Salah satu hal yang harus dihindari dalam penulisan jurnalistik adalah penggunaan kata yang tidak perlu. Namun, yang sering terjadi, tulisan jurnalistik diwarnai kata-kata yang berbeda dengan makna yang sama.
Oleh
KUSNADI/NUR ADJI
·3 menit baca
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam tulisan jurnalistik diupayakan agar digunakan kalimat efektif. Tujuannya jelas, agar pembaca segera mendapatkan informasi tanpa harus berpayah-payah membaca atau mengulang-ulang membaca karena terganggu oleh pilihan kata yang digunakan penulis.
Salah satu hal yang harus dihindari, antara lain, adalah penggunaan kata yang tidak perlu. Kata oleh, misalnya, tidak mesti ada dalam bangun kalimat.
Kehadiran oleh dalam kalimat, ”Gol yang dicetak oleh Luka Modric menyebabkan Real Madrid menang atas Barcelona”, bisa dihilangkan. Penghilangan itu tidak menyebabkan makna kalimat berubah.
Hal lain yang juga harus dihindari adalah menuliskan dua atau tiga kata yang maknanya sama dalam satu kalimat. Kita bisa menggunakan satu kata saja, tanpa menambah kata lainnya, dan menyebabkan makna kalimat tetap sama.
Kita lihat contoh kalimat berikut: ”Pemerintah hanya sekadar menyampaikan berita itu kepada rakyat”. Kalau kita perhatikan, tidak ada yang salah pada kalimat tersebut. Namun, jika kita lebih cermat, penggunaan hanya sekadar sangat mengganggu kenikmatan membaca.
Kita bisa menggunakan satu kata dari kedua kata itu. Jika kita memilih hanya, kalimatnya menjadi ”Pemerintah hanya menyampaikan berita itu kepada rakyat”. Sebaliknya, jika memilih sekadar, kalimatnya menjadi ”Pemerintah sekadar menyampaikan berita itu kepada rakyat”. Selain terasa pas dan enak dibaca, artinya pun tidak salah.
Ada enam makna
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), kata hanya memiliki enam makna. Semuanya dikategorikan sebagai adverbia (kata keterangan).
Dari enam makna itu, tiga makna relevan dengan ulasan ini. Yang pertama adalah hanya yang dimaknai sebagai (atau sinonim dengan) ’cuma’. Contoh: aku hanya bertanya.
Yang kedua adalah hanya yang dimaknai sebagai ’tidak lebih dari’. Contoh: ia hanya membawa uang receh dalam dompetnya.
Yang ketiga adalah hanya yang bermakna (atau bersinonim dengan) ’saja’. Kata hanya, menurut KBBI, biasanya digunakan bersama saja untuk mengeraskan makna. Contoh: Hanya itu saja yang dapat kusumbangkan.
Adapun kata sekadar, yang berasal dari kata kadar, memiliki tiga makna. Salah satu makna yang terkait dengan sekadar pada contoh di atas adalah ’hanya untuk’. Kata ini pun berkategori adverbia. Contoh: semua itu sekadar olok-olok.
Dalam penggunaan sehari-hari, selain dua kata berbeda yang bermakna sama, ditemukan juga pemakaian tiga kata berbeda yang bermakna sama. Contoh: ”Museum tidak hanya sekadar memamerkan koleksi untuk pembelajaran saja, tetapi juga untuk wisata edukasi”.
Kalimat tersebut bisa diubah dengan hanya menggunakan hanya, atau sekadar, atau saja. Misalnya, ”Museum tidak hanya memamerkan koleksi untuk pembelajaran, tetapi juga untuk wisata edukasi”.
Dalam kasus di atas, ketiga kata tersebut bisa saling menggantikan. Dengan kata lain, kata sekadar atau saja dapat digunakan untuk menggantikan hanya. Misalnya, ”Museum tidak memamerkan koleksi untuk pembelajaran saja, tetapi juga untuk wisata edukasi”.
Namun, dalam kasus tertentu, kita harus memperhatikan bangun kalimatnya: mana kira-kira kata yang pas digunakan: hanya, atau sekadar, atau cuma. Contoh: ”Peran Humas dalam menjalankan tugasnya bukan hanya sekadar tukang foto saja, tetapi juga menjadi kepanjangan tangan seorang pemimpin sebagai interpretasi institusi tertentu”.
Dari tiga kata di atas (hanya, sekadar, saja), kita dapat memilih salah satu untuk digunakan. Misalnya: ”Peran Humas dalam menjalankan tugasnya bukan sekadar tukang foto, melainkan juga menjadi kepanjangan tangan seorang pemimpin sebagai interpretasi institusi tertentu”.
Ada yang kurang pas jika menggunakan saja. Misalnya: ”Peran Humas dalam menjalankan tugasnya bukan tukang foto saja, melainkan juga menjadi kepanjangan tangan seorang pemimpin sebagai interpretasi institusi tertentu”.
Dalam tulisan jurnalistik, hemat kata lebih dipentingkan. Pemborosan kata menyebabkan kalimat menjadi tidak efektif.
Pencantuman dua atau tiga kata yang berbeda dengan makna yang sama umumnya memang untuk penegasan, atau untuk memperkuat pernyataan. Namun, dalam tulisan jurnalistik, hemat kata lebih dipentingkan. Pemborosan kata menyebabkan kalimat menjadi tidak efektif.