Belenggu Reforma Agraria
Setelah lebih dari sewindu, reforma agraria 9 juta hektar dalam visi nawacita dan Visi Indonesia Maju menemui berbagai hambatan. Konflik agraria terus meletup dan kian bergelombang.

Ilustrasi
Terjadi pergeseran reforma agraria dari redistribusi ke sekadar legalisasi sehingga upaya reformasi agraria tak benar-benar bekerja dalam mengurai ketimpangan untuk mencapai keadilan agraria. Reforma agraria terus terbelenggu setidaknya oleh enam benalu hambatan.
Pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), reforma agraria (RA) jadi program prioritas kelima dan kedaulatan pangan menjadi program prioritas ketujuh Nawacita dan program prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Kedaulatan pangan dan reforma agraria kemudian dilanjutkan pada periode kedua pemerintahan Jokowi dalam Visi Indonesia Maju dan RPJMN 2020-2024. Presiden meyakini bahwa reforma agraria bisa mengatasi kemiskinan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023, jumlah penduduk miskin di Indonesia 25,90 juta atau sekitar 9,36 persen total penduduk. Angka ini lebih kecil dibanding September 2022, dan merupakan angka kemiskinan terendah yang pernah ada.
Di tengah perkembangan positif ini, hal yang harus menjadi perhatian ialah besarnya jumlah penduduk miskin di perdesaan. BPS menyebut angka kemiskinan terbanyak tersebar di wilayah perdesaan, yakni 14,38 juta orang, sedangkan di perkotaan 11,98 juta orang.
Salah satu faktor yang melatari adalah adanya ketimpangan penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan tanah yang dihadapi petani dan masyarakat di perdesaan. Survei Pertanian Antar Sensus (2018) menunjukkan bahwa rumah tangga petani gurem (dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar) di Indonesia berjumlah 15,80 juta atau hampir 60 persen. Angka ini mengalami kenaikan 10,95 persen dibandingkan tahun 2013 yang angkanya 14,24 juta.
Setelah lebih dari sewindu, reforma agraria 9 juta hektar dalam visi nawacita dan Visi Indonesia Maju menemui berbagai hambatan. Konflik agraria terus meletup dan kian bergelombang.
Potret demikian sebetulnya telah berlangsung empat dekade terakhir. Hal ini tecermin dari rasio gini kepemilikan tanah empat dasawarsa terakhir yang berfluktuasi pada rentang 0,50-0,72. Angka ini menunjukkan ketimpangan yang sangat tinggi, yaitu 1 persen rakyat Indonesia menguasai 72 persen tanah. Ketimpangan curam ini hanya bisa diurai melalui reforma agraria.
Setelah sewindu
Secara garis besar, program reforma agraria di masa pemerintahan Jokowi menargetkan redistribusi tanah seluas 9 juta hektar. Ini meliputi target legalisasi aset 4,5 juta hektar (3,9 juta hektar sertifikasi dan 0,6 juta hektar tanah transmigrasi) dan redistribusi tanah 4,5 juta hektar (4,1 juta hektar pelepasan kawasan hutan dan 0,4 juta hektar eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara lainnya).
Setelah lebih dari sewindu, reforma agraria 9 juta hektar dalam visi nawacita dan Visi Indonesia Maju menemui berbagai hambatan. Konflik agraria terus meletup dan kian bergelombang.
Dalam rangka mengurai itu, di awal 2022 pemerintah sempat melakukan gebrakan dengan mengumumkan pencabutan dan evaluasi terhadap 2.078 izin pertambangan, 192 izin kehutanan (3.126.439 hektar), dan 137 izin perkebunan (34.448 hektar). Kebijakan ini dilakukan karena izin yang diterbitkan tidak dijalankan, tidak produktif, dan bahkan dialihkan kepada pihak lain.
Kebijakan itu layak diapresiasi meski secara pelaksanaan teknis menemui segudang kendala. Sistem Informasi Geografis Tanah Obyek Reforma Agraria (SIG-TORA) pada 13 September 2023 menunjukkan capaian legalisasi lebih besar daripada redistribusi tanah.
Redistribusi tanah yang berasal dari tanah eks HGU, tanah telantar, dan tanah negara lainnya terealisasi seluas 1,33 juta hektar. Adapun yang berasal dari pelepasan kawasan hutan baru tercapai seluas 0,348 juta hektar atau 8,51 persen saja sehingga total redistribusi baru sekitar 1,67 juta hektar atau 35 persen dari target 4,5 juta hektar.
Capaian itu berbanding terbalik dengan realisasi legalisasi yang sudah menyentuh angka 8,97 juta hektar dari target 4,5 juta hektar. Data ini kian menunjukkan pergeseran reforma agraria dari redistribusi ke sekadar legalisasi sehingga reformasi agraria saat ini sesungguhnya tak benar-benar bekerja dalam mengurai ketimpangan untuk mencapai keadilan agraria.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F09%2F05%2F74950771-193e-4f94-af86-72e8f1a5d327_jpeg.jpg)
Presiden Joko Widodo berdialog dengan dua warga penerima lahan reforma agraria. Kamis (5/9/2019), di Taman Digulis Pontianak, pemerintah menyerahkan lahan dari tanah objek reforma agraria (TORA) seluas lebih dari 19.000 ha kepada 760 penerima di Kalimantan.
