Demokrasi Versus Teknologi
Terkait pemilu, Komisi Pemilihan Umum semestinya membuat regulasi yang mengatur penggunaan teknologi digital di pemilu. Regulasi utamanya mengatur transparansi dan mengondisikan kampanye politik berlangsung jujur.
Sejumlah negara atau pemerintahan menjalani pemilihan umum pada 2024. Negara-negara atau pemerintahan itu ialah Amerika Serikat (AS), Indonesia, India, Meksiko, dan Taiwan.
Satu hal yang kiranya mencemaskan pemerintah, penyelenggara pemilu, dan rakyat di negara-negara atau pemerintahan tersebut ialah penyalahgunaan teknologi digital oleh peserta pemilu demi meraih kekuasaan politik.
Platform, demi kekuasaan ekonomi-politik, memfasilitasi penyalahgunaan teknologi digital oleh peserta pemilu. Demokrasi jangan mau kalah lagi menghadapi teknologi. Sudah saatnya demokrasi menaklukkan teknologi.
Berawal dari Trump
Kita awalnya merayakan kehadiran teknologi digital atau media sosial (medsos) sebagai demokrasi digital. Kehadiran medsos membuat rakyat leluasa bersuara. Medsos menyuarakan mereka yang tak bersuara, voice of the voiceless.
Kecemasan teknologi merusak demokrasi berawal setidaknya dari Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2016. Ketika itu, calon presiden Donald Trump menggunakan mahadata (big data) dan penyasaran mikro (micro-targeting) dalam kampanyenya. Berbekal mahadata, Trump membombardir pemilih yang menjadi target dengan disinformasi politik di platform digital. Walhasil, Trump memenangi pilpres dengan mengalahkan Hillary Clinton.
Kemenangan Trump menandai keunggulan teknologi berhadap-hadapan dengan demokrasi. Kualitas demokrasi di banyak negara mengalami stagnasi, bahkan regresi akibat disinformasi politik yang difasilitasi teknologi digital.
Kecemasan akan dampak negatif teknologi digital di negara-negara yang tahun depan menggelar pemilu meningkat dengan kehadiran kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Kini deepfake yang paling dicemaskan merusak demokrasi. Deepfake adalah AI yang menghasilkan suara mirip seseorang.
Kualitas demokrasi di banyak negara mengalami stagnasi, bahkan regresi akibat disinformasi politik yang difasilitasi teknologi digital.
Sehari sebelum hari pemilihan wali kota Chicago, Februari 2023, beredar suara mirip salah satu kandidat, Paul Vallas, di Twitter (sekarang X). Suara mirip Vallas itu menyesalkan kegaduhan tentang kebrutalan polisi dan meminta masyarakat tenang. Itu sama sekali bukan suara Vallas. Itu deepfake yang diciptakan kecerdasan buatan. Vallas melayangkan protes ke Twitter yang segera menghapus rekaman suara tersebut.
Di hari pertama penghitungan suara, Vallas unggul. Akan tetapi, di penghitungan suara final, ia kalah. Suara mirip Vallas tadi telanjur tersebar. Publik kadung percaya itu sungguh suara Vallas. Kasus Vallas kembali memamerkan kemenangan teknologi atas demokrasi.
Regulasi sukarela
Untuk menaklukkan teknologi, demokrasi pertama-tama perlu menuntut tanggung jawab platform digital. Kita menuntut platform digital bertanggung jawab meningkatkan kualitas demokrasi melalui regulasi sukarela (volunteer regulation, self regulation).
Laura Quinn, pendiri lembaga kontra-disinformasi, dalam penelitiannya merekomendasi solusi melawan disinformasi ialah memaksa platform teknologi digital untuk menghapus dan mencegah konten disinformatif. Berbekal rekomendasi penelitian Quinn, pada November 2019, sejumlah organisasi masyarakat sipil bertemu dengan Mark Zuckerberg, bos Meta atau Facebook, dan Jack Dorsey, CEO Twitter sebelum diambil alih Elon Musk.
Dalam pertemuan itu, masyarakat sipil memperingatkan Zuckerberg dan Dorsey akan bahaya disinformasi bagi Pilpres AS 2020. Facebook dan Twitter kemudian memblokir akun Trump.
Open AI, perusahaan pencipta ChatGPT, berkomitmen memonitor dan mendeteksi pengaruh kegiatan politik yang menggunakan platformnya. Alphabet dan Meta melarang penggunaan platformnya untuk iklan politik manipulatif. Alphabet dan Meta berkomitmen merespons cepat deepfake.
Platform juga bertanggung jawab menciptakan teknologi yang dapat mencegah penyebaran disinformasi politik.
Google menciptakan teknologi SynthID yang menyematkan watermark pada gambar digital. Watermark tidak dapat dilihat manusia, tetapi dapat ditangkap komputer yang telah dilatih untuk membacanya. Google mengklaim teknologi ini berguna untuk mengawasi penyebaran gambar palsu dan memperlambat penyebaran disinformasi.
Bentuk tanggung jawab lain dari platform digital ialah dengan melakukan kampanye yang mengandung ajakan untuk mewujudkan demokrasi berkualitas melalui ruang digital. Menyambut Pemilu 2024 di Indonesia, satu platform mengampanyekan ”bijak bersuara”. Badan Pengawas Pemilu menandatangani nota kesepahaman dengan Tiktok untuk menciptakan pemilu sehat.
Regulasi memaksa
Namun, regulasi sukarela sebatas kemauan politik (political will) platform. Regulasi sukarela memperlakukan platform berbeda-beda, tergantung kehendak politik platform menjalankannya.
Tak berlaku kesetaraan di muka hukum (equality before the law) dalam regulasi sukarela. Di bawah kepemilikan Elon Musk, X menegaskan ideologi kebebasan berekspresi. X memulihkan akun Trump dan akun-akun lain yang dikenal doyan menebar ujaran kebencian. Meta mengembangkan Llama, model open source yang menampilkan teks dan Stable Diffusion yang menciptakan gambar. Kedua perangkat dapat digunakan tanpa pengawasan.
Tiktok adalah platform yang mengandalkan viralitas dari sumber apa pun, termasuk akun-akun baru. Platform ini sangat terbuka menjadi sarana penyebaran disinformasi politik demi mendapatkan viralitas. Oleh karena itu, diperlukan regulasi memaksa (rule of law). Regulasi memaksa memperlakukan platform secara setara. Bukankah salah satu prinsip demokrasi ialah rule of law?
Sejauh terkait pemilu, Komisi Pemilihan Umum semestinya membuat regulasi yang mengatur penggunaan teknologi digital di pemilu.
Sejauh terkait pemilu, Komisi Pemilihan Umum semestinya membuat regulasi yang mengatur penggunaan teknologi digital di pemilu. Regulasi utamanya mengatur transparansi. Transparansi mengondisikan kampanye politik berlangsung jujur dan bisa mengurangi kampanye jahat (black campaign).
Regulasi, misalnya, mengharuskan media sosial mencatat dan melaporkan penggunaan platform mereka untuk iklan politik. Regulasi juga mengharuskan kandidat, partai politik, atau peserta pemilu melaporkan akun-akun di media sosial yang digunakan untuk kampanye politik, serupa kandidat atau partai politik mendaftarkan juru kampanye mereka kepada Komisi Pemilihan Umum.
Dengan transparansi, pengawas pemilu, masyarakat sipil, pers, dan akademisi bisa menganalisis dan mengekspos berbagai bentuk pelanggaran.
Usman Kansong Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika