Tingginya tingkat penyakit yang ditularkan melalui vektor terjadi seiring krisis iklim yang intensitasnya kian bertambah.
Oleh
MARIA GUEVARA
·4 menit baca
Perubahan iklim berdampak buruk terhadap kesehatan. Dampak tersebut antara lain dilihat oleh Medecins Sans Frontieres atau Doctors Without Borders (MSF), sebagai organisasi kemanusiaan kesehatan internasional, pada orang-orang yang mereka rawat pada lebih dari 70 negara di seluruh dunia.
Sebagai gambaran, tahun ini, topan Mocha yang dahsyat melanda Myanmar dan Bangladesh serta menghancurkan tidak hanya komunitas, tetapi juga kamp-kamp pengungsi. Dalam beberapa tahun terakhir, kita juga telah menyaksikan topan dahsyat, seperti Haiyan (2013), melanda Filipina tengah dan menyebabkan banjir besar di Indonesia. Banjir ini telah menenggelamkan rumah dan menghancurkan harta benda.
Namun, krisis iklim ini bukan hanya topan dan taifun super. Bulan Juli 2023 tercatat sebagai bulan terpanas di planet Bumi dalam 174 tahun terakhir. Hal itu mengakibatkan kebakaran hutan di Kanada, gelombang panas besar di Perancis, Spanyol, Jerman, Polandia, dan Italia. Selain itu, juga terjadi gelombang panas laut di sepanjang garis pantai dari Florida hingga Australia.
Singkatnya, fenomena cuaca ini terjadi di seluruh dunia dengan frekuensi dan dampak yang lebih besar.
Perubahan iklim mempunyai dampak lain terhadap kesehatan, khususnya penyakit.
Meskipun fenomena-fenomena cuaca itu merupakan dampak paling nyata, perubahan iklim mempunyai dampak lain terhadap kesehatan, khususnya penyakit. MSF merespons tingginya tingkat penyakit yang ditularkan melalui vektor, seperti serangga atau organisme hidup lain, penyakit yang ditularkan melalui makanan, dan penyakit yang ditularkan melalui air dalam proyek MSF. Hal ini mengkhawatirkan karena penyakit itu diperkirakan meningkat seiring krisis iklim yang intensitasnya kian bertambah.
Diperkirakan akan ada 15 juta lebih kasus malaria setiap tahun, dengan 30.000 kematian terkait kasus tersebut, di luar dari apa yang telah kita lihat sekarang ini.
Satu miliar orang diperkirakan akan terkena demam berdarah, tidak hanya di Asia Pasifik, di mana penyakit ini lebih umum terjadi, tetapi juga di seluruh dunia. Pejabat Uni Eropa baru-baru ini memperingatkan bahwa ada peningkatan risiko penyakit virus yang ditularkan oleh nyamuk seperti demam berdarah dan chikungunya di Eropa akibat perubahan iklim.
MSF juga melihat wabah kolera pada setidaknya 30 negara. Meskipun disebabkan banyak faktor, perubahan iklim jadi salah satu penyebab.
Perubahan iklim juga terkait dengan kerawanan pangan dan malanutrisi. Dengan kejadian cuaca ekstrem seperti gelombang panas dan peningkatan curah hujan, terjadilah kekeringan dan banjir yang berdampak pada komunitas petani dan nelayan. Hal itu tentu memengaruhi segala hal, mulai dari hasil panen, hewan yang mengolah tanah, hingga jumlah ikan yang terjaring.
Kondisi sawah yang tidak diolah lantaran kekeringan menerjang lokasi pertanian di Desa Oebelo, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur pada Selasa (3/10/2023).
Penyebaran penyakit
Dampak perubahan iklim tidak berhenti di situ. Dampak lainnya meliputi penyebaran penyakit tidak menular; pengungsian yang tidak diinginkan dan masalah keimigrasian; dan munculnya konflik sosial.
Semua masalah itu diperkirakan akan semakin meningkat seiring berjalannya waktu jika kita tidak mengambil tindakan segera.
Dampak itu dapat dilihat pada penanganan pasien di komunitas paling rentan. Namun, meskipun sudah berbuat maksimal, MSF masih melihat kebutuhan yang sangat besar.
Asia Pasifik hingga Timur Tengah, negara-negara Afrika, serta negara-negara dengan sumber daya terbatas akan mengalami dampak terburuk akibat krisis iklim. Pasien Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh, yang telah mengalami penganiayaan puluhan tahun dan terbebani ditahan di kamp pengungsi terbesar di dunia, berulang kali juga terancam oleh banjir dan angin topan.
Pasien MSF di negara kepulauan Kiribati menghadapi perubahan iklim dan lingkungan yang mengurangi mata pencarian dan memperburuk risiko penyakit mereka.
Alarm tanda bahaya telah dibunyikan. MSF melihat kebutuhan yang sangat besar ini disebabkan oleh krisis iklim, dan mengkhawatirkan kebutuhan itu melampaui kemampuan organisasi kemanusiaan itu untuk meresponsnya.
Negara-negara yang paling bertanggung jawab atas pemanasan global yang mencapai 1,2 derajat di atas tingkat praindustri mestinya membantu mereka yang paling terkena dampak.
Negara-negara yang paling bertanggung jawab atas pemanasan global yang mencapai 1,2 derajat di atas tingkat praindustri mestinya membantu mereka yang paling terkena dampak. Negara-negara itu perlu memberikan dukungan finansial dan teknis kepada mereka yang paling rentan.
Pemerintah di negara-negara yang paling terkena dampak perubahan iklim, termasuk di Asia Pasifik, juga harus memaksa negara-negara penghasil polusi utama untuk membantu mereka memitigasi dan mengelola dampak perubahan iklim. Mereka juga harus menerapkan kebijakan dan tindakan afirmatif terhadap perubahan iklim dalam mengatasi dan membalikkan dampaknya.
Dalam pertemuan baru-baru ini, negara-negara G20 telah berkomitmen terhadap sistem kesehatan yang lebih ramah lingkungan dan lebih tahan terhadap perubahan iklim. ASEAN yang mencakup lima dari 20 negara paling berisiko di dunia telah mengumumkan strategi ambisius untuk berupaya menuju netralitas karbon. Agenda COP28 juga memiliki fokus lebih besar pada kesehatan, bantuan, dan tanggap bencana.
Komitmen-komitmen itu ambisius. Negara-negara di kawasan ini pun harus mewujudkannya dan mengambil tindakan nyata. Kita sudah melewati batas sehingga aksi tegas perlu segera diambil.
Krisis iklim memerlukan pendekatan dari seluruh masyarakat. Masyarakat dan organisasi juga harus memahami bahwa perilaku kita sendiri adalah bagian dari masalah. Kita perlu merespons bersama-sama, dalam solidaritas bersama seluruh warga dunia, demi kesehatan kita semua.