Kekhawatiran itu juga telah terungkap dalam dua kali rapat terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi bersama Gerakan Reforma Agraria di Istana Negara (23/11/2020 dan 3/12/2020). Rapat membahas evaluasi pelaksanaan reforma agraria dan percepatan penyelesaian konflik agraria yang dimulai sejak 2014, termasuk untuk mendorong kinerja Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
Secara garis besar, Presiden memerintahkan untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dengan target paling sedikit 50 persen dari total usulan masyarakat, melindungi petani dari upaya kriminalisasi dan intimidasi, serta membentuk tim bersama beranggotakan kementerian/lembaga (K/L) dan organisasi masyarakat sipil.
Sebagai kelanjutan dari arahan Presiden, pada 29 Januari 2021 Kepala Staf Kepresidenan RI menandatangani Surat Keputusan Nomor 1B/T Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria (Tim Percepatan) Tahun 2021.
Tim dipimpin Kepala Staf Kepresidenan RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Dalam menunjang kerja Tim Percepatan, pada 12 Maret 2021 Kepala Staf Kepresidenan RI mengirimkan surat permohonan kepada Panglima TNI dan Kepala Polri untuk membantu memberi perlindungan keamanan, menjaga kondusivitas di lapangan, serta mencegah terjadinya upaya kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga pada kasus/lokasi yang sedang dalam proses penyelesaian.
Kerja tim juga diperkuat dengan Surat Menteri Dalam Negeri RI Nomor 591/4819/SJ perihal Dukungan Penanganan Konflik Agraria pada Kasus/Lokasi Prioritas Tahun 2021 yang dikirimkan kepada 18 gubernur dan 61 bupati/wali kota.
Masih banyak upaya intimidasi, kriminalisasi, dan diskriminasi hukum yang dialami petani.
Sementara itu, kondusivitas lapangan dan perlindungan petani di lokasi konflik agraria belum berjalan sesuai harapan Presiden. Masih banyak upaya intimidasi, kriminalisasi, dan diskriminasi hukum yang dialami petani. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung dalam maraknya pemanggilan dari pihak yang berwajib kepada petani yang dirundung konflik agraria.
Pada kanal penguatan kebijakan, penyempurnaan Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria belum juga rampung. Sementara proses revisi PP Nomor 72/2010 tentang Perum Perhutani juga belum berjalan sebagaimana mestinya walaupun sudah ada Surat Keputusan (SK) Menteri LHK Nomor 287/2022 tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus.
Latar pengesahan SK ini mesti dipahami untuk mengurangi sebagian areal pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani untuk reforma agraria. Bukan melanggengkan tanah yang sudah dikelola rakyat untuk tetap menjadi kawasan hutan.
Putaran terakhir
Situasi dan kondisi demikian menunjukkan bahwa reforma agraria terus terbelenggu setidaknya oleh enam ragam hambatan yang ditemui. Pertama, benalu keinginan politik. Belum ada keinginan yang kuat dari K/L terhadap tugas, tujuan, dan target reforma agraria yang diarahkan Presiden.
Kedua, benalu administrasi. Kompleksitas peraturan dan teknis administrasi dijadikan alat memperlama proses penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan reforma agraria.
Ketiga, benalu kerumitan birokrasi. Sektoralisasi dalam penanganan konflik agraria membuat percepatan penyelesaian konflik agraria di masing-masing K/L hanya dijalankan pejabat setingkat direktur yang memiliki kewenangan dan koordinasi yang sangat terbatas.
Keempat, benalu dukungan pemda. Peran pemda belum mendukung reforma agraria secara penuh. Bahkan, di beberapa daerah justru menghambat redistribusi tanah ke petani. Hal ini dapat ditilik dari kinerja GTRA yang belum terbentuk di setiap provinsi/kabupaten/kota. Demikian juga pelibatan organisasi petani sebagai representasi subyek TORA di GTRA masih amat terbatas.

Supriyanto
Kelima, benalu anggaran yang tak tersedia. K/L terkait selalu mendasarkan anggaran sebagai faktor utama konflik agraria lambat terselesaikan. Ini bahkan tak bisa terurai meski reforma agraria jadi prioritas nasional.
Keenam, perlawanan korporasi. Meskipun beberapa pihak telah mengungkapkan ketidakpuasan terhadap reforma agraria yang berlangsung saat ini, korporasi boleh jadi memandang justru apa yang dilakukan pemerintah saat ini merugikan mereka. Pada posisi inilah terjadi arus balik dari reforma agraria yang sejati menjadi sekadar formalitas.
Pendapat itu dibuktikan dengan pelemahan melalui paket ekonomi pada periode pertama, dan omnibus law UU Cipta Kerja pada periode kedua. Berdasarkan itu, untuk mengukir jejak reforma agraria yang lebih tampak di putaran terakhir ini, Presiden harus memimpin langsung pelaksana reforma agraria dan percepatan penyelesaian konflik agraria. Dengan demikian, mengandung kepemimpinan yang konkret untuk menentukan keputusan, serta dapat melakukan terobosan atau upaya percepatan. Presiden juga akan lebih kuat memberikan pemahaman terhadap tugas, tujuan, dan target percepatan penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria.
Baca juga : Reforma Agraria Belum Berpihak kepada Petani
Angga Hermanda Ketua Bidang Kajian dan Diklat Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)