Perang Hamas-Israel dan Dinamika Politik Kawasan
Tampaknya, dengan melancarkan perang, Hamas berharap hal yang sama: Israel mengakhiri pendudukannya atas tanah Palestina. Pesan Hamas jelas: tidak mungkin cita-cita Israel berhasil tanpa memerdekakan Palestina.
Pada 7 Oktober 2023 pagi, bertepatan dengan ulang tahun ke-50 perang Israel melawan Arab (Mesir dan Suriah), Harakah Muqawamah al-Islamiyah atau Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) yang memerintah Jalur Gaza melancarkan serangan dadakan dan masif ke wilayah selatan Israel.
Mengejutkan. Hamas tak hanya berhasil meluncurkan 3.000-an rudal dalam waktu 20 menit, tetapi juga mampu melakukan infiltrasi ke wilayah musuh yang dijaga ketat.
Pada hari ketiga, tak kurang dari 700 tentara dan warga sipil Israel tewas. Seratusan lain ditawan Hamas. Israel langsung mengumumkan negara dalam keadaan perang dan melancarkan serangan balasan yang masif pula. Tak kurang dari 370 warga Palestina di Gaza tewas.
Perang masih berlangsung hingga saat ini. Pasukan Hamas belum dapat dipukul mundur dari wilayah Israel.
Seperti yang sudah-sudah, Israel akan membombardir infrastruktur vital Gaza, bahkan rumah-rumah warga sipil, sebagai hukuman kolektif terhadap kantong Palestina yang sejak 2007 diblokade Israel dari semua penjuru: darat, laut, dan udara. Perang belum akan berakhir sampai Israel ditaksir telah memenangi pertempuran guna menjaga legitimasi pemerintahan ekstrem kanan pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Serangan Hamas—dibantu Jihad Islam—tak bisa dilepaskan dari dinamika politik regional.
Dinamika politik regional
Serangan Hamas—dibantu Jihad Islam—tak bisa dilepaskan dari dinamika politik regional. Pada 2020, dengan bantuan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump, empat negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko) menormalisasi hubungan dengan Israel. Dengan demikian, sudah enam negara Arab berdamai dengan Israel setelah Mesir (1979) dan Jordania (1994).
Sementara, saat ini—dengan bantuan AS juga—Israel dan Arab Saudi memasuki tahap akhir negosiasi perdamaian keduanya. Diprediksi paling lama pada kuartal pertama tahun 2024 kedua negara akan menormalisasi hubungan. Toh, belakangan ini menteri-menteri Israel telah keluar-masuk Arab Saudi secara terang-terangan menggunakan paspor Israel.
Pendekatan Riyadh-Tel Aviv bukan hal dadakan. Sejak ditetapkan sebagai Putra Mahkota Arab Saudi pada 2017, Mohammed bin Salman (MBS), putra Raja Salman bin Abdul Aziz, melirik Israel. Hal ini tak bisa dilepaskan dari visi Arab Saudi 2030 yang dicanangkannya.
Visi itu memproyeksikan Arab Saudi menjadi negara modern yang terbuka, bebas dari ketergantungan pada minyak dalam pendapatan luar negerinya, dan bebas dari Wahabi konservatif. Untuk itu, MBS membangun kota Neom yang supermodern di barat laut negara itu.
Neom mencakup juga dua pulau, Pulau Tiran dan Sanafir di Laut Merah dekat Teluk Aqaba, yang berbatasan maritim dengan Israel. Penyerahan dua pulau itu oleh Mesir kepada Arab Saudi tak lepas dari persetujuan Israel dengan syarat Arab Saudi mengakhiri hubungan permusuhan dengan Israel. Di luar itu, Arab Saudi berharap Neom dapat menarik sejumlah besar wisatawan Israel.
