Suku Bajau Laut
Orang Laut semakin ”mendarat” karena tidak ada masa depan lagi di lautan. Kehidupan di laut bahkan bisa lebih ganas daripada hukum rimba.
”Nenek moyangku seorang pelaut/
Gemar mengarung luas samudra/
Menerjang ombak, tiada takut/
Menempuh badai, sudah biasa/...”
Barangkali hanya lirik lagu itu yang tersisa dari dunia maritim kita. Laut tinggal birunya dan tak banyak lagi ikan atau kekayaan laut di dalamnya. Orang Laut, seperti suku Bajau dan suku Sangir, yang menjadi pilar utama dari kebudayaan maritim, juga sudah nyaris punah atau hampir semuanya telah ”mendarat”.
Komunitas pesisir dan nelayan termasuk orang yang termiskin dalam struktur ekonomi kita. Karena itu, alih-alih membayangkan terwujudnya visi kelautan dan perikanan Indonesia 2045, kita saat ini justru seperti sedang menyaksikan runtuhnya peradaban maritim Nusantara.
Kita diingatkan kembali dengan budaya maritim yang kita miliki atau identitas kita sebagai negara bahari ketika film Avatar: The Way of Water (2022), sekuel dari Avatar (2009), yang diproduksi dan disutradarai oleh James Cameron, mengangkat dunia laut. Dalam film itu ditampilkan suku Metkayina yang banyak terinspirasi oleh kehidupan suku Bajau.
Mereka digambarkan memiliki tubuh bagian atas yang kuat karena banyak berenang dan menyelam, punya limpa yang lebih besar daripada manusia normal sehingga mampu bertahan lebih lama ketika menyelam, hidup di atas perahu, atau membangun rumah di laut dangkal atau pesisir.
Baca juga: Poros Maritim Dunia
Namun, seperti apa sesungguhnya kondisi suku Bajau di negeri ini? Pertama, dalam kaitannya dengan konsep negara bangsa, suku Bajau ini sebetulnya trans-boundaries atau mereka hidup sebagai masyarakat yang lintas batas-batas negara. Mereka tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Filipina. Jumlah terbesar mereka kemungkinan berada di Filipina, terutama di sekitar Kepulauan Sulu, Palawan, Zamboanga, dan Tawi-Tawi.
Kedua, terdapat beberapa penulisan dan nama atau istilah yang berbeda untuk menyebut suku ini: Bajau, Bajao, Bajo, Badjo, Bayo, Orang Sampan/Sekak, Urak Lawoi, Moken, Salon, Selung, Chao Lay, Sama Dilaut, dan sebagainya. Mereka kadang disebut juga sebagai Orang Laut, Suku Laut, Sea Nomads, Sea Gypsies, Sea Folk, dan Boat People.
Pendeknya, mereka adalah-orang-orang yang nyaris tak membutuhkan tanah. Bagi mereka, laut bukan hanya tempat berkehidupan (livelihoods), melainkan juga benar-benar tempat hidup sepanjang hayat. Mereka hidup secara harmonis dengan laut dan menguasai seni navigasi dengan mengandalkan bintang.
Mereka lebih mirip dengan kehidupan reptil, bisa hidup di darat, tetapi lebih nyaman dan lebih banyak hidup di air. Dalam ritual keagamaan, bajul atau penyu atau kura-kura sering menjadi bagian yang penting di masyarakat ini.
Di Indonesia, berdasarkan tiga sensus penduduk terakhir yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlahnya mengalami perubahan signifikan. Pada Sensus Penduduk (SP) 2000, jumlah total suku Bajau 171.822 orang. Pada SP 2010, jumlah mereka naik hampir dua kali lipat menjadi 241.836 orang. Pada SP 2020, jumlahnya naik lagi menjadi 314.884 orang.
Naiknya populasi Bajau dalam tiga sensus penduduk terakhir bisa jadi bukan merupakan pertanda baik karena itu bisa berarti mereka tak lagi menjadi Orang Laut dan telah beralih menjadi orang daratan.
Mereka tersebar di beberapa tempat, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Gorontalo. Namun, masyarakat Bajau sesungguhnya adalah mereka yang hidup di laut dan tak melihat perlunya kartu identitas kependudukan atau KTP sebagaimana dipahami oleh orang daratan.
