Pembatasan Penggunaan Uang Kartal dan Kejahatan Korupsi
Keberadaan uang tunai dalam jumlah besar berkontribusi terhadap terwujudnya praktik korupsi, khususnya suap, pemerasan, dan gratifikasi. Regulasi pembatasan penggunaan uang kartal diperlukan dalam pencegahan korupsi.
Oleh
MUHMMAD YUSUF
·4 menit baca
Dalam beberapa hari ini publik dibuat kaget oleh berita yang terungkap sebagai fakta dalam sidang kasus korupsi base transceiver station (BTS) di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah menjelaskan adanya uang sebesar Rp 70 miliar yang diberikannya kepada seseorang dengan tujuan untuk oknum di parlemen.
Belum hilang rasa kaget kita, kembali kita dikejutkan oleh keterangan yang juga dinyatakan di depan sidang tentang penyerahan uang Rp 40 miliar yang dimaksudkan untuk diserahkan kepada lembaga yang berwenang mengaudit penggunaan uang negara, termasuk di kementerian/lembaga dan BUMN.
Ternyata, seiring dengan berjalannya waktu dan hadirnya saksi-saksi lain, terungkap lagi bahwa ada uang Rp 119 miliar yang dikumpulkan dari para vendor yang diduga akan digunakan untuk memuluskan jalannya proyek BTS dimaksud.
Terakhir, publik juga dibuat penasaran tentang asal-usul dan peruntukan uang sebesar Rp 27 miliar yang dibawa dan diserahkan sang pengacara kepada penyidik kejaksaan. Tersiar kabar bahwa uang itu dikaitkan dengan seorang pejabat yang masih muda.
Selain info tersebut, masih terdapat lagi berita yang tidak kalah membuat publik tercengang. Dari penggeledahan di kediaman dan kantor seorang eks menteri ditemukan uang tunai dalam bentuk mata uang asing dan rupiah yang jumlahnya puluhan miliar rupiah.
Selain tiga jenis tindak pidana korupsi itu, uang tunai juga sering digunakan sebagai instrumen dalam transaksi yang berhubungan dengan perdagangan narkoba, judi daring, dan terorisme.
Tidak dapat dimungkiri bahwa keberadaan uang tunai dalam jumlah besar berkontribusi terhadap terwujudnya praktik korupsi, khususnya suap, pemerasan, dan gratifikasi karena tiga jenis tindak pidana korupsi itu umumnya menggunakan uang tunai. Selain tiga jenis tindak pidana korupsi itu, uang tunai juga sering digunakan sebagai instrumen dalam transaksi yang berhubungan dengan perdagangan narkoba, judi daring, dan terorisme.
Regulasi untuk pencegahan
Pola transaksi yang berindikasikan menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana memiliki kecenderungan menggunakan uang tunai, baik dalam bentuk rupiah maupun mata uang asing. Hal ini terlihat dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai penggunaan uang tunai dalam banyak kejahatan berikut ini.
Pada periode 2004-2015, penggunaan uang tunai Rp 500 juta atau lebih dalam satu hari, baik dalam sekali transaksi maupun dalam beberapa kali transaksi, adalah 3.080.554 transaksi oleh korporasi dan 9.265.037 transaksi oleh perseorangan.
Selanjutnya, pada era 2016- 2020, sebanyak 15.779 transaksi oleh korporasi dan 15.977 transaksi oleh perseorangan. Adapun jumlah semua transaksi tunai Rp 500 juta ke atas dalam satu hari atau dilakukan beberapa kali dalam satu hari pada periode 2004-2015 senilai Rp 103.072.090.119.764.000. Adapun jumlah transaksi tunai pada periode 2016-2020 sebesar Rp 85.771.803.477.745.600.
Dalam teori anti-fraud, salah satu tahap yang penting adalah tahap prevensi. Pada tahap ini harus dibuat dan disosialisasikan regulasi atau peraturan yang berfungsi sebagai instrumen untuk mencegah terjadinya kejahatan tertentu.
Regulasi yang dapat dijadikan instrumen untuk menghentikan, setidaknya mengurangi, keleluasaan praktik kejahatan suap, pemerasan, gratifikasi, narkoba, dan judi tersebut ialah regulasi pembatasan penggunaan uang kartal.
Secara historis yuridis, pengaturan tentang pembatasan transaksi tunai pernah diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 1946 tentang Kewajiban Menyimpan Uang dalam Bank. Ketentuan ini secara tak langsung membatasi transaksi tunai walaupun masih diberikan batasan dalam jumlah tertentu.
Selain itu, Presiden Soekarno dan Menteri Keuangan (ad interim) Mohammad Hatta pada 30 Oktober 1948 menetapkan UU Nomor 32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank. Ketentuan lain yang memberikan pengaturan tentang pembatasan transaksi tunai juga dapat dilihat dalam Inpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Dalam tataran internasional dikenal juga ketentuan cross borders cash carriage yang mengatur tentang kewajiban pelaporan kepada setiap warga negara asing yang masuk ke suatu negara jika mereka membawa uang Rp 100 juta atau lebih. Pelaporannya disampaikan kepada bea cukai.
Dari fakta historis ini tampak bahwa peraturan yang membatasi penggunaan uang kartal seharusnya tak tabu untuk diterapkan di Indonesia. Apalagi regulasi pembatasan uang kartal dimaksud sangatlah dibutuhkan bagi negara Indonesia guna terlepas dari belenggu korupsi.
Dari fakta historis ini tampak bahwa peraturan yang membatasi penggunaan uang kartal seharusnya tak tabu untuk diterapkan di Indonesia.
Banyak manfaat
Secara umum, regulasi pembatasan penggunaan uang kartal akan memberi banyak manfaat. Antara lain, pertama, mencerdaskan masyarakat dalam bertransaksi, khususnya pemahaman dalam bertransaksi lewat lembaga jasa keuangan bank atau nonbank.
Kedua, memberikan kontribusi bagi bank dalam melayani transaksi dari setiap orang melalui fee based income.
Ketiga, menghemat uang negara karena tak perlu mengimpor bahan baku uang kartal dan mengeluarkan biaya pencetakan dan mendistribusikannya. Bank juga tak perlu punya gudang besar untuk menyimpan uang.
Keempat, dengan adanya pembatasan penggunaan uang kartal, para pelaku kejahatan, khususnya penerima dan pemberi suap, gratifikasi, pemerasan, narkoba, dan judi menjadi tidak leluasa. Dampak besar yang akan diperoleh adalah tingkat kejahatan akan menurun.
Dengan terbatasnya instrumen untuk melakukan kejahatan tersebut, kepercayaan publik kepada institusi pemerintah akan meningkat. Kepercayaan publik, termasuk investor, tentu akan menggerakkan roda perekonomian negaranya.
Dampak positif yang lebih luas lagi dari menggeliatnya roda perekonomian adalah membuka lapangan kerja baru, sistem tata kelola perusahaan yang berinvestasi juga akan baik, dan tugas para penegak hukum akan berkurang menjadi tidak lagi disibukkan dengan operasi tangkap tangan.