Bagaimanapun, potensi pemulihan hubungan Israel-Arab Saudi menimbulkan alarm bagi Palestina. Arab Saudi adalah kekuatan regional, bahkan pemain utama, di dunia Arab. Perdamaian Riyadh-Tel Aviv besar kemungkinan akan mendorong negara Arab atau negara Muslim lain mengikuti jejaknya.
Jika demikian, posisi Palestina vis a vis Israel akan semakin melemah. Bahkan, tidak mustahil cita-cita Palestina memiliki negara sendiri yang berdaulat tak dapat direalisasikan.
Toh, partai-partai kanan yang mendominasi perpolitikan Israel tak berminat melanjutkan proses perdamaian dengan Palestina. Apalagi, dalam negosiasi perdamaiannya, Arab Saudi hanya meminta Israel memudahkan kehidupan warga Palestina, tidak lagi menuntut Israel memerdekakan Palestina sesuai dengan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB dan Kesepakatan Oslo, yang dulu dijadikan pijakan dalam Inisiatif Arab 2000 yang diajukan Arab Saudi dalam KTT Liga Arab di Beirut.
Alasan lain, Bulan Sabit Syiah pimpinan Iran—yang mencakup juga Irak, Suriah, dan Lebanon—kian kuat. Pengaruh Iran terhadap Palestina pun cukup besar. Sementara di halaman belakang Arab Saudi ada milisi Syiah Houthi yang merupakan proksi Iran. Negosiasi perdamaian antara Houthi dan Pemerintah Yaman dukungan Arab Saudi sedang berlangsung.
Mau tak mau, Pemerintah Yaman pascaperang harus juga berbagi kekuasaan dengan Houthi. Dalam konteks ini, Maret silam, secara tak terduga Arab Saudi berdamai dengan Iran.
Bagaimanapun, potensi pemulihan hubungan Israel-Arab Saudi menimbulkan alarm bagi Palestina. Arab Saudi adalah kekuatan regional, bahkan pemain utama, di dunia Arab.
Namun, ini belum cukup. Arab Saudi butuh jaminan keamanan dari AS untuk mengimbangi Iran yang kuat secara militer demi menjaga stabilitas internal dan regional yang menjadi syarat terwujudnya visi Arab Saudi 2030.
Presiden AS Joe Biden yang masih ingin terpilih pada pemilu AS tahun depan melihat perdamaian Arab Saudi-Israel akan memberi insentif elektoral kepadanya. Terlebih, ia tak boleh kalah dari Trump. Hal ini penting ketika dukungan rakyat AS terhadap komitmen Biden memberikan bantuan militer kepada Ukraina merosot.
Meniru Anwar Sadat
Ketika Netanyahu berambisi untuk segera memulihkan hubungan dengan Arab Saudi, secara paradoks pemerintahannya yang rasis—yang mulai berkuasa pada akhir tahun lalu—terus membangun permukiman ilegal Yahudi di daerah pendudukan di Jerusalem Timur dan Tepi Barat sambil meningkatkan represi terhadap Palestina.
Sialnya, generasi muda Palestina di dua wilayah itu telah kehilangan kepercayaan kepada Otoritas Palestina karena sejak 2014 proses perdamaian Israel-Palestina terhenti total.
Mereka juga kehilangan kepercayaan kepada AS dan Uni Eropa sebagai mediator perdamaian yang tak melakukan sesuatu untuk menggulirkan kembali proses perdamaian.
Anak-anak muda yang datang dari berbagai faksi di Palestina—termasuk Hamas dan Jihad Islam—dan frustrasi menghadapi masa depan yang tidak jelas itu mulai mengambil inisiatif sendiri. Sejak tahun lalu, mereka melakukan serangan bersenjata terhadap pos-pos Israel di berbagai tempat, bahkan menyerang penduduk sipil Yahudi di dalam wilayah Israel.
Bukannya menilik kembali posisinya terkait Palestina, Netanyahu meningkatkan kekerasan terhadap mereka.
