Minilateralisme, ”Mainan Baru” Geopolitik
Kegagalan diplomasi multilateral mendorong populernya pendekatan minilateralisme. Ketika kekuatan menengah makin memengaruhi hubungan internasional, pendekatan minilateralisme menjadi pendekatan alternatif yang dipilih.
Dalam politik, termasuk politik internasional, dikenal adagium kuno ”musuh dari musuhku adalah temanku”, yang berasal dari frasa Latin ”Amicus meus, inimicus inimici mei” (my friend, the enemy of my enemy).
Adagium yang sudah dikenal luas di Eropa sejak abad ke-18 itu, bagi para penganut realisme, justru sangat relevan untuk menggambarkan dinamika geopolitik saat ini. Maka, muncul berbagai varian lain, misalnya, ”teman dari musuhku” tidak dengan sendirinya ”adalah musuhku”.
Peta geopolitik masa kini telah berkembang dari bipolar (AS-Uni Soviet) pada masa Perang Dingin (1947-1990) menjadi unipolar (AS) pasca-Perang Dingin (awal hingga akhir 1990-an), dan menjadi multipolar atau tripolar (AS, Rusia, dan China) pada ”Perang Dingin baru” sejak awal milenium ini.
Rivalitas antarnegara adidaya tidak lagi ditandai ideologi, tetapi berdasarkan kekuatan militer, ekonomi, teknologi, dan diplomasi. Rivalitas itu memunculkan kembalinya isu (lama) nuklir, terutama krisis nuklir Iran (sejak 2002) dan perang Rusia-Ukraina sejak 2022.
Rivalitas antarnegara adidaya tidak lagi ditandai ideologi, tetapi berdasarkan kekuatan militer, ekonomi, teknologi, dan diplomasi.
Minilateralisme
Namun, krisis ekonomi global, yang pada awalnya diharapkan mendorong kolaborasi multilateral, ternyata justru menghadirkan hambatan bagi kerja sama yang efektif.
Perubahan iklim, proliferasi (senjata) nuklir, terorisme, pandemi, proteksionisme perdagangan, dan banyak lagi, tidak ada satu pun yang dapat diselesaikan atau dibendung secara efektif. Upaya multilateral yang berhasil umumnya terjadi pada dekade 1990-an.
Pada tahun 1994, sebanyak 123 negara sepakat membentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan aturan baru perdagangan internasional, tetapi sejak itu upaya lain untuk menyepakati perdagangan dunia praktis tidak berhasil.
Tahun 1995, sebanyak 185 negara setuju memperpanjang perjanjian nonproliferasi nuklir (NPT). Namun, sejak itu inisiatif multilateral tidak hanya gagal, tetapi India, Pakistan, dan Korea Utara justru menjadi de facto negara nuklir.
Pada 1997, Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) disepakati dan diratifikasi 184 negara, tetapi hingga kini belum diaksesi oleh AS dan China, dua negara penghasil GRK (polluters) terbesar di dunia.
Salah satu jawaban terhadap tantangan-tantangan ini adalah semakin populernya minilateralisme, sebuah konsep hubungan internasional yang melibatkan hanya sekelompok kecil negara, yang berkolaborasi untuk mengatasi masalah atau mencapai tujuan bersama.
Minilateralisme sebenarnya bukan konsep baru karena sudah ada sejak Concert of Europe pada awal abad ke-19 dan kini marak kembali. Popularitas minilateralisme semakin meningkat ketika negara-negara adidaya sedang bergulat dengan konflik-konflik besar.
Tajuk Kompas (19/8/2023) menyebut riuhnya mereka mencari teman melalui kolaborasi minilateralisme, termasuk membentuk pakta keamanan/militer ”kecil” (mini).
Menurut Moises Naim dalam "Minilateralism: the Magic Number to Get Real International Action" (Foreign Policy, 21/6/2009), polanya sudah jelas.
Sejak awal 1990-an, kebutuhan akan kolaborasi multilateral meningkat, tetapi pada saat yang sama perundingannya mengalami kegagalan; tenggat terlewati; komitmen dan janji finansial tak dipenuhi; pelaksanaannya terhenti; tindakan kolektif masih jauh dari yang ditawarkan dan dibutuhkan.
