Mengukur Interaksi Digital Perbankan
Perkembangan dunia digital telah mengubah profil nasabah dari pendengar pasif menjadi influencer aktif yang saling berinteraksi satu dengan yang lain.
Dalam dunia digital, interaksi bank dengan nasabah harus dilihat menggunakan paradigma digital sehingga relevan. Perkembangan dunia digital telah mengubah profil nasabah dari pendengar pasif menjadi influencer aktif yang saling berinteraksi satu dengan yang lain.
Perubahan ini memaksa bank memikir ulang cara mereka berinteraksi dengan nasabah. Komunikasi harus dibuat lebih personalized. Gaya bahasa juga harus mengikuti tren di mana nasabah lebih memercayai teman, saudara, dan komunitasnya dibandingkan dengan institusi formal seperti bank.
Hard-selling menjadi kurang cocok karena sekarang nasabah tidak hanya melihat produk yang dijual namun keseluruhan user experience. Bank harus mau mendengarkan nasabah dan bekerja sama dengan mereka.
Perkembangan dunia digital telah mengubah profil nasabah dari pendengar pasif menjadi influencer aktif yang saling berinteraksi satu dengan yang lain.
Kita bisa menilai sampai di mana kemampuan interaksi digital perbankan di Indonesia dalam lima level. Level pertama adalah level akses, yaitu bagaimana nasabah dapat menikmati produk dan layanan bank secara digital.
Nasabah umumnya mengharapkan agar semua aktivitas bisa dilakukan tanpa harus ke cabang. Tidak perlu tanda tangan basah dan juga prosesnya instan. Hampir semua bank sudah memahami hal ini dan melakukan transformasi antara lain dengan meng-upgrade mobile banking mereka menjadi lebih modern dengan user experience yang setara dengan aplikasi digital lain.
Namun kebanyakan bank baru mencapai level multi-channel, yaitu memiliki banyak channel, tapi belum memberikan pengalaman omni-channel di mana suatu interaksi bisa dimulai di suatu channel dan dilanjutkan di channel yang berbeda secara terintegrasi. Sistem perbankan umumnya masih terpisah-pisah dalam berbagai channel yang berdiri sendiri dan belum integrasi dengan mulus.
Misalnya, ketika nasabah mengajukan keluhan melalui mobile banking. Jika diperlukan melanjutkan prosesnya di cabang atau call center, mereka umumnya harus mengulangi menerangkan permasalahan mereka dari awal.
Dibandingkan dengan aplikasi digital lainnya, apalagi media sosial, level engagement digital perbankan kita masih sangat rendah.
Level kedua adalah interaksi, yaitu bagaimana bank harus bisa berinteraksi secara intim dengan nasabah. Saat ini, baru segelintir mobile banking yang mampu mengirimkan notifikasi in-app kepada penggunanya. Bagi yang sudah mampu, interaksinya juga terbatas hanya berkutat di pemberian informasi.
Dibandingkan dengan aplikasi digital lainnya, apalagi media sosial, level engagement digital perbankan kita masih sangat rendah. Media sosial seperti TikTok dan Instagram sangatlah piawai untuk membuat penggunanya berjam-jam scrolling.
Memang bank tidak harus begitu. Namun, ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari media sosial. Jika media sosial memanfaatkan kebosanan sebagai pemicu untuk menggunakan aplikasi, bank pun bisa menggunakan berbagai event sebagai pemicu interaksi, seperti pengkreditan gaji, jatuh tempo pembayaran tagihan, atau transaksi pembelanjaan.
Misalnya, di hari gajian, saat nasabah mengecek apakah gaji sudah masuk, bank bisa melakukan soft selling investasi. Jarang sekali bank kita sampai di level ini.
Baca juga : Digitalisasi Ekonomi: Ramai di Perdagangan, Sepi di Produksi
Level ketiga adalah personalisasi, yaitu bank diharapkan mampu memberikan produk, layanan, dan komunikasi, yang spesifik untuk setiap nasabah. Dengan memiliki kemampuan itu, bank sebenarnya memberi kesempatan untuk nasabah ‘berinvestasi’ dengan membangun profil personal mereka.
