sejumlah kader NU muncul sebagai kandidat di Pilpres 2024. Reformasi membawa NU masuk begitu dalam ke politik.
Pada salah satu pengajian, sekitar tahun 2003 atau 2004, Gus Dur (sapaan Abdurrahman Wahid) bercerita anekdot tentang pencopet. Maklum, selain petuah-petuah bijaksana yang dalam, hadirin pengajian, diskusi, atau acara apa pun yang menghadirkan Gus Dur juga menunggu cerita-cerita lucu dari Gus Dur.
Gus Dur bercerita tentang seorang yang mencopet penumpang di salah satu terminal di Surabaya. Karena mendapat laporan adanya pencopetan, polisi melakukan operasi untuk mencari pelakunya. Setelah beberapa saat, ketemulah tersangkanya. Hingga kemudian digelandang ke pos polisi dan digeledah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Sampean itu punya Kartanu, kok, jadi pencopet?” tanya polisi setelah menggeledah dompet pencopet itu ada kartu tanda anggota NU (Nahdlatul Ulama). Tentu, Kartanu saat itu belum dalam bentuk ATM seperti saat ini. Paling kertas biasa kemudian di-laminating.
”NU itu, kan, keyakinan aqidah Pak,” jawab pencopet tersebut dengan percaya diri. ”Sedangkan copet itu profesi,” pungkasnya memberi alasan. Tentu, tidak diketahui bagaimana nasib pencopet tersebut. Gerrrr! Semua hadirin pun tertawa mendengar cerita Gus Dur tersebut.
Baca juga: Gus Dur, Humor, dan Demokrasi
Cerita itu sudah sering terdengar dan disampaikan berulang dengan narasi yang beragam. Dan pasti juga bisa dimaknai dengan berbagai sudut pandang. Dan jangan berpikir itu fakta atau bercanda. Sebab, jika anekdot Gus Dur dianggap semua benar, berapa banyak fakta yang disampaikan beliau dalam berbagai forum, tetapi memang memiliki beragam pesan.
Tentu, saya tidak sedang menjelaskan makna cerita tersebut atau menafsirkan apa maksud Gus Dur menceritakan kisah tersebut. Bukan. Namun, faktanya, memang cerita-cerita dari Gus Dur tidak hanya membuat orang tertawa dan menunggu anekdot lainnya, tetapi menjadi sebagai sarana berpikir atas realitas sosial masyarakat.
Jika mengambil konteks dengan dinamika politik menjelang Pemilu 2024, jika diikuti pemberitaan akhir-akhir ini, setidaknya banyak kader NU yang muncul sebagai kandidat pilpres, terutama di calon wakil presiden. Sebut saja Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD yang sudah dipinang sebagai bakal calon wakil presiden, dan Khofifah Indar Parawansa, dan beberapa calon lainnya.
Beberapa memang berproses dan tumbuh kembang di NU dan ada juga yang menjadi keluarga besar NU. Belum lagi perdebatan-perdebatan lainnya. Kira-kira kalau merujuk pada anekdot tersebut bisa menjadi begini. ”NU, kan, organisasi saya Pak, sedangkan politisi itu profesi saya.”
Fakta bahwa NU selalu menjadi pembahasan utama dari pemilu ke pemilu tidak bisa dimungkiri, terutama pascareformasi. Dengan sistem pemilu satu orang satu suara, dan pola budaya dan tradisi NU yang sering kali acara-acara pengumpulan massa, akan menarik politisi partai politik apa pun dan siapa pun. Dalam popularitas, NU selalu ”bernasib lebih baik” dibandingkan dengan ormas keagamaan lainnya. Baik di ormas Islam maupun ormas agama lainnya. Atau, justru bernasib kurang baik? Tergantung sudut pandang tentunya.
