Menakar Peluang Realisasi Janji Politik
Akhir-akhir ini fenomena umbar janji mulai ramai dan memanaskan diskusi publik. Namun, apakah janji-janji politik tersebut memungkinkan untuk direalisasikan jika si calon benar-benar berhasil menjadi pejabat publik?
Puncak pesta demokrasi bagi bangsa Indonesia hanya tinggal hitungan hari. Para bakal calon presiden, bakal calon wakil presiden, dan bakal calon anggota legislatif sudah gencar bergerilya menebar pesona untuk mendapatkan simpati dan dukungan calon pemilih.
Salah satu cara klasik yang dinilai masih ampuh untuk mendulang dukungan pemilih adalah dengan menjanjikan berbagai program populis yang berkaitan langsung dengan hajat hidup dan kebutuhan para pemilih.
Akhir-akhir ini fenomena umbar janji tersebut mulai ramai dan memanaskan diskusi publik. Mulai dari janji bahan bakar minyak (BBM) yang akan digratiskan, bebas pembayaran iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), ketahanan dan swasembada pangan, serta sederet program populis lain yang dapat menarik animo masyarakat luas.
Namun, pertanyaan kritis yang memicu kontroversi, baik dalam diskusi di hotel berbintang maupun dalam obrolan di warung kopi pinggir jalan, adalah apakah janji-janji politik tersebut memungkinkan untuk direalisasikan jika si calon benar-benar berhasil menjadi pejabat publik? Ataukah janji-janji tersebut hanya sebatas bunga-bunga kampanye yang akan layu sebelum berkembang?
Akhir-akhir ini fenomena umbar janji tersebut mulai ramai dan memanaskan diskusi publik.
Barang publik dan pribadi
Sebelum melangkah lebih jauh mempertanyakan probabilitas realisasi janji-janji politik tersebut, hal pertama yang harus diperhatikan, baik oleh calon pejabat publik maupun calon pemilih, adalah memahami kembali konsep barang publik dan barang pribadi.
Tugas utama dari para pejabat publik adalah menciptakan barang publik yang selama ini proses pengadaannya tidak bisa diserahkan ke dalam mekanisme pasar. Oleh karena itu, barang publik harus dapat disediakan dengan baik oleh pemerintah sehingga bisa dikonsumsi dan dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya para pemilik modal.
Dalam waktu bersamaan, proses pengadaan barang publik yang dilaksanakan pemerintah harus tetap dilakukan berdasarkan asas efisiensi sehingga nilai kemanfaatannya dapat lebih besar, lebih luas, dan lebih merata.
Dengan berpegang pada konsep barang publik ini, seharusnya semua program dan janji politik yang ditawarkan bakal capres, bakal cawapres, dan bakal caleg pada masa kampanye nanti adalah pengadaan barang-barang publik.
Jika mengacu pada teori manajemen kebijakan publik, ciri-ciri barang publik antara lain adalah adanya konsumsi tanpa persaingan, tidak adanya kekhususan penggunaan, dan tidak adanya persyaratan penghargaan dari para pemakai.
Barang publik merupakan jenis barang konsumsi yang tidak mampu memengaruhi jumlah penawaran konsumsi bagi orang lain. Dalam konsep ini, program ”penggratisan” konsumsi BBM menjadi program yang kurang tepat karena tidak memenuhi karakteristik dari barang publik. Pun dengan program lainnya yang tidak memenuhi kriteria dari barang publik.
Namun, lain halnya jika penggratisan konsumsi BBM tersebut dilakukan khusus untuk moda transportasi umum.
Beberapa sifat dari moda transportasi umum bisa memenuhi kriteria sebagai barang publik sehingga konsumsi BBM untuk transportasi umum bisa ditanggung pemerintah atau paling tidak disubsidi oleh pemerintah.
Tujuan utamanya adalah menciptakan sistem transportasi umum yang murah dan berkualitas sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sementara, untuk konsumsi barang-barang yang sifatnya pemenuhan kepentingan pribadi, pemerintah tidak perlu menyediakannya secara percuma.
Pemerintah hanya harus menjamin bahwa mekanisme pasar berjalan dengan baik sehingga mampu menciptakan kinerja perekonomian yang efisien, dengan setiap orang dapat memperoleh dan menikmati barang pribadinya secara efisien.
Dengan memahami konsep mana barang publik yang harus disediakan pemerintah dan mana barang pribadi yang diserahkan ke dalam mekanisme pasar, tidak akan ada lagi calon pejabat publik yang menawarkan program-program yang overlapping dan memicu kontroversi di tengah masyarakat luas.
