Menilik Arah Reformasi TNI dalam UU ASN
UU ASN terbaru kontraproduktif dengan reformasi TNI dan Polri. Ini cermin cara pandang dwifungsi TNI yang belum berubah.
Tentara Nasional Indonesia atau TNI baru saja memperingati hari ulang tahun ke-78 pada 5 Oktober lalu. Segala harapan agar reformasi TNI kembali ke relnya tercurahkan setelah satu tahun terakhir keluar jalur pada beberapa kasus. Ini terutama mengenai perluasan posisi militer pada jabatan sipil.
Usulan revisi UU TNI salah satu muatannya menambah jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI tanpa melalui mekanisme pensiun dini. Sementara UU TNI secara eksplisit telah membatasi jabatan sipil mana saja yang dapat diduduki anggota TNI tanpa melalui pensiun dini.
Nyatanya, beberapa hari pasca-HUT TNI 5 Oktober, harapan tersebut justru sirna melalui pengesahan RUU tentang Perubahan UU Nomor 5 Tahun 2014 menjadi UU ASN terbaru. SETARA Institute dalam siaran persnya, Sabtu (7/10/2023), menyatakan bahwa pengesahan tersebut ibarat menjadi kado regresi reformasi TNI melalui sejumlah muatan yang berkaitan dengan perluasan posisi militer pada jabatan sipil.
Baca juga: Masyarakat Sipil Nilai Revisi UU ASN sebagai Langkah Mundur Reformasi Sektor Keamanan
Kondisi tersebut tak ayal memicu kritikan pelbagai elemen masyarakat sipil yang selama ini menaruh fokus pada agenda reformasi TNI. Muncul penilaian bahwa terdapat aroma mengundang kembali hantu dwifungsi militer dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Muatan dalam pengesahan tersebut mengakselerasi perluasan posisi militer pada jabatan sipil, terutama jabatan ASN tertentu. Begitu pun Polri yang juga mendapatkan ruang akselerasi penempatan anggotanya pada jabatan sipil. Dalam ketentuan UU a quo dijelaskan bahwa jabatan yang dapat diisi prajurit TNI dan Polri pada nonmanajerial yang terdiri dari jabatan fungsional dan jabatan pelaksana.
Ketentuan jabatan fungsional memerlukan keahlian dan keterampilan tertentu sebagai pertimbangan pengisinya. Sementara jabatan pelaksana yang berkaitan dengan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan juga berpotensi menjauhkan anggota TNI terkait dari persoalan yang berkaitan dengan pertahanan negara.
Ketentuan ini secara prinsip bertentangan dengan upaya pembatasan yang telah diatur pada UU Polri dan UU TNI. Pasal 28 Ayat (3) UU Polri secara tegas menyatakan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Adapun Pasal 47 Ayat (1) UU TNI juga mengatur prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Selain itu, implikasi dari ketentuan tersebut bukan hanya membuka peluang penempatan TNI pada jabatan sipil di luar ketentuan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI atas dasar keahlian dan keterampilan, tetapi juga semakin masifnya migrasi TNI ke jabatan-jabatan sipil. Ini akan membuat banyak prajurit TNI berhadapan dengan urusan administratif dan fungsional pada jabatan sipil yang berakibat jauhnya dari persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pertahanan negara.
Kondisi tersebut kontraproduktif dengan upaya membangun kekuatan militer yang profesional dan fokus kepada pertahanan negara mengingat perkembangan ancaman dan lingkungan strategis yang kian dinamis. Militer seharusnya menguatkan pertahanan melalui cara-cara modern, bukan dengan cara konvensional.
Penempatan TNI pada jabatan sipil seharusnya menyesuaikan relevansinya dengan jabatan-jabatan yang memiliki kaitan tugas dengan aspek pertahanan negara. Kemampuan dan kompetensi prajurit TNI sebagai dasar penempatan prajurit pada jabatan sipil menjadi cerminan cara pandang dwifungsi TNI yang belum berubah. Sebab, kemampuan dan kompetensi prajurit TNI seharusnya dimaksimalkan untuk tugas utamanya di bidang pertahanan.