Kegagalan-kegagalan ini tidak hanya karena kurangnya komitmen internasional, tetapi juga obsesi yang salah terhadap multilateralisme sebagai obat mujarab (panasea) bagi semua penyakit dunia.
Kishan S Rana dalam ”Minilateralism: A Trend in Regional Diplomacy” (www.diplomacy.edu, 30/3/2023) menyatakan, konsep ini memiliki sejumlah kelebihan.
Perubahan iklim, proliferasi (senjata) nuklir, terorisme, pandemi, proteksionisme perdagangan, dan banyak lagi, tidak ada satu pun yang dapat diselesaikan atau dibendung secara efektif.
Pertama, kluster kecil lebih mudah dikelola dibandingkan kluster besar. Kedua, metode informal berhasil dengan baik dalam kelompok-kelompok tersebut. Ketiga, kesuksesan bergantung pada pemilihan mitra yang cermat, ditambah kejelasan tujuan. Keempat, metode ini mungkin cocok untuk negara-negara kecil asalkan negara-negara tak memiliki tetangga besar yang dominan, yang mungkin melihat hal ini sebagai tindakan bermusuhan.
Format minilateral lebih gesit dan fleksibel memungkinkan negara bereaksi lebih cepat terhadap krisis atau peluang tanpa terhambat oleh birokrasi.
Fleksibilitas ini juga memungkinkan pemerintah untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan intim berdasarkan kepentingan bersama, dibandingkan dipaksa bekerja dalam kerangka kelompok besar, tetapi kurang kohesif. Keuntungan lain, minilateralisme lebih tangkas dan mudah beradaptasi dibandingkan saluran diplomatik tradisional.
Minilateralisme memang memiliki kelemahan. Salah satu risikonya adalah bahwa hal ini dapat bersifat eksklusif dan memperburuk ketidakseimbangan kekuasaan sehingga berpotensi mengutamakan kepentingan jangka pendek dibandingkan tujuan jangka panjang. Meski demikian, manfaat minilateralisme lebih besar daripada kelemahannya.
Menurut Naim pula, minilateralisme adalah pendekatan yang lebih cerdas dan tepat sasaran, yaitu menghadirkan sejumlah kecil negara yang diperlukan agar dapat memberikan dampak sebesar-besarnya dalam penyelesaian suatu masalah tertentu. Inilah angka ajaib (magic number) minilateralisme, yang tentu saja akan sangat bervariasi, tergantung masalahnya.
Praktik minilateralisme
Uniknya praktik minilateralisme yang inovatif ini tak hanya berlaku di suatu kawasan tertentu, tetapi juga lintas benua, dengan tujuan untuk memacu kerja sama nontradisional.
Di Timur Tengah, minilateralisme meningkat popularitasnya karena selama beberapa dasawarsa banyak negara hanya bergulat dengan dampak konflik, ketidakstabilan, dan intervensi asing. Uni Emirat Arab (UAE) mengumumkan komitmen dengan India dan Perancis, untuk bekerja sama di bidang pertahanan, energi, dan teknologi.
UAE dan India juga bekerja sama membangun pusat teknologi di Etiopia; dan dengan Israel membangun fasilitas kesehatan di Ghana. Selain itu, UAE, Indonesia, dan lima negara lain membentuk Aliansi Mangrove dalam kerangka perubahan iklim pada COP27 di Mesir guna meningkatkan rehabilitasi dan pelestarian ekosistemnya (Gulf News, 13/4/2023).
Pada 2021, India, Israel, UEA, dan AS mengumumkan Kemitraan untuk Masa Depan yang kemudian dikenal sebagai format I2U2.
Bagi negara-negara Teluk dan negara adidaya, minilateralisme merupakan sebuah kebutuhan strategis yang memiliki implikasi signifikan terhadap keamanan dan kesejahteraan kawasan. China, misalnya, memanfaatkan minilateralisme ini dengan keberhasilannya dalam menciptakan perjanjian damai antara Arab Saudi dan Iran pada 10 Maret 2023.
Tak mau ketinggalan kereta, AS kini berupaya keras melakukan hal yang sama, dan perjanjian damai Arab Saudi-Israel tampaknya tinggal menunggu waktu bakal terwujud.
