Pemilihan waktu menjadi salah satu kunci keberhasilan serangan Hamas, Jihad Islam, dan berbagai faksi Palestina sekaligus faktor utama kegagalan Israel mengantisipasi dini serangan 7 Oktober 2023.
Oleh
FAHMI ALFANSI P PANE
·3 menit baca
”How true it is that in all military operations, time is everything.” Dalam semua operasi militer, pemilihan waktu adalah segalanya. Demikian kira-kira makna ujaran Duke Wellington, panglima Inggris yang mengalahkan pasukan Perancis di bawah komando Napoleon Bonaparte pada Perang Waterloo, tahun 1815 (Dikutip oleh Phillip S Meilinger, Ten Propositions Regarding Air Power, dalam bunga rampai Theory of War and Strategy, Volume 2, US Army War College, 2010).
Ujaran Duke Wellington itu terasa sangat relevan saat menelisik kunci keberhasilan serangan Hamas, Jihad Islam, dan berbagai faksi Palestina sekaligus faktor utama kegagalan Israel mengantisipasi dini serangan pada 7 Oktober 2023.
Serangan dimulai pada Sabtu (Shabbat) pagi yang merupakan hari libur untuk beribadah bagi penganut agama Yahudi. Operasi Banjir Al-Aqsa itu juga terjadi pada Simchat Torah, salah satu hari raya Yahudi yang tahun ini berlangsung pada 7-8 Oktober. Karena hari libur besar, kesiagaan tentara, polisi, intel dan warga Yahudi Israel menurun, serta terlambat mengantisipasi saat seribu orang lebih menerobos blokade Jalur Gaza.
Elemen kejutan ini juga digunakan tentara Jepang saat menyerang Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Hari itu bertepatan Minggu pagi waktu Hawaii, saat tentara Amerika Serikat masih santai karena Minggu adalah hari libur untuk beribadah warga Nasrani.
Faktor kedua adalah serangan dilakukan serentak dan teratur (march). Jika mencermati video yang dibagikan Hamas, pola serangan umum ini terlihat saat ribuan roket meluncur dari Jalur Gaza, beberapa detik kemudian milisi terbang memakai paragliding bermesin, lalu milisi yang bermobil dan sepeda motor.
Durasi operasi para penyerang di markas militer dan kantor polisi diatur agar berakhir saat ribuan roket masih memenuhi langit. Karena direncanakan sebagai serangan kilat, hanya beberapa tank Israel yang dihancurkan dan belasan kendaraan taktis bisa dirampas Hamas.
Kegagalan AI Israel
Faktor ketiga adalah kegagalan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan mesin pembelajaran (machine learning/ML) Israel untuk memenuhi semua misi pengintaian dan penindakan. Sistem roket Iron Dome Israel memang dinilai sukses, tetapi hanya 90 persen roket yang sukses dikenali dan dijatuhkan secara otomatis.
Ketika ada beberapa ribu roket meluncur serentak atau hampir bersamaan, Hamas mengklaim menembakkan 5.000 roket, itu berarti ada ratusan roket yang menghancurkan sasaran.
Namun, kegagalan AI Israel lebih dari itu. Israel memasang ribuan kamera pengintai di Jalur Gaza. Drone juga rutin terbang berpatroli, termasuk di malam hari.
Israel juga menyedot data dan informasi pejabat dan warga Palestina, baik surat elektronik, aplikasi percakapan, unggahan di media sosial dan segalanya dari telepon genggam, laptop, maupun berbagai perangkat digital Palestina.
Terlalu bergantung pada intelijen elektronik seta otomatisasi analisis dan tindakan, seperti Israel, juga berakibat fatal.
Kita tentu ingat institusi/perusahaan Israel, seperti NSO Group dengan perangkat lunak Pegasus, yang mampu menyedot data dan informasi secara masif, lalu dengan algoritma dan peladen (server) raksasa, analisis data dan informasi dilakukan dengan berbasis AI/ML.
Hal yang terlupakan, prinsip kerja komputer untuk mengenali ancaman berdasar kepada adanya obyek dan perilaku yang janggal. Ketika milisi Palestina melakukan rutinitas seperti biasa, kecuali sesaat sebelum memulai operasi, komputer akan telat mengenali ancaman.
Terlebih, dalam suatu video Hamas, terlihat drone menjatuhkan bom ke sebuah kubah (dome) menara yang berisi perangkat pengintai. Di antara ratusan roket yang lolos dari Iron Dome tentu ada yang menyasar perangkat intelijen elektronik Israel.
Bukan berarti AI/ML tidak diperlukan dalam pertahanan negara. Namun, terlalu bergantung pada intelijen elektronik serta otomatisasi analisis dan tindakan, seperti Israel, juga berakibat fatal.
Peran dan keunggulan intelijen manusia harus dipelihara, terutama untuk memperoleh informasi jumbo. Bayangkan, negara yang dicitrakan intelijennya sangat hebat pun tidak tahu ada pertemuan pemimpin operasional Hamas, Jihad Islam, Hezbollah Lebanon, dan pejabat Iran di Beirut, 2 Oktober 2023, untuk merampungkan perencanaan serangan 7 Oktober 2023.
Faktor keempat adalah Hamas dan faksi Palestina lain memikirkan apa yang tak terpikirkan dan tidak dilakukan oleh militer Israel. Menerobos wilayah musuh dengan paragliding pada ketinggian rendah untuk menghindari radar sangat berisiko tinggi.
Mereka berada dalam jangkauan senjata api. Namun, saat Israel fokus pada ribuan roket, seperti perang-perang sebelumnya, risiko ketahuan terminimalisasi.
Bagi Indonesia, serangan Hamas dan faksi Palestina lainnya pada 7 Oktober 2023 ke Israel adalah pelajaran penting untuk menguji kesiagaan tempur, doktrin, strategi, dan taktik, serta kesiapan alat utama sistem pertahanan. Misalnya, bagaimana mengantisipasi serangan kilat dari pesawat/kapal yang melintasi Laut Sulawesi dan Selat Makassar ke Ibu Kota Negara jika dipindah ke Kalimantan Timur mengingat posisinya dekat perairan internasional?
Bagaimana pula jika kelompok bersenjata Papua menyerang markas TNI/Polri saat libur panjang hari raya Idul Fitri dan Tahun Baru?
Fahmi Alfansi P Pane, Tenaga Ahli DPR RI; Alumnus Universitas Pertahanan Indonesia