Penempatan TNI pada jabatan sipil seharusnya menyesuaikan relevansinya dengan jabatan-jabatan yang memiliki kaitan tugas dengan aspek pertahanan negara.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ketentuan mengenai ASN/sipil dapat menduduki jabatan di lingkungan TNI dan Polri, bahkan punya kesempatan menjabat sebagai wakapolri misalnya, yang merupakan manifestasi konsep resiprokal. Jika mengacu kepada persoalan masih adanya perwira non-job di institusi TNI/Polri, pada dasarnya konsep resiprokal ini tentu tidak menjadi jawaban atas persoalan tersebut. Sebab, hal ini justru berpotensi semakin mengurangi jabatan-jabatan untuk perwira (menengah dan tinggi) di instansi TNI/Polri. Perlu diperhatikan juga efektivitas pengaturan penempatan jabatan itu dengan kenyataan bahwa ASN terkait tidak memiliki ”kuasa komando” jika ditempatkan pada jabatan-jabatan di lingkungan TNI/Polri tersebut.
Jika konsep resiprokal itu ditopang berdasarkan sistem merit, dengan persoalan-persoalan lama yang cukup sering dengar terdengar berkaitan dengan penerimaan anggota, promosi jabatan, hingga kenaikan pangkat yang menggunakan berbagai macam cara ilegal (seperti uang dan orang dalam) pada banyak instansi, seharusnya sistem merit tersebut ditanamkan pada tiap-tiap instansi terlebih dahulu, bukan ujuk-ujuk pada konsep resiprokal UU ASN baru ini.
Refleksi
Jika ada yang bertanya, mengapa muatan-muatan dalam UU a quo dianggap mengundang kembali hantu dwifungsi militer? Jawabannya sederhana, yakni perihal perluasan peran dan posisi militer yang pascareformasi telah dibatasi, dari semula militer sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan kekuatan sosial-politik sebagaimana ketentuan Pasal 6 UU Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI (UU ABRI), menjadi hanya kekuatan pertahanan negara sebagaimana ketentuan Pasal 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI). Lahir dan berlakunya UU TNI pada 2004 ini pula yang secara serta-merta mencabut berlakunya UU ABRI.
Jika ada pertanyaan lanjutan, mengapa dibatasi? Maka jawabannya ada pada Konsiderans huruf d TAP MPR No 6 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri yang menyatakan bahwa peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Catatan SETARA Institute dalam siaran persnya, Sabtu (7/10/2023), patut disimak berkaitan dengan persoalan ini. Terdapat empat poin. Pertama, Presiden dan DPR mengevaluasi kembali muatan dalam UU ASN tersebut yang kontraproduktif dengan upaya reformasi TNI dan Polri karena membuka jalan perluasan posisi prajurit TNI dan Polri pada jabatan sipil secara massif.
Baca juga: Reformasi TNI dan Polri
Kedua, muatan dalam UU ASN terbaru ini menghambat akselerasi reformasi TNI ke depan yang fokus kepada empat kata kunci sebagaimana arahan yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada HUT TNI 2021, antara lain, reformasi militer (military reform), modernisasi pertahanan (defense nodernization), transformasi pertahanan (defense transformation), dan kekuatan pertahanan Indonesia (Indonesia defense power).
Ketiga, muatan dalam UU ASN terbaru ini secara nyata memperlihatkan adanya upaya membuka jalan terhadap penempatan TNI pada jabatan sipil yang tiada akhir, setelah sebelumnya melalui wacana revisi UU TNI. Kondisi ini juga memperlihatkan sebuah habituasi dan normalisasi penempatan TNI pada jabatan sipil.
Keempat, muatan dalam UU ASN terbaru ini memperlihatkan rendahnya komitmen reformasi TNI dan Polri dari pejabat sipil. Melalui UU ASN terbaru ini, secara nyata pejabat sipil yang membuka pintu perluasan peran TNI pada jabatan sipil dan semakin menunjukkan bahwa supremasi TNI dan Polri dalam penyelenggaraan negara semakin kokoh.
Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute