Seni tradisi yang mengakar dalam kehidupan masyarakat berfungsi sebagai hiburan sekaligus transfer nilai-nilai dari generasi lama ke generasi baru. Namun, nasib seni ini kian tak menentu di tengah kehidupan modern.
Oleh
Redaksi Kompas
·3 menit baca
Di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang semakin maju, seni tradisi justru melemah. Perlu upaya bersama yang serius dan berkelanjutan untuk melestarikan kekayaan budaya itu.
Seni tradisi dapat dimaknai sebagai segala bentuk kesenian yang berbasis tradisi dan menjadi bagian dalam kehidupan di masyarakat. Perwujudannya bisa beragam, mulai dari seni tari, pertunjukan, rupa, sampai seni suara. Sebut saja antara lain berokan, sintren, tari rudat, jaran lumping, dan genjring akrobat asal Cirebon, Jawa Barat; atau sampyong, buleng, lenong dines, dan gambang klasik asal Betawi di Jakarta dan sekitarnya.
Indonesia memiliki kekayaan seni tradisi sesuai dengan keragaman suku, ras, dan budaya di berbagai wilayah di Nusantara. Seni ini menjadi wahana untuk merangkum dan mentransfer nilai-nilai komunal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai itu mengambarkan pandangan hidup, keagamaan, dan estetika.
Namun, ketika kehidupan bangsa Indonesia kian maju, seni tradisi justru melemah. Gejala kemunduran paling mutakhir terutama terlihat selama pandemi Covid-19 menghantam Indonesia tahun 2020 sampai 2022. Pembatasan sosial bersekala besar (PSBB) membatasi pentas seni di ruang publik. Para seniman kehilangan kesempatan untuk tampil di depan khalayak ramai.
Ketika pandemi bertransisi menjadi endemi, maka pembatasan sosial melonggar dan aktivitas ekonomi mulai bergerak pulih. Namun, seni tradisi, terutama seni pertunjukan, tidak kunjung bangkit. Pentas-pentas masih sangat minim. Akibatnya, sebagaimana catatan Kemendikbudristek, 99,51 persen pelaku budaya mengalami penurunan penghasilan.
Kondisi kian parah karena bantuan pendanaan dari pemerintah pusat dan daerah kurang dapat diandalkan karena kebijakan rentan berubah sesuai dinamika politik serta dipengaruhi sentimen publik. Saat bersamaan, masyarakat kian mudah untuk mengakses seni modern yang lebih atraktif, terutama lewat media sosial.
Kondisi ini memprihatinkan. Jika dibiarkan berlarut, seni tradisi sebagai kekayaan budaya akan kian tenggelam, bahkan hilang, hanya tersisa riwayatnya saja. Kita perlu mengambil langkah-langkah serius, bersama, dan berkelanjutan untuk melestarikan seni tradisi.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat mengembangkan skema untuk menyokong seni tradisi melalui berbagai program, seperti hibah, penghargaan, atau sponsor untuk kegiatan seni terpilih. Saat bersamaan, para seniman dituntut untuk lebih kreatif dan bertransformasi dalam medium baru, khususnya media digital yang kian strategis sebagai panggung baru. Giatkan produksi seni dalam bentuk media digital, unggah di media sosial, sehingga lebih gampang diakses publik.
Para seniman juga didorong untuk memperkuat jejaring seni di jagat internasional. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga sosial masyarakat menyokong dari belakang. Jika menembus kancah global, seni tradisi juga bakal mendapatkan ruang pentas yang lebih luas. Potensi sokongan pendanaan pun lebih terbuka.
Pelestarian itu sejalan dengan aspirasi publik sebagaimana hasil jajak pendapat Kompas pada 18-20 September 2023. Mayoritas (97,3 persen) responden menilai seni tradisi perlu dilestarikan. Persepsi ini tidak hanya berlaku bagi responden di perdesaan, tetapi juga responden di perkotaan (Kompas, 26 September 2023).