Serangan Hamas ke Israel seyogianya tak dipandang sekadar perlawanan atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan Israel atas rakyat Palestina belaka. Baiknya kita memahami juga anatomi konflik internal dalam Palestina.
Oleh
HAMID AWALUDIN
·3 menit baca
Palagan kekerasan di Timur Tengah seolah ditakdirkan hadir terus-menerus tiada henti. Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, kembali melakukan penyerangan masif ke wilayah Israel beberapa hari lalu, menewaskan ratusan orang, termasuk penduduk sipil. Balasan Israel atas penyerangan tersebut tentu akan lebih dahsyat lagi. Israel sudah mendeklarasikan perang melawan Hamas. Ini berarti akan terjadi perang dengan prinsip zero sum game.
Sebenarnya, kekerasan di Timur Tengah, terutama tahun-tahun belakangan ini, tidak lagi memperhadapkan antara negara-negara Arab dengan Israel. Kekerasan yang selalu meruak itu memperhadapkan antara Israel dan bangsa Palestina, terutama kelompok Hamas.
Perang Israel dengan negara-negara Arab terkesan surut. Ini sejalan dengan banyak ikhtiar damai yang dilakukan antara Israel dan negara-negara Arab tersebut. Perjanjian damai yang paling menyita perhatian dunia antara Israel dengan sejumlah negara Arab, ialah Abraham Accord pada 2000 yang melibatkan Israel dengan Bahrain, United Arab Emirate, Maroko, dan Sudan. Setelah itu, ada upaya serius merintis perdamaian antara Israel dan Arab Saudi.
Serangan kelompok Hamas ke Israel itu seyogianya tidak dipandang sekadar perlawanan atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan Israel atas rakyat Palestina belaka. Ada baiknya kita secara serius memahami juga anatomi konflik internal dalam Palestina sendiri, yaitu, kelompok Al Fatah yang kini dipimpin oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas di satu sisi, dan kelompok Hamas di sisi lain.
Kedua kelompok tersebut tidak sekadar bersaingan secara politis, tetapi berlawanan secara fundamental. Kelompok Hamas memiliki rasa kepercayaan diri bahwa dirinya adalah representasi utama rakyat Palestina sebab kelompok Hamas pernah memenangkan pemilihan umum beberapa tahun lalu.
Kelompok Hamas selalu menuding kelompok Mahmoud Abbas sebagai kelompok kolaborator dan korup. Mereka tidak secara serius memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina. Sementara kelompok Mahmoud Abbas menuding kelompok Hamas sebagai kelompok radikal yang tidak rasional. Hamas dianggap sebagai kelompok yang menyengsarakan rakyat Palestina karena mereka antidamai. Hamas dipersepsikan sebagai kelompok yang merusak citra perjuangan rakyat Palestina karena radikalisme dan kekerasan sebagai ideologi perjuangan mereka.
Konflik kedua kelompok sesama Palestina ini membuat perdamaian antara Israel dan Palestina hanyalah impian belaka. Tanpa rekonsiliasi keduanya, damai sekadar doa dan harapan. Di sini hulu masalahnya. Israel sendiri kebingungan, dengan siapa ia harus berunding untuk mencapai perdamaian antara dirinya dengan Palestina?
Perasaan dikhianati
Serangan kelompok Hamas pekan ini ke Israel tidak bisa juga dipisahkan dengan lahirnya Abraham Accord tersebut. Palestina, terutama kelompok Hamas, menganggap bahwa perdamaian Israel dengan negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut adalah ikhtiar pengkhianatan serius atas bangsa Palestina.
Perasaan dikhianati ini kian lengkap dengan adanya ikhtiar damai yang serius antara Arab Saudi dan Israel yang mencuat belakangan ini. Kelompok Hamas tidak lagi sekadar merasa dikhianati, tetapi sudah ditinggalkan sendirian dalam perjuangan keadilan dan pembebasan rakyat Palestina dari kesewenang-wenangan Israel. Bagi kelompok Hamas, berjuang untuk keadilan tidak harus menyertakan orang lain. Maka, kian ganaslah ia, damai pun kian jauh.
Perang antara kelompok Hamas dengan Israel kali ini sama sekali tidak boleh diremehkan. Masalahnya, Iran, melalui Rahim Safavi, penasihat Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khameini, sudah mulai melibatkan diri. Ia memberi ucapan selamat kepada para penggempur Palestina itu. Gayung bersambut, kelompok Hezbollah yang didukung Iran juga melakukan hal yang sama. Iran dan Hezbollah adalah seteru serius Israel.
Pekerjaan semua orang, termasuk Indonesia, adalah meyakinkan kelompok Hamas untuk rekonsiliasi dengan kelompok Mahmoud Abbas.
Sejak merebaknya agenda rujuk Arab Saudi dengan Israel, Iran sudah sangat gelisah, bahkan panik. Masalahnya, Iran mengkhawatirkan lahirnya aliansi militer baru antara Israel dan Arab Saudi yang bisa merepotkan dirinya dalam menghadapi Arab Saudi di kemudian hari. Dengan konstelasi seperti ini, perang Israel dengan kelompok Hamas ini bisa bereskalasi dan liar sedemikian rupa.
Untuk sementara ini, barulah Iran yang terang-terangan mendukung serangan Hamas tersebut. Sejumlah negara besar, seperti Perancis, Inggris, Jerman, Belanda, dan India, mengecam serangan Hamas itu. Beruntung sekali, China dan Rusia tidak melibatkan diri secara militer dalam perang ini. Keterlibatan Rusia dan China bisa mengundang Amerika Serikat melibatkan diri secara berseberangan dengan Rusia dengan China. Apabila itu terjadi, dengan mudah dinujum, akan terjadi perang yang panjang dan membuat derita semua orang dan bangsa.
Pekerjaan semua orang, termasuk Indonesia, adalah meyakinkan kelompok Hamas untuk rekonsiliasi dengan kelompok Mahmoud Abbas. Dibutuhkan juga keseriusan untuk meyakinkan Hamas bahwa hanyalah dengan duduk berunding dan bernegosiasi bersama Israel, wilayah-wilayah Palestina yang diduduki Israel bisa dikembalikan.
Kita belajar dari Perjanjian Camp David antara Israel dan Mesir pada 1978 yang membuahkan tidak sekadar nihilnya perang lagi antara kedua negara itu, tetapi Israel pelan-pelan mengembalikan seluruh wilayah Semenanjung Sinai ke Mesir, yang telah direbutnya selama perang enam hari pada 1967 dan perang Yom Kippur pada 1973. Hal yang sama juga terjadi antara Israel dengan Suriah dan Jordania. Wilayah-wilayah kedua negara tersebut yang telah diduduki Israel dikembalikan. Semua itu karena hasil negosiasi, bukan buah dari kekerasan dan perang.
Hamid Awaludin, Menteri Hukum dan HAM RI Periode 20 Oktober 2004-8 Mei 2007