Di Asia Pasifik, minilateralisme sejauh ini lebih banyak terkait dengan isu pertahanan/keamanan, seiring dengan meningkatnya persaingan di antara ketiga negara adidaya.
Di Asia Pasifik, minilateralisme sejauh ini lebih banyak terkait dengan isu pertahanan/keamanan, seiring dengan meningkatnya persaingan di antara ketiga negara adidaya. Merekalah fasilitator minilateralisme. Yang menarik, gagasan ini justru lebih banyak dipakai AS yang notabene sudah memiliki banyak mitra strategis di berbagai kawasan dunia dan paling aktif mencari teman dengan membentuk aliansi baru.
Di kawasan ini, AS telah membentuk Pakta QUAD (AS, Jepang, Australia, dan India) yang memerlukan waktu 15 tahun hingga diresmikan pada 2021; tahun di mana AUKUS (Australia, Inggris, dan AS) terbentuk. Meskipun memiliki berbagai tujuan, tidak bisa dimungkiri, tujuan utamanya adalah membendung perkembangan pengaruh China.
Khusus bagi India, QUAD diperlukan mengingat China memiliki kemitraan strategis dengan Pakistan dan sengketa perbatasan dengan China merupakan duri bagi New Delhi.
Di Asia Tenggara, AS yang melihat peluang masuk di kawasan karena semakin intens dan terbukanya sengketa di Laut China Selatan antara China dengan Filipina dan Vietnam, masing-masing di Kepulauan Spratly dan Paracels. AS kini tidak hanya sudah menginjakkan kembali kakinya di Filipina yang ditinggalkan pada akhir Perang Dingin, tapi juga sudah kian akrab dengan Vietnam.
Terbaru, di Asia Timur, AS telah membentuk aliansi militer dengan Jepang dan Korea Selatan yang saling ”berseteru” dibayangi luka lama (1910-1945) akibat penjajahan negeri Sakura itu untuk menghadapi musuh yang sama, Korea Utara.
Jangan terjebak
Meskipun merupakan fenomena lama, tetap saja minilateralisme merupakan ”mainan baru” yang muncul kembali dengan ”kemasan” baru pula.
Ketika kekuatan menengah semakin memengaruhi hubungan internasional, pendekatan minilateralisme menjadi pendekatan yang disukai banyak negara. Berbicara di AGDA (September 2022), Menteri Luar Negeri India S Jaishankar menggambarkan minilateralisme sebagai bentuk diplomasi yang akan dipertahankan dan dipilih banyak negara.
Indonesia tampaknya tidak dapat lepas dari keinginan untuk memanfaatkan minilateralisme dan memberdayakannya demi tujuan yang lebih realistis dan pragmatis.
Diberitakan, Indonesia kini sedang menjajaki pembentukan kelompok mini baru untuk melindungi sumber-sumber daya alamnya yang vital (nikel, kobalt, mangan) dengan struktur seperti OPEC untuk mengawasi perdagangannya (Washington Institute, 14/4/2023).
Lepas dari relevansi Gerakan Nonblok, yang kerap dipertanyakan, kebijakan Indonesia perlu tetap mengedepankan non-alignment; tidak seperti India, yang notabene salah satu pendirinya, tetapi kini tampaknya justru sudah meninggalkan, dengan bermain ”ke sana-kemari”. Dengan posisi seperti ini, Indonesia tetap dapat mengekspresikan diri secara bebas di berbagai forum internasional, tanpa terjebak atau tersandera untuk berpihak.
Dengan posisi seperti ini, Indonesia tetap dapat mengekspresikan diri secara bebas di berbagai forum internasional, tanpa terjebak atau tersandera untuk berpihak.
Merujuk pada Naim, angka ajaib minilateralisme bukanlah solusi ajaib. Namun, hal ini merupakan pertaruhan yang jauh lebih baik pada saat ini dibandingkan multilateralisme yang hanya angan-angan (wishful thinking).
Indonesia juga harus dapat memanfaatkan secara hati-hati dan, seperti kata Kompas, bukan sekadar ikut dalam riuhnya minilateralisme. Kembali pada adagium di awal mengenai musuh dan teman, pada akhirnya memang kepentingan nasional yang harus abadi.
Baca juga : Riuh Minilateralisme di Indo-Pasifik
Dian WirengjuritAnalis Geopolitik dan Hubungan Internasional