Membaca ”Kelam” Sang Bayangan (Sejarah)
Kisah Alam memberikan gambaran dahsyatnya dampak trauma yang berkerak di ruang personal dan cap identitas yang direkati stigma. Dalam kenyataan selama ini, seluruh upaya hanya terfokus pada rekonsiliasi politik.
The past is never dead. It’s not even past….
(William Faulkner, penerima Nobel Sastra 1949)
Waktu dalam ingatan korban dan keluarganya tak terpenjara oleh ukuran standar ketika luka jiwa menolak tunduk pada putaran zaman. Di dalam ingatan, peristiwa itu tersimpan di ruang antara, yang selalu mendorong masa sekarang dan masa depan ke masa lalu; hilang, timbul, dan senantiasa hadir.
Di Indonesia, Tragedi ’65 yang merampas hidup ratusan ribu orang itu meninggalkan jejak korban sebagai ”hantu pengkhianat” entah sampai kapan dan menyisakan tragedi keseharian yang tak berkesudahan pada keluarganya.
Namaku Alam 1, novel terbaru Leila S Chudori (KPG 2023), adalah tentang itu semua.
Kisah setebal 424 halaman itu bisa dikatakan sebagai gugatan terhadap sejarah arus utama melalui sudut pandang sang tokoh bernama Segara Alam, bungsu dari tiga bersaudara, lahir 9 April 1965. Dia adalah anak pasangan beda kelas, Hananto Prawiro, wartawan koran kiri, dengan Surti Anandari, putri keluarga priayi tinggi.
Catatan-catatan yang ditulis pada awal tahun 1980-an itu menguakkan berbagai dampak kejahatan politik masa lalu melalui peristiwa sehari-hari yang dialami seorang remaja dengan sebungkal trauma dan beban stigma.
Itulah sejarah personal, yang kata guru sejarahnya, Ibu Umayani, adalah pijakan untuk menyikapi sejarah formal yang menjadi bahan ajar di sekolah.
Catatan itu adalah buku harian, yang isinya lebih merupakan percakapan intim dengan diri sendiri mengenai pengalaman yang membangkitkan gelegak hati. Itulah sejarah personal, yang kata guru sejarahnya, Ibu Umayani, adalah pijakan untuk menyikapi sejarah formal yang menjadi bahan ajar di sekolah.
Ibu Uma adalah sosok penting dalam perjalanan Alam, selain Ibu, kedua kakaknya, Yu Kenanga, Yu Bulan, Om Aji, dan beberapa lainnya yang dia ungkap dalam catatannya.
Lokus peristiwa
Namaku Alam 1 bukan novel cinta-cintaan remaja manja. Di balik kisah yang diwarnai romansa zaman itu, ada banyak peristiwa mengguncang yang kelak ikut membentuk diri Alam.
Remaja dengan photographic memory itu memiliki kemampuan mengingat secara akurat suatu kejadian yang meremukkan semesta kecilnya dan membuatnya berkenalan dengan ”kelam” (hlm 19-21).
Dialah tamu tak diundang yang terus membayang bersama serangkaian pertanyaan tentang bapaknya: bagaimana dia dibunuh? Mengapa dia disebut ”pengkhianat negara”?
Peristiwa demi peristiwa yang dialami bersama bayangan itu menciptakan sebongkah ingatan bernama ketersiaan, ketakutan, kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan yang mengepung, menciptakan pergumulan batin serta kondisi psikis seperti roller coaster.
Novel dimulai dengan prolog yang muram: Alam membayangkan detik-detik terakhir bapaknya, 18 Mei 1970. Kepak burung nasar mulai muncul dalam imajinasinya.
Burung pemakan bangkai yang tercantum sedikitnya delapan kali, juga menjadi ilustrasi pada sampul buku berwarna merah itu, seperti metafora mistis mengenai kematian jiwa. Alam merasa tubuhnya hanyalah mayat hidup, setiap ”kelam” menyergap dan batinnya meneriakkan: mengapa aku harus dilahirkan kalau sepanjang hidupku harus digelantungi berbagai stigma? (hlm 423).
-
”…. It is here and gone with the thick of clock, then here again...,” kata Michael T Isenberg dalam Puzzles to the Past: An Introduction to Thinking About History (1985).
Jiwa yang kering
Catatan Alam memberikan gambaran mengenai hubungan rumit antara dia dan ayah yang tak pernah dia kenal, kecuali sekilas ingatan dia dipangku sang ayah. Bayangan ayahnya sebagai sosok hitam tak berwajah, setia mengunjungi mimpinya setelah dia berkelahi dan menerima hukuman dari sang ibu. Dalam kemarahan, dia mengatakan kepada bayang-bayang itu, ”Seharusnya ayah tak perlu mati, jadi aku tak perlu berkelahi terus!” (hlm 51).
