Indonesia Emas mungkin saja tercapai dalam angka-angka agregat ekonomi makro. Namun, bagaimana dengan pendapatan negara yang terus tergerus korupsi. Bagaimana pula dengan ukuran pengembangan kualitas manusia?
Oleh
SUMANTORO MARTOWIJOYO
·1 menit baca
Minggu (8/10/2023) pagi, saya mulai mengagumi Alissa Wahid, selain Jean Couteau di rubrik Udar Rasa Kompas. Tulisan Alissa merujuk pendapat seorang ahli tentang blaming others (menyalahkan liyan) yang merupakan satu bentuk distorsi kognitif yang paling lazim ditemukan pada manusia, dan sudah berkembang menjadi budaya masyarakat.
Sikap ini merupakan upaya untuk melindungi diri sendiri dari tanggung jawab. Padahal, kemampuan untuk mengakui peran dan kontribusi diri sendiri dalam persoalan menjadi syarat mutlak untuk menjadi realistis dan berdaya mengubah situasi. Jika tidak, problem akan terus berulang.
Dalam konflik agraria seperti di Rempang, Batam, setiap terjadi penolakan warga terdampak, tudingan yang paling cepat muncul adalah ada provokator. Seandainya para pemuka pemerintahan tak terjebak distorsi blaming others, tentu mereka akan fokus merefleksikan apa yang sesungguhnya terjadi, memandang rakyat sebagai pemilik negeri ini, apa strategi yang salah, dan apa yang lebih tepat. Dengan pemahaman yang tepat, penyelesaian yang lebih bijaksana akan lebih mudah dibuat, tanpa mengorbankan rakyat.
Ada lagi bentuk pengingkaran dari pembuat kebijakan, yaitu menutup mata pada masalah laten yang terjadi, dibarengi kebiasaan mengumandangkan masa depan yang absurd. Kita memimpikan Indonesia Emas 2045 dengan mengesampingkan kelemahan sumber daya manusia kita.
Ada lagi bentuk pengingkaran dari pembuat kebijakan, yaitu menutup mata pada masalah laten yang terjadi, dibarengi kebiasaan mengumandangkan masa depan yang absurd.
Kita ”melupakan” rerata lama sekolah di Indonesia yang baru mencapai 9,08 tahun pada 2022; skor PISA anak-anak kita masih di bawah 400, dan tingkat pendidikan pekerja Indonesia yang didominasi lulusan SD (Kompas, 2/6/2023).
Indonesia Emas mungkin saja tercapai dalam angka-angka agregat ekonomi makro karena penduduk ratusan juta dan Tanah Air yang subur makmur (minus angka pemerataan). Namun, bagaimana jika pendapatan negara semakin tergerus korupsi? Bagaimana pula dengan ukuran pengembangan kualitas manusia?