Meski demikian, sering kali menjadi pembahasan panas pengamat, NU sering kali dinyatakan sebagai sistem yang sulit didefinisikan, terutama dalam bidang politik. Burhanudin (2015) menjelang Muktamar Ke-33 NU di Jombang dalam artikelnya menyatakan istilah ”Kekecualian NU” dengan penjelasan jejak ambiguitas NU terlihat dalam banyak hal. Relasi NU dengan negara, misalnya, tidak pernah ajek. Jadi, meskipun NU sering kali menjadi medan perebutan suara pada calon, sesungguhnya mereka juga sadar bahwa NU mempunyai budaya yang mandiri dan tidak terikat kuat secara struktural. Ini sudah menjadi karakter utama organisasi NU.
NU sering kali dinyatakan sebagai sistem yang sulit didefinisikan, terutama dalam bidang politik.
Momentum reformasi membawa NU sebagai organisasi ataupun anggotanya masuk begitu dalam ke politik dengan latar belakang partai politik yang beragam. Tentu, politik di sini beragam istilah dan konsekuensinya. Misalnya penerapan khitah, politik kebangsaan, dan beragam istilahnya. Mungkin, semua partai politik memiliki kader yang berlatar belakang NU. Hingga kemudian, pada momen-momen politik ”menjadi NU” dianggap menguntungkan para politikus tersebut, apa pun partainya.
Ramlan Surbakti dalam pengantar buku Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama karya Abdul Halim menjelaskan bahwa secara analisis fungsi ideologis, perilaku elite dapat diklasifikasi menjadi empat. Pertama, elite yang memilih aktif dalam partai politik dengan tujuan keinginan kuat untuk mewujudkan sistem nilai Aswaja dalam bernegara dan berbangsa.
Kedua, elite yang memilih aktif di partai politik untuk ambisi kekuasaan politik dalam bernegara dan berbangsa. Ketiga, elite yang memilih aktif pada partai politik untuk menciptakan sistem nilai daripada ambisi kekuasaan dan kedudukan. Keempat, elite memilih aktif pada partai politik menggunakan sistem nilai sebagai pembenar atas ambisi kedudukan dan kekuasaan.
Empat klasifikasi politisi Aswaja tersebut bisa menjadi sarana untuk menilai gagasan-gagasan dan rekam jejak politisi Nahdliyin dalam momentum-momentum politik seperti pemilu, pilkada, dan momentum politik lainnya. Klasifikasi ini sebenarnya bisa juga untuk memotret politisi yang memiliki latar belakang aktivis, ormas, dan komunitas-komunitas lainnya. Dan, klasifikasi ini tidak hanya berlaku untuk memotret politisi-politisi partai politik, tetapi juga para tim sukses, relawan, dan beragam lainnya.
Untuk jangkauan yang lebih luas, polarisasi klasifikasi elite politik tersebut sesungguhnya bisa juga untuk memotret politisi-politisi yang mengklaim diri sebagai ”politisi dari ormas” atau memang benar-benar lahir dan berproses pada ormas keagamaan dan kemasyarakatan. Tidak hanya melulu memotret perilaku politisi NU, tetapi juga untuk memotret politisi Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), atau ormas lainnya. Baik yang berbasis keagamaan maupun kemasyarakatan.
Baca juga: Berebut Restu Politik NU
Dalam banyak kasus, politisi memang tidak bisa berdiri sendiri. Mereka memiliki latar belakang yang ingin selalu dihubungkan dengan profesinya sebagai politisi. Profil masa lalu, aktivis masa lalu, dan lain sebagainya untuk menghubungkan masa lalu politisi tersebut pada ide dan gagasan yang akan mereka perjuangkan di medan perjuangan sebagai politisi. Bahkan, bagi beberapa politikus yang pemula mendadak menjadi politisi, tidak sedikit yang membuat dan membentuk komunitas, organisasi, majelis taklim sebagai representasi mereka masing-masing. Karena itu, salah satu jalan untuk membina konstituen dan merawat masa depan politisi itu sendiri.
Rahmat Basuki, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Lampung
Facebook: Rahmat.albasqy