Namun, hidup adalah sekumpulan paradoks. Di dalamnya orang menolak menyerah.
Alam tak bisa memaafkan sikap pengecut ayahnya yang membuat ibu dan kakak perempuannya terlunta-lunta menghadapi pemburu sang ayah serta mengalami perlakuan yang meluluhlantakkan jiwa di rumah tahanan Budi Kemuliaan (hlm 151-173). Namun, dia ingin melihat jejak ayahnya selama tiga tahun tidak mengontak keluarganya (hlm 310).
Konflik tak berujung di relung diri membuat Alam kerap putus asa, menjadikannya temperamental sehingga mudah tersulut untuk berkelahi ketika melihat tindak kesewenangan, terutama pada keluarganya dan Bimo, sahabatnya.
Pada saat yang sama, dia berusaha meredam perangainya. Dia berlatih karate dan menuruti nasihat Ibu Uma untuk menulis buku harian sebagai pelepasan dan berusaha menuruti pesan kedua kakaknya untuk mengelola masa lalu.
Di luar itu semua, Alam memegang teguh prinsip kesetiaan, dalam keluarga ataupun dalam persahabatan, seperti diajarkan kedua kakaknya. Dia juga mengukuhi prinsip kebenaran dan keadilan dengan caranya, seberapa pun harus dibayar (hlm 171-172).
Novel ini mengungkap pertautan batin antara Alam dengan Bimo dan hubungan tulus dengan Tri dan teman-temannya di Putra Nusa, sekolah yang mengantarkan Alam pada tahap berikutnya: penerimaan diri.
Kisah Alam memberikan gambaran dahsyatnya dampak trauma yang berkerak di ruang personal dan cap identitas yang direkati stigma.
Meski mengalami perundungan dari keluarga gadis yang dicintainya, dia bisa menahan amarah. Dia menyelesaikan fase itu melalui pertandingan karate dengan kemenangan atas diri sendiri. Kerinduannya memeluk keheningan bersama Bimo menyelamatkan Alam dari riuh gejolak meski masih diikuti bayangan burung nasar.
Menatap sejarah
Kisah Alam memberikan gambaran dahsyatnya dampak trauma yang berkerak di ruang personal dan cap identitas yang direkati stigma. Dalam kenyataan selama ini, seluruh upaya hanya terfokus pada rekonsiliasi politik di ruang publik.
Proses pemulihan di tingkat individu tidak terurus karena kerasnya pertarungan demi keberlanjutan hidup dengan sumber daya sangat terbatas. Banyak keluarga korban memilih bertahan dalam kebisuan, apalagi hantu komunis terus dihidupkan oleh para demagog dan provokator politik.
Novel yang dapat menjadi jembatan bagi kaum muda untuk menatap sejarah keluarga dengan jujur itu kaya dengan pengetahuan. Ada diskusi terkait ideologi dominan, sastra dunia dan Indonesia, kisah klasik seperti Mahabharata, Ramayana, Panji Semirang, olahraga karate, musik, dan kuliner.
Dialognya padat, banyak kalimat menyentuh dan kontemplatif, mengajak orang berpikir. Ibarat makanan, novel ini penuh warna dan kaya rasa.
Selain itu juga dibarengi riset kuat terkait kesehatan jiwa anak keluarga korban Tragedi ’65. Suasana kebatinan anak dan remaja tahun akhir 1960-1980-an tak mungkin dimasuki tanpa riset mendalam mengenai situasi zaman itu. Sebagai catatan, Leila adalah wartawan dan penulis dengan pengalaman sangat panjang. Novelnya, Laut Bercerita (2017), dicetak ulang lebih dari 50 kali dan terjual lebih dari 130.000 copy.
Suasana kebatinan anak dan remaja tahun akhir 1960-1980-an tak mungkin dimasuki tanpa riset mendalam mengenai situasi zaman itu.
Struktur Namaku Alam 1 tidak linier sehingga tidak bisa dibaca sambil lalu. Banyak bagian dari novel membuat hati diliputi rasa entah dan sederet tanya: Mengapa Alam dan Bimo menjadi teman sejiwa? Mengapa ibu Bimo memilih om jenderal dan menceraikan suaminya, eksil di Perancis? Apa hubungan Om Aji dengan mereka semua?
Saya buka lagi Pulang (2012), lalu membaca kedua novel itu lagi, lagi, dan lagi.
Namaku Alam 1 adalah spin off dari Pulang, yang sudah diterjemahkan dalam empat bahasa dan mencapai cetakan ke-24 edisi bahasa Indonesia. Tampaknya kisah ini akan menjadi lingkaran sempurna setelah triloginya rampung.
Maria Hartiningsih Penulis, wartawan Kompas 1984-2015
Data Buku
Judul : Namaku Alam 1
Penulis: Leila S Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: Cetakan I, 2023
Tebal Buku: ix + 438 halaman
ISBN: 978-623-134-082-5