Naiknya populasi Bajau dalam tiga sensus penduduk terakhir bisa jadi bukan merupakan pertanda baik karena itu bisa berarti mereka tak lagi menjadi Orang Laut dan telah beralih menjadi orang daratan. Ketika mereka hidup di atas perahu dan di laut lepas, mereka tak terjaring sensus penduduk. Mereka bergerak dari satu negara ke negara lain, sering kali dianggap sebagai bajak laut, ditangkap karena dianggap sebagai nelayan asing atau pencuri ikan, atau dipermasalahkan kewarganegaraannya.
Seperti ditulis oleh Adrian B Lapian dalam bukunya yang sangat penting, Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut (2009), suku Bajau memiliki pandangan bahwa dunia ini dihuni dua jenis orang: Orang Sama dan Orang Bagai. Orang Sama adalah mereka yang hidup di atas perahu atau rumah-rumah yang didirikan di atas laut, sementara Orang Bagai adalah mereka yang tinggal di daratan. Makanya, Orang Bajau yang hidup di laut lebih suka menyebut dirinya sebagai Orang Sama atau Samah.
Meski mereka hidup di laut lepas, bukan berarti mereka tidak punya tatanan kehidupan. Orang Laut atau Orang Bajau itu memiliki sistem kemasyarakatan yang mirip dengan orang daratan. Seperti digambarkan oleh Lapian (2009, 91), misalnya, mereka membedakan tiga tingkat kemasyarakatan: mataan, pagmundah, dan dakampungan.
Mataan adalah unit yang paling kecil yang biasanya terdiri atas satu keluarga inti atau keluarga batih. Beberapa mataan membentuk suatu pagmundah dan beberapa buah pagmundah membentuk sebuah dakampungan. Ketika kapal atau perahu-perahu Bajau mendarat beramai-ramai di suatu pantai, itu biasanya dilakukan oleh sebuah dakampungan.
Selain Orang Bajau, Indonesia sebetulnya juga memiliki Orang Sangihe sebagai Orang Laut. Suku Sangihe atau Orang Sangir merupakan suku bangsa yang berasal dari Kabupaten Sangir Talaud, Sulawesi Utara. Masyarakat Sangir juga terkenal dengan budaya baharinya.
Seperti ditulis Dedi S Adhuri (2020), masyarakat pesisir di Sangihe Talaud mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan perairan pesisir tempat mereka hidup. Mereka mengidentifikasi daerah penangkapan ikan dengan nama yang juga menunjukkan keakraban mereka dengan karakteristik ekosistem tersebut.
Baca juga: Kurator Pencerahan
Orang Laut seperti suku Bajau dan Orang Sangir itu disebut oleh Adhuri sebagai ”pemangku kebudayaan maritim Indonesia yang sebenar-benarnya”. Mereka adalah pilar pertama dan utama dari budaya bahari Indonesia. Sayangnya, mereka tak mendapatkan ekosistem yang baik untuk bisa mengembangkan budaya maritim itu.
Orang Laut semakin ”mendarat” karena tidak ada masa depan lagi di lautan. Kehidupan di laut bahkan bisa lebih ganas daripada hukum rimba. Tidak ada aturan di sana karena kita tak tahu atau tak peduli atau cenderung acuh tak acuh. Ini bisa dilihat dengan merebaknya coastal dan marine grabbing.
Wilayah yang dulu menjadi tempat hidup Orang Laut itu kini sudah hampir semuanya dikapling-kapling atau menjadi tempat pertambangan. Sebagian menjadi reklamasi pantai, perkebunan kelapa sawit, dan ada juga yang menjadi konservasi laut yang mengeksklusi orang mengaksesnya. Orang Laut harus pergi jauh untuk mendapatkan ikan yang jumlahnya sudah semakin sedikit.
Paradigma kita juga lebih condong melihat laut sebagai komoditas atau pembangunan yang berbasis high-tech dan mega-constructions. Pendekatan maritim kita masih memandang laut secara hard sciences dan model pembangunannya dilakukan dengan technocratic agency approach, bukan pendekatan budaya. Cara itu menempatkan Orang Laut dan komunitas laut selalu berada di posisi marjinal.
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)