Netanyahu juga memfasilitasi kunjungan-kunjungan provokatif orang-orang Yahudi ke kompleks Masjid Al-Aqsa yang selalu dikecam Hamas.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, Senin (9/10/2023), memerintahkan pengepungan total di Gaza menyusul perang antara militer Hamas dan Israel sejak Sabtu lalu.
Hubungan Israel dengan Gaza kian tegang karena Israel tak henti menyerang situs-situs militer Iran di Suriah. Juga membunuh pakar dan menyabotase instalasi nuklir Iran untuk mencegah negara mullah itu memiliki bom atom.
Tak jarang, kedua negara bergantian menyerang tanker-tanker di dekat Selat Hormuz, Laut Merah, dan Laut Tengah. Sebagai negara yang membantu teknologi militer kelompok-kelompok pejuang Islam di Gaza ketika negara-negara Arab menjauhi mereka karena AS dan Uni Eropa menuduh mereka sebagai teroris, dengan sendirinya ketergantungan Hamas dan Jihad Islam terhadap Iran makin besar.
Serangan Hamas terhadap Israel merupakan momentum bertemunya kepentingan Iran dengan Hamas di Gaza. Beberapa hari lalu Presiden Iran Ebrahim Raisi dan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memprotes keras proses pemulihan hubungan Arab Saudi-Israel.
Di pihak lain, Hamas harus melakukan sesuatu untuk menggagalkan normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel. Serangan Hezbollah pro-Iran ke Israel hanya menguatkan dugaan Iran terlibat dalam perang ini.
Serangan Hamas ini mengingatkan kita pada Perang Yom Kippur tahun 1973 antara Israel dan Arab (Mesir dan Suriah). Perang Yom Kippur akibat dari hasil perang enam hari Arab-Israel tahun 1967. Dalam perang 1967, Arab menanggung aib kekalahan yang tertanggungkan. Israel yang kecil secara luar biasa menduduki Gurun Sinai (Mesir), Tepi Barat, dan Jerusalem Timur (Jordania), Dataran Tinggi Golan (Suriah), dan Tanah Pertanian Sheeba (Lebanon).
Serangan Hamas ini mengingatkan kita pada Perang Yom Kippur tahun 1973 antara Israel dan Arab (Mesir dan Suriah). Perang Yom Kippur akibat dari hasil perang enam hari Arab-Israel tahun 1967.
Setelah Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser yang tersohor meninggal pada 1970, Anwar Sadat yang kurang dikenal menggantikannya. Untuk bisa menandingi Nasser, Sadat harus melakukan sesuatu yang tak dapat dilakukan Nasser guna mengangkat harga diri orang Mesir.
Maka, Sadat melancarkan perang tak terduga melawan Israel. Sementara negara-negara Arab produsen minyak mengembargo AS dan Eropa Barat.
Perang ini tidak benar-benar dimenangi Arab, tetapi setidaknya tujuan perang Sadat tercapai. Jumlah tentara Israel yang tewas sungguh besar dan Mesir berhasil menduduki sebagian Sinai. Perang berakhir dengan gencatan senjata. Bagaimanapun, hasil perang ini mengangkat reputasi Sadat.
Modal ini memungkinkan Sadat berdamai dengan Israel dengan imbalan seluruh Sinai. Perdamaian dengan Israel penting bagi Mesir untuk membangun ekonominya.
Tampaknya, dengan melancarkan perang, Hamas berharap hal yang sama: Israel mengakhiri pendudukannya atas tanah Palestina. Paling tidak mencabut blokade atas Gaza.
Untuk itu, penting untuk menggagalkan upaya normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel. Pesan Hamas jelas: tidak mungkin cita-cita Israel berhasil tanpa memerdekakan Palestina.
Yang juga penting untuk diingat adalah bahwa bangsa yang terzalimi, dalam situasi yang sangat sulit sekalipun, akan menemukan kreativitasnya untuk bertahan hidup dan diakui martabatnya.
Baca juga: Perang Israel-Hamas dan Krisis Sandera di Gaza
Smith Alhadar, Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)