Menggugah Nalar Kritis Publik di Tengah Anomali Demokrasi
Belum ada rumus baku yang linear dalam menjelaskan dinamika politik di Indonesia. Namun, kita perlu bertanya, apakah semua dinamika yang terjadi itu untuk kepentingan rakyat atau elitis ”orang-orang besar” semata?
Oleh
GALANG GERALDY
·4 menit baca
Eskalasi jagat politik nasional belum selesai dibuat ”takjub” dengan masuknya PKB ke dalam koalisi perubahan serta tokoh sentralnya, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai bakal calon wakil presiden Anies Baswedan, publik dibuat tersentak dengan bergabungnya Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo, ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Bahkan, tidak lama kemudian, Kaesang didaulat menjadi ketua umum partai tersebut, bukan mengekor seperti keluarga pendahulunya di PDI-P seperti dalam aturan AD/ART kepartaian atau setidaknya memulai kaderisasi partai dari dasar sebagaimana teori kelembagaan partai.
Ada apa ini? Skenario politik apa ini? Gejala politik apa ini? Fenomena demokrasi macam apa ini? Dan, untuk kepentingan apa dan siapa?
Para analis, pengamat, akademisi ilmu politik masih mencari ramuan yang pas untuk mengkaji model ”kutu loncat” PKB yang awalnya berkoalisi dengan PAN, Golkar, dan Gerindra dalam mengusung Prabowo Subianto sebagai bakal capres, tiba-tiba sudah berada di wadah yang berseberangan bersama Nasdem dan PKS, yang kemudian membuat ”sakit hati” dan perginya Demokrat dari koalisi tersebut. Demokrat tidak lama kemudian hijrah ke koalisi pro-Prabowo, entah untuk menambal lubang yang ditinggal PKB atau murni persinggungan kesamaan ideologi.
”Perkawinan” politik Anies dan Cak Imin sebagai kandidat Pilpres 2024 pun sangat menarik ditelaah mengingat keduanya sejatinya memiliki diferensiasi ide, napas, dan perilaku politik. Fenomena persandingan keduanya menabrak berbagai teori representasi, pemikiran politik, ataupun kelembagaan partai apabila kita merujuk pada realitas kedua tokoh tersebut di beberapa tahun sebelumnya.
Anies Baswedan, tokoh yang sangat kuat dalam narasi intelek-religiositas sampai islamisme, kok bisa-bisanya berduet dengan Cak Imin yang dikenal moderatisme Islam sampai pluralisme. Belum lagi partai-partai awal pengusungnya, perjumpaan antara Nasdem yang berlatar nasionalisme-sekuler dengan PKS yang kuat dalam gagasan islamisme.
Soal lain yang berkelindan, kepergian Demokrat dari pelukan Nasdem dan PKS ke Gerindra dan kawan-kawan apakah sebagai bentuk politik sakit hati, penjajakan AHY sebagai cawapres ke dimensi lain, atau murni ada kesamaan ideologi politik? Ini juga perlu kajian serius meski praktik politik sangat mudah berubah.
Kemudian yang terbaru soal Kaesang yang berlabuh di PSI, ini jelas menambah ”beban” pertanyaan mulai hal mendasar apa yang mendasari pada akhirnya ikut-ikutan ke dalam arena politik seperti ayah, saudara kandung, dan iparnya yang lebih dulu terjun ke partai dan langsung menang menjadi wali kota di tiap-tiap daerah, apakah memang memiliki ”darah dan insting” ke-wali kota-an juga, yang konon maju pada kontestasi Pilkada Depok 2024? Apakah ini bagian dari skenario ”hebat” Jokowi dalam membentuk pola, poros, dan kekuatan politiknya, kedinastiannya yang mewariskan trah politik kepada anak dan menantunya, yang dahulu kita ingat mereka tidak memiliki niat dan jejak politik yang kuat.
Kekuatan mereka ada pada personifikasi Jokowi, setidaknya dengan relasi ”keluarga” dan masih kuatnya basis-basis pendukung kepersonifikasian Jokowi, beberapa entitas masyarakat yang menggunakan nama beliau, sudah cukup sebagai modal dasar dan legitimasi politik terhadap anak dan menantunya. Bahkan, partai yang menjadi sandaran Kaesang sekarang, PSI, telah lama menjargonkan istilah jokowisme, sebagai paham dan ideologi politik PSI.
Jadi, apa pun bunyi dan gerak-gerik Jokowi adalah ide dan tujuan politik PSI. Tidak ada ruang sedikit pun PSI menolak ide dan kebijakan Jokowi alih-alih mengkritik. Menganulir pilihan politik bakal capres PSI yang dahulu telanjur mengemuka demi mengikuti pesan ojo kesusu Jokowi, adalah contoh konkret betapa kuatnya patronase di partai yang konon katanya ”si paling milenial”.
