Krisis Iklim Berdampak pada Kesehatan Jiwa Generasi Muda
Krisis iklim dapat berdampak pada kesehatan jiwa masyarakat, tidak terkecuali generasi muda. Sebagian anak muda mengaku mengalami stres dan cemas karena terdampak perubahan iklim.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Dampak krisis iklim secara tidak langsung dapat memicu gangguan kesehatan jiwa, seperti cemas, stres, dan depresi. Generasi muda dikhawatirkan menjadi salah satu kelompok yang rentan mengalami ini. Untuk mengantisipasinya, layanan kesehatan jiwa yang mudah diakses mesti tersedia.
Assistant Professor Kesehatan Masyarakat di Monash University Indonesia Gabriela Fernando mengatakan, dampak krisis iklim di Asia Tenggara, antara lain, mencakup kenaikan suhu permukaan air laut serta kenaikan frekuensi dan intensitas gelombang panas. Krisis iklim juga menyebabkan degradasi lingkungan, bencana hidrometeorologi, krisis air bersih, hingga turunnya produksi tanaman yang bisa mengancam ketahanan pangan.
Dampak krisis iklim juga akan menyentuh sektor sosial dan ekonomi. Sebagian masyarakat akan kehilangan tempat tinggal, misalnya, karena banjir bandang dan tanah longsor. Ada pula masyarakat yang kehilangan mata pencaharian dan pendapatannya berkurang, misalnya, karena sulit memancing ikan dan bercocok tanam.
”Krisis iklim akan berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental manusia, seperti munculnya penyakit, terjadinya stres, depresi, dan kecemasan,” kata Gabriela di Tangerang, Jumat (12/5/2023).
Ia menambahkan, dunia kini mengenal istilah eco-anxiety, yakni konsep baru yang merujuk ke ketakutan kronis karena bencana ekologis. Istilah ini merujuk ke rasa khawatir, ketakutan, kemarahan, duka, malu, atau rasa bersalah akan masa depan generasi setelahnya.
Kekhawatiran akibat perubahan iklim tampak dari survei yang dilakukan Caroline Hickman et al, yakni tim gabungan multidisiplin dari Bath University, Inggris. Survei diterbitkan di jurnal The Lancet pada Oktober 2021. Survei ini melibatkan 10.000 orang berusia 16-25 tahun dari 10 negara, antara lain, Perancis, India, Filipina, Inggris, dan Amerika Serikat (Kompas.id, 22/10/2021).
Hasilnya, 84 persen responden mengaku khawatir dengan dampak perubahan iklim. Sebanyak 45 persen responden mengaku sangat cemas dan stres sehingga memengaruhi keseharian mereka. Responden dengan kekhawatiran tinggi adalah mereka yang ada di bumi bagian selatan yang mengalami atau menyaksikan langsung dampak krisis iklim, seperti kelaparan, kemiskinan, dan bencana.
Menurut psikiater anak dan remaja Universitas Indonesia, Fransiska Kaligis, gangguan kesehatan jiwa dapat terjadi ke siapa saja. Ini karena faktor risiko gangguan kesehatan jiwa tidak memandang kelompok usia. Adapun faktor risiko tersebut adalah faktor biologis, psikologis, dan lingkungan.
Mesi demikian, generasi muda perlu diperhatikan karena dianggap sebagai salah satu kelompok rentan. Fransiska mengatakan, generasi muda saat ini hidup di era derasnya arus informasi. Namun, kecepatan informasi tidak selalu disertai dengan kematangan emosi generasi muda.
”(Orang) usia muda memang masih dalam tahap perkembangan hingga usianya 24 tahun. Otak itu pusat kognitif yang salah satu fungsinya mengatur cara berpikir, cara mengatasi masalah, mengontrol (emosi), dan decision making. Dari berbagai studi, didapati bahwa mungkin sampai usia 24 tahun, otak seseorang masih berkembang dan mungkin fungsi kognitif belum mature sekali,” ucap Fransiska.
Kecepatan informasi tidak selalu disertai dengan kematangan emosi generasi muda.
Berdasarkan penelitian Universitas Gadjah Mada pada 2022, satu dari tiga remaja di Indonesia memiliki masalah kesehatan jiwa dalam 12 bulan terakhir. Pada periode yang sama, satu dari 20 remaja didiagnosis mengidap penyakit kejiwaan. Adapun 4,6 persen remaja mengaku merasa lebih cemas, depresi, kesepian, dan sulit konsentrasi karena pandemi Covid-19.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, ada lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Selain itu, lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.
Akses terbatas
Walau jumlah penduduk dengan gangguan kesehatan jiwa cukup tinggi, layanan kesehatan jiwa tidak selalu bisa diakses. Fransiska mengatakan, hanya ada sekitar 1.200 psikiater di Indonesia dan 68 persen di antaranya berada di Pulau Jawa. Padahal, jumlah penduduk Indonesia saat ini 273 juta jiwa. Ini berarti satu psikiater mesti menangani lebih dari 227.000 orang.
Pemuda sekaligus pegiat kesehatan mental, Adi Palguna, mengatakan, ia dulu pernah mengalami depresi, kecemasan, dan percobaan bunuh diri. Namun, ia sulit mengakses layanan kesehatan jiwa karena mesti bekerja dari pagi hingga petang. Menurut dia, layanan kesehatan jiwa yang bisa diakses kapan pun dan di mana pun menjadi penting.