Kebanyakan mobile banking memiliki fitur untuk menyimpan transaksi favorit. Namun jika kita bandingkan dengan aplikasi e-commerce, kemampuan ini masih tertinggal. Aplikasi e-commerce mampu menawari kita dengan item-item sesuai dengan sejarah belanja kita.
Hal serupa dilakukan oleh Amazon dan Netflix dengan menampilkan buku dan film yang sesuai dengan profil kita. Mereka juga mengintegrasikannya dengan mesin pencari sehingga bisa menawarkan produk sesuai kebutuhan atau intensi kita saat itu.
Personalisasi semacam itu akan meningkatkan level keintiman bank dengan nasabah sehingga tidak mudah berpindah ke pesaing. Secara teknis, bank harus memiliki recommendation engine yang bisa secara otomatis melakukan personalisasi produk, layanan, dan konten, yang disajikan kepada nasabah. Ini sangat jarang.
Level keempat adalah koneksi, yaitu bagaimana bank menghubungkan nasabah satu dengan yang lainnya. Memang perbankan umumnya bersifat personal. Namun di era digital, nasabah berubah menjadi jaringan dinamis yang saling berhubungan satu dengan yang lain.
Secara teknis, bank harus memiliki recommendation engine yang bisa secara otomatis melakukan personalisasi produk, layanan, dan konten, yang disajikan kepada nasabah.
Bank juga seyogianya bisa memanfaatkan fenomena tersebut untuk membentuk komunitas yang akhirnya bisa mengarah ke terbentuknya social banking. Sebagai analogi, pada saat kita menggunakan aplikasi Waze, secara tidak sadar kita membantu pengguna lain dengan data kecepatan laju kendaraan kita yang diagregasi oleh Waze dan disajikan dalam bentuk level kemacetan jalan.
Social banking juga bisa terjadi dengan kontribusi pasif semacam itu di mana bank bisa memanfaatkan data agregasi nasabah untuk peer benchmarking. Misalnya, seorang nasabah bisa mengetahui pola pengeluaran kartu kreditnya dibandingkan dengan nasabah-nasabah pada segmen yang sama.
Interaksi sosial perbankan juga bisa dicapai dengan memberi fitur bagi nasabah untuk mengirimkan pesan pribadi setelah melakukan transfer secara in-app. Penerima juga bisa membalasnya sehingga terjadi komunikasi antar nasabah di dalam aplikasi mobile banking. Selain itu, bank juga bisa menyediakan fitur arisan, menabung bersama untuk wisata, patungan hadiah ulang tahun, dan lain sebagainya.
Level kelima adalah kolaborasi, yaitu bagaimana bank bisa bekerjasama dengan nasabah. Kolaborasi bisa dilakukan secara aktif maupun pasif. Bank bisa membangun nasabah sebagai komunitas yang dilibatkan secara aktif untuk memberikan masukan.
Bank juga bisa menyediakan fitur arisan, menabung bersama untuk wisata, patungan hadiah ulang tahun, dan lain sebagainya.
Nasabah aktif bisa menjadi beta tester dan membantu memilih rancangan dan fitur aplikasi mobile banking yang sedang dibangun. Nasabah juga bisa diminta untuk mengategorikan pembelanjaan kartu debit atau kredit dalam bentuk crowd sourcing.
Walaupun bank kita agresif bertransformasi digital, masih banyak ruang bagi mereka untuk berinovasi dan meningkatkan interaksi dengan nasabahnya dalam konteks digital. Kebanyakan bank kita masih berkutat di level akses dan hanya sebagian kecil yang sudah mencapai level interaksi dan personalisasi.
Rasanya belum ada bank yang mencapai level koneksi dan kolaborasi secara berarti. Untuk mencapai semuanya itu, diperlukan perubahan paradigma mendasar dari pemikiran banking yang tradisional menjadi digital mindset serta disiplin eksekusi yang kuat.