Artikel opini reflektif yang ditulis oleh Afdhal Mahatta dengan judul ”Merayakan Kesaktian Pancasila” (Kompas, 3 Oktober 2023) sungguh menjernihkan saya yang baru lepas status sebagai pelajar. Saya sepakat dengan pernyataan penulis, ”tafsir Pancasila bukan Pancasila.”
Sepanjang hidup, perjumpaan dan pengalaman saya dengan Pancasila hanya berkutat dalam lingkungan pendidikan formal sejak SD hingga SMA. Apa yang terjadi? Pancasila hanya menjadi obyek hafalan bagi teman-teman saya.
Masing-masing sila dalam Pancasila dibedah secara serampangan dan kaku. Semisal, terkait sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, guru memberikan soal uji, ”bagaimana penerapan sila tersebut di dalam kehidupan sehari-sehari?”
Alih-alih merefleksikan, teman-teman saya justru menghafalkan jawaban dari pertanyaan itu via buku ajar yang ada. Jawaban antara satu teman dan yang lain nyaris kembar—pembedanya hanya satu atau dua kata. Hal ini tidak hanya ”mengorbankan” sila pertama semata, tetapi juga sila-sila lainnya. Ironis memang.
Alih-alih merefleksikan, teman-teman saya justru menghafalkan jawaban dari pertanyaan itu via buku ajar yang ada.
Saya tidak mengecap apa yang dilakukan teman-teman saya sepenuhnya salah. Lingkungan pembelajaran yang tidak diskursif dan cenderung satu arah juga berkontribusi dominan atas hal itu.
Mimbar akademik justru menjadi seperti mimbar kurungan. Dengan lingkungan demikian, Pancasila kembali ke dalam bentuk ”Pancasila ala Orde Baru” ketika berada di lingkungan pendidikan formal.
Akhirnya, yang menjadi korban bukan hanya Pancasila, melainkan juga pelemahan daya tafsir kritis teman-teman saya ataupun siswa-siswi di luar sana.
ALVINO KUSUMABRATA
Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Toleransi ”Yaqut”
Di musim kemarau ini, tulisan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, ”Toleransi ala Rasulullah SAW” (Kompas, 29/9/2023) ibarat setetes embun di padang gurun nan gersang. Betapa tidak, agama adalah isu supersensitif di negara ini. Satu kata saja keseleo bisa meletupkan persoalan besar.
Dalam berbagai kesempatan, agama menjadi jurus ampuh untuk mengaduk-aduk emosi manusia Indonesia yang mengaku taat beragama.
Pada hajatan politik, baik di tingkat nasional, pengangkatan kepala dinas, maupun pemilihan ketua RT, agama calon atau kandidat menjadi pertimbangan penting. Faktor agama efektif mendulang suara sekaligus sukses menjatuhkan lawan dan pendukungnya.
Faktor agama efektif mendulang suara sekaligus sukses menjatuhkan lawan dan pendukungnya.
Menurut Yaqut, perbedaan dan kepentingan yang bertolak belakang bisa membelah orang atau kelompok yang sebelumnya sama sepihak. Meski sadar Tuhan menakdirkan manusia berbeda-beda, kita berlagak pikun dan berusaha menyeragamkan semuanya. Padahal, keberagaman dan perbedaan adalah sunnatullah, mestinya dikelola dengan baik agar menjadi berkah, bukan musibah.
Selamat menyambut tahun politik, semoga agama tidak jadi komoditas.
Yes Sugimo
Melatiwangi, Cilengkrang, Bandung