Mengukur kekuatan APBN
Selain berpegang pada konsep barang publik dan barang pribadi, program-program dan janji-janji politik yang ditawarkan oleh para bakal capres, bakal cawapres, dan bakal caleg juga harus mempertimbangkan kekuatan dan celah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tersedia.
Penyediaan barang publik untuk kepentingan masyarakat luas harus memperhatikan kemampuan keuangan negara.
Dengan pendapatan yang ada saat ini, apakah program dan janji politik yang ditawarkan para calon pejabat tersebut mampu dibiayai oleh APBN?
Sejauh ini, ruang fiskal yang tersedia dalam APBN relatif sangat terbatas. Beberapa program belanja dan pengeluaran negara sudah diatur oleh undang-undang (mandatory spending), seperti alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen, dana transfer umum (DTU), dan alokasi dana desa.
Penyediaan barang publik untuk kepentingan masyarakat luas harus memperhatikan kemampuan keuangan negara.
Selain itu, ruang fiskal yang tersedia juga semakin sempit seiring dengan adanya kewajiban pembayaran cicilan utang beserta bunganya. Pada tahun 2022 dan 2023, alokasi pembayaran cicilan utang dan bunga utang sudah lebih dari Rp 400 triliun atau sekitar 15 persen dari total belanja negara tahun 2023 yang mencapai Rp 3.061,2 triliun.
Dengan adanya mandatory spending serta kewajiban pembayaran cicilan utang beserta bunganya, ruang gerak fiskal menjadi sangat terbatas.
Di samping itu, ruang fiskal semakin bertambah sempit lagi karena terdapat beberapa proyek strategis nasional yang sifatnya kontrak tahun jamak (multiyears) yang sifatnya mengikat, seperti pembangunan ibu kota negara, program pembangunan infrastruktur, dan program lumbung pangan.
Penambahan program baru sebagai janji politik para calon pejabat publik akan menambah beban belanja negara. Padahal, pendapatan negara tidak mengalami lonjakan yang signifikan.
Sumber pendapatan negara masih mengandalkan sektor pajak sebagai ujung tombak. Pada waktu bersamaan, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) malah mengalami tren penurunan. Aliran pendapatan dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) juga tidak bisa digenjot berlebihan.
Pesta kenaikan harga komoditas dunia mulai hilang sehingga besaran PNBP juga mulai berkurang. Dividen dari badan usaha milik negara (BUMN) juga tidak bisa serta-merta dinaikkan karena kinerja keuangan beberapa BUMN tidak begitu cemerlang.
Pemerintah yang akan datang juga tak bisa meningkatkan defisit APBN sebagai upaya penambahan program dan janji kampanye karena besarnya defisit sudah kembali ke pengaturan awal sesuai Undang-Undang Keuangan Negara.
Pascaperiode pandemi Covid-19, besarnya defisit APBN kembali dibatasi menjadi maksimal 3,0 persen PDB. Dengan demikian, celah dan ruang fiskal memang sudah benar-benar sempit, jika tak mau dikatakan tidak ada ruang sama sekali.
-
Jika pemerintah yang akan datang tetap memaksakan untuk merealisasikan janji-janji kampanye yang menambah beban APBN tersebut, alternatif terakhir yang dapat dipilih adalah dengan mengubah struktur APBN secara keseluruhan. Namun, langkah ini memiliki risiko yang tidak kecil.
Mengubah struktur APBN sama saja dengan mengubah arah dan tujuan pembangunan jangka menengah yang telah ditetapkan sebelumnya. Beberapa program multiyears yang tengah berjalan terancam terhenti dan harus menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Penentuan skala prioritas beberapa program pembangunan bisa berubah sehingga memengaruhi target output yang telah ditetapkan.
Mengubah struktur APBN membutuhkan waktu adaptasi yang tidak sebentar. Beberapa program yang tengah berjalan bisa saja hilang dan tidak dilanjutkan. Namun, tentunya langkah-langkah tersebut sudah dipertimbangkan para bakal capres, bakal cawapres, dan bakal caleg. Mereka sudah memiliki program andalan untuk menggantikan program-program yang dianggap usang dan tidak memiliki dampak signifikan.
Semua kembali ke keyakinan masing-masing, toh ruang ijtihad tidak pernah dipersalahkan.
Baca juga : RAPBN Terakhir Jokowi
Baca juga : Rencana Kenaikan Gaji ASN, TNI/Polri Disebut Politis dan Bebankan APBN
Agus Herta SumartoDosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana dan Ekonom Indef