Jadi, apa pun bunyi dan gerak-gerik Jokowi adalah ide dan tujuan politik PSI. Tidak ada ruang sedikit pun PSI menolak ide dan kebijakan Jokowi alih-alih mengkritik.
Sebegitu hebatnya personifikasi Jokowi selain membentuk ormas-ormas yang telah disebutkan tadi, juga menginfiltrasi ke dalam pelembagaan sebuah partai. Jokowi sendiri pun tidak dilahirkan oleh PSI, tetapi oleh PDI-P, partai yang sedari awal mengader dan mendukung Jokowi mulai dari Wali Kota Solo dua periode, Gubernur DKI Jakarta, dan Presiden sampai saat ini. Menariknya lagi, di beberapa momen kebijakan antara Jokowi dan PDI-P agak berseberangan.
Tentu fenomena ini pun patut diselisik. Apakah performa dan daya ”magis” Jokowi sudah dapat disetarakan dengan Sang Patron utama PDI-P, yaitu Megawati? Sehingga, kemudian muncul narasi Jokowi mampu berdiri memengaruhi konfigurasi kekuatan di dua bakalcapres sekaligus, Ganjar, yang diusung PDI-P, dan Prabowo oleh Gerindra.
Ini juga perlu diteliti, teoretisasi fenomena personifikasi tokoh terhadap sebuah lembaga, sistem dan paradigma politik. Tentu selain konsep patronase, saya kira perlu ada lampauan teori sahih dan presisi yang menjelaskan kapasitas dan kekuasaan seorang tokoh yang sedemikian kuat pengaruhnya, terutama dalam konteks demokrasi.
Kepentingan siapa?
Segala fenomena di atas kian menegaskan bahwa belum ada rumus baku (baca: teori) yang linear dalam menjelaskan dinamika politik di Indonesia. Hal itu terutama dalam menghadapi momen politik elektoral, konstelasi elite, ataupun kelembagaan partai yang senantiasa sangat cair, tidak mewujud, tidak menentu, tidak memola, tidak ter-framing, atau kalau tidak ingin dikatakan sebagai anomali demokrasi yang kita jalani.
Ketidakmenentuan politik dapat ditelaah dari sejumlah preferensi, ide, dan wacana politik yang sejatinya dan harusnya beragam, berbeda spektrum, saling mempertentangkan, menawarkan gagasan-gagasan alternatif, merepresentasikan heterogenisasi persoalan dan kepentingan identitas kultural, tetapi di momen-momen politik yang sangat strategis diatur untuk sangat ”mudah” mengalir dan bertemu dalam satu gelanggang, kolam, dan wadah yang dinamakan partai, koalisi, dan seterusnya. Perbedaan narasi, gagasan, ide, dan lain-lain bisa dengan mudah merasuk ke segala lini, ruang, dan dinding mana pun untuk kemudian bersintesis.
Perkara itu akan menjadi warna dan dinamika baru yang ajek, yang kemudian bisa menjadi parameter, patokan atau pedoman politik bagi masyarakat awam, kaum jelata, wong cilik, dan segenap rakyat lainnya, tentu tidak ada yang bisa menjamin kecuali naluri dan kepentingan politik itu sendiri yang sering kali hanya dilakoni oleh elite politik ataupun pemilik modal yang berpolitik. Kondisi politik yang ”dikonsolidasikan” ini mungkin beberapa kita kemudian menyebutnya kedewasaan berpolitik, keluwesan demokrasi, dan kebebasan nalar politik meski di lain sisi tersingkap politik yang pragmatisme atau bahkan oportunis.
Sebelum menutup, izinkan kembali bertanya-tanya, apakah semua itu untuk kepentingan rakyat atau elitis ”orang-orang besar” semata? Atas dasar ”persatuan” atau bentuk kartelisasi politik? Ini harus ditelaah sangat-sangat mendalam sembari kita tentu berharap keberagaman warna partai, tokoh siapa pun itu merefleksikan kekayaan gagasan alternatif yang bermuara dari lubuk dan sanubari persoalan dan identitas kultural bangsa ini. Tidak hanyut oleh logika oligarki, oleh kepentingan satu tokoh, beberapa tokoh, atau kelompok.
Satu pedoman sebagai pamungkas di tengah deru ketidakmenentuan dan anomali demokratisasi di atas, maka penting untuk menyegarkan dan merevitalisasi politik yang bermula dari kedalaman filosofi, keluhuran etis-moril terhadap publik untuk selanjutnya sebagai instrumen dan ruang deliberasi narasi dan kebijakan atas berbagai persoalan rakyat. Deliberasi politik bagi semua entitas bangsa, tidak peduli minoritas-mayoritas, kaya-miskin, tua-muda, anak presiden-anak nelayan, komunitas kapitalis-komunitas marjinal, semua memiliki hak atas kesetaraan dan keadilan.