Saat ini sejumlah panggung politik sering kali terdorong meletakkan gagasan kebangsaan sebagai komoditas politik yang toksik. Perlu sebuah strategi ideologis untuk mengembalikan gagasan kebangsaan menjadi narasi utama.
Oleh
HENDRO MUHAIMIN
·4 menit baca
Geliat panggung politik hari-hari ini tidak bisa diprediksi dengan pikiran yang pasti. Acapkali gagasan politik yang mendengung adalah narasi toksik, terbelakang, dan cenderung meninggalkan praktik-praktik kebaikan. Dengung politik ini jika dibiarkan akan mendegradasi nilai demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi komitmen dan semangat kebangsaan menuju kontestasi 2024.
John Rawls (1971) dalam bukunya, A Theory of Justice, mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan ”posisi asali” (original position) dan ”selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Rawls berusaha memosisikan dalam hak politik dasar bagi setiap manusia adalah sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya.
Gagasan Rawls tersebut setidaknya menjamin bahwa keadilan dalam panggung politik (pemilu) menjadi salah satu aspek yang sangat penting dalam menjamin kebebasan setiap manusia dengan dilandasi moralitas yang setara. Narasi yang toksik harus segera dikembalikan pada ”posisi asali”-nya, yakni gagasan-gagasan kebangsaan yang bernaung dan bersumber pada Pancasila.
Selama kita belum bisa membumikan nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu pula bangsa Indonesia sulit meraih kemajuan cita dan moral yang diharapkan, khususnya gagasan moral publik, oleh Rawls ini ditempatkan sebagai ”selubung ketidaktahuan”.
Pancasila sebagai falsafah, pandangan hidup, dan ideologi kenegaraan yang mengandung cita dan konsensus moral publik perlu menjadi kerangka atas gagasan-gagasan politik yang ada. Bahwa nilai-nilai Pancasila harus dipandang sebagai norma dasar bernegara yang diletakkan menjadi sumber dari gagasan-gagasan politik yang bertanggung jawab terhadap kehidupan publik.
Dalam kedudukannya seperti itu, Pancasila adalah dasar persatuan dan haluan kemajuan cita dan moral. Ideologi Pancasila memandang bahwa sumber-sumber moral privat dan komunal seperti agama, kearifan lokal, adat istiadat, dan lainnya dapat melakukan pengisian dan dukungan terhadap perumusan Pancasila sebagai moral publik.
Di sisi lain, meski Pancasila tidak bermaksud mengintervensi pengembangan moral privat dan komunal, tetapi bisa mencegah pengembangan moral yang dapat membahayakan kehidupan publik, termasuk gagasan-gagasan politik (toksik) yang jauh dari nilai-nilai kebaikan dalam Pancasila.
Narasi kebangsaan
Jika Pancasila sebagai landasan ideologis telah begitu kuat, dan Pancasila sebagai kerangka cita dan moral masih dalam taraf percobaan, bisa dipastikan dimensi tindakan dari Pancasila sebagai gagasan kebangsaan masih jauh harapan.
Saat ini sejumlah panggung politik sering kali terdorong meletakkan gagasan kebangsaan sebagai komoditas politik yang toksik. Politisi berbicara kebangsaan, tetapi menghidupkan kembali agenda-agenda fasisme, berbicara rasialisme, serta mendikotomi etnis, agama, dan golongan.
Tantangan ini harus segera dijawab dengan cara menumbuhkan komitmen agar Pancasila memiliki konsistensi dengan arah gagasan dengan realitas politik saat ini. Akhirnya, perlu sebuah strategi ideologis untuk mengembalikan gagasan kebangsaan menjadi narasi utama. Strategi ideologis tersebut dapat mendorong implementasi Pancasila ke dalam wilayah kemajuan moral dan gagasan-gagasan politik kebaikan.
Politisi berbicara kebangsaan, tetapi menghidupkan kembali agenda-agenda fasisme, berbicara rasialisme, serta mendikotomi etnis, agama, dan golongan.
Dalam kaitan ini, Pancasila yang semula hanya melayani gagasan atas kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani gagasan-gagasan untuk kepentingan bersama, serta menjadikan Pancasila sebagai titik tumpu kemajuan moral.
Dimulai dengan pendekatan yang berbasis masyarakat, kreatif, lintas generasi, dan mampu menghindari struktur-struktur baku untuk mengembalikan gagasan kebangsaan yang lebih relevan dengan kebutuhan panggung politik. Selain itu, perlu adanya kesadaran dan komitmen yang kuat untuk menumbuhkan gagasan-gagasan kebangsaan yang secara organik mampu tumbuh dari elemen bangsa Indonesia sendiri, baik dari pemerintah, masyarakat, maupun individu, termasuk aktor-aktor politik yang rajin mendengung.
Hilirisasi ideologi
Pancasila sebagai dasar negara bukanlah sesuatu yang statis, melainkan harus dinamis dengan perkembangan zaman dan tantangan yang ada. Hilirisasi ideologi yang dimaksud adalah mengarusutamakan Pancasila sebagai ideologi pemersatu, yang mengatasi partikularitas paham privat dan komunal yang melandasi cara kerja demokrasi dan narasi politik yang mengikutinya.
Artinya, dalam wilayah privat (individu) dan komunal (etnis, agama, dan golongan), masing-masing bisa mengembangkan partikularitas ideologi politiknya. Namun, dalam wilayah publik, segala pandangan individu dan komunal itu harus bertumpu pada ideologi kebangsaan, yaitu Pancasila.
Profesor Notonagoro (1951), dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, menjelaskan bahwa Pancasila menegaskan corak warna atau watak rakyat kita sebagai bangsa-bangsa yang beradab, bangsa yang berkebudayaan, bangsa yang menginsafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan hidup kebangsaannya dengan dasar perikemanusiaan yang universal, meliputi seluruh alam kemanusiaan.
Pemikiran Notonagoro tersebut merupakan bentuk keluasan pemikiran yang diarahkan pada bagaimana cara yang tepat untuk hilirisasi ideologi Pancasila agar mampu mendorong warga negara turut serta dalam usaha penguatan pemahaman kebangsaan. Lebih lagi, saat ini sedang dihadapkan pada usaha untuk menangkal dengungan narasi politik yang dari hari ke hari semakin tak terkendali. Keluar dari semangat persatuan dan penghormatan kemanusiaan.
Dalam situasi seperti itu eksistensi Pancasila dituntut untuk berdiri kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide utama dari hilirisasi ideologi Pancasila adalah menegaskan bahwa proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi kebangsaan dari masyarakat yang mengalami ragam perbedaan.
Oleh karena itu, menghadapi tantangan arus deras tensi politik saat ini, Pancasila hendaknya dimaknai dan dijadikan tempat kembali sekaligus titik berangkat semua komponen dalam membangun demokrasi, dan sekaligus menghindarkan dengungan toksik para petualang politik yang mengancam keutuhan bangsa.