Tragedi Teknologi Pembelajaran Jarak Jauh
Prinsip-prinsip baru diperlukan agar pengembangan dan penggunaan ed-tech lebih humanistik. Sekolah dan pembelajaran tatap muka harus dijamin bahkan ketika teknologi semakin maju dan konektivitas menjadi lebih luas.
Penutupan sekolah dan perpindahan mendadak ke kelas daring di seluruh dunia saat pandemi merupakan eksperimen terbesar teknologi pembelajaran jarak jauh (ed- tech). Apa hasil dari eksperimen raksasa hampir dua tahun ini? Sesuaikah dengan optimisme para pendukung ed-tech? Benarkah ed-tech adalah bagian utama ketahanan pendidikan?
Pada masa euforia kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk pendidikan seperti sekarang ini, refleksi seperti ini sangat penting.
Sekolah sering dikritik sebagai institusi yang konservatif yang pada abad ini harus diganti total. Contoh dari berbagai kritik yang sering disampaikan adalah kekakuan sekolah, pelajar diharuskan mendatangi sekolah, duduk di kelas yang sama dengan anak seusia, belajar materi yang sama dengan kecepatan yang sama.
Teknologi pembelajaran dari radio, TV, film, dan kini daring, di kalangan pendukung ed-tech dipercaya menjadi jawaban jitu atas berbagai kelemahan ini.
Mimpi para pendukung ed-tech sekolah akan menjadi sejarah, semua bisa digantikan dengan teknologi.
Refleksi lengkap atas percobaan raksasa ed-tech selama masa pandemi dapat kita baca pada laporan terbaru UNESCO, ”An Ed-tech Tragedy? Educational Technologies and School Closures in the Time of COVID-19”, September 2023. Laporan ini menyintesis sekitar 1.300 hasil penelitian dan lebih dari 200 suara di lapangan, yang merupakan kutipan dari guru, siswa, orangtua, serta dari berbagai pakar, pemimpin, dan pemikir pendidikan.
Paling tidak ada tiga kelompok besar kelemahan atau tragedi yang tercatat.
Pertama, ketimpangan dan kualitas pembelajaran. Laporan menunjukkan bahwa ketergantungan pada ed-tech yang berlebihan selama pandemi menyebabkan tragedi ed-tech, yakni ketimpangan yang ”mencengangkan” di seluruh dunia.
Meskipun pembelajaran daring memungkinkan kelanjutan pendidikan bagi banyak pelajar, sangat banyak siswa yang sama sekali tidak dapat mengakses.
Laporan menunjukkan bahwa ketergantungan pada ed-tech yang berlebihan selama pandemi menyebabkan tragedi ed-tech, yakni ketimpangan yang ”mencengangkan” di seluruh dunia.
Hasilnya justru eksklusi meningkat dan kesenjangan melebar. Sementara prestasi siswa juga terbukti menurun, bahkan juga bagi mereka yang memiliki akses pembelajaran jarak jauh.
Kedua, keutuhan pengalaman belajar dan hak asasi. Pengalaman pendidikan selama penggunaan ed-tech menyempit, hanya terfokus pada akademis. Kesehatan fisik dan mental siswa dan guru menurun. Berbagai keluhan sakit kepala, leher, mata, hingga penambahan berat badan dilaporkan di mana-mana!
Selama pembelajaran daring yang masif, otomatisasi menggantikan interaksi manusiawi dengan pengalaman yang dimediasi mesin.
Selain itu, privatisasi pendidikan terjadi semakin cepat sehingga mengancam pendidikan yang bersifat publik dan merupakan hak asasi manusia. Masa pandemi ditandai dengan meroketnya beberapa perusahaan teknologi dan perusahaan rintisan. Bahkan istilah ed-tech sejak awal otomatis menyiratkan manfaat, berhubungan erat dengan kewirausahaan, start up, penggalangan dana, modal ventura, dan privatisasi.
Pengawasan yang invasif dengan berpindahnya ruang kelas sedunia ke platform mengancam pertukaran gagasan yang bebas dan terbuka, serta mengurangi trust (kepercayaan).
Dibandingkan kontak daring, hubungan guru-murid langsung menghasilkan kepercayaan yang lebih besar, dan lebih mudah saling memaafkan apabila ada masalah.
Ketiga, penambahan produksi gawai dan akhirnya sampah elektronik meningkatkan tekanan pada lingkungan. Peningkatan besar kebutuhan dan penggunaan gawai memerlukan listrik, yang sebagian besar bersumber dari bahan bakar fosil.
Selama pandemi ini, emisi gas rumah kaca terkait teknologi digital meningkat di seluruh dunia. Alih-alih memfasilitasi masa depan yang lebih bersih dan ramah lingkungan, ed-tech memberikan tekanan ekologis tambahan.
Hikmah dari tragedi
Aristoteles mendefinisikan tragedi sebagai jenis drama yang menegaskan bahwa penderitaan, kemalangan, dan perbedaan dari tujuan yang direncanakan harus mengarahkan pada hikmah, bagi pihak yang terlibat langsung ataupun tidak langsung. Jadi, pada tragedi ed-tech pun, hikmah atas tragedilah yang harus kita cari.
Kita melihat bahwa harapan ed-tech yang tinggi terbukti terlalu optimistis. Namun, perubahan mendadak dan mendalam yang disebabkan oleh penggunaan ed-tech terus memengaruhi sektor pendidikan, bahkan ketika sekolah telah dibuka kembali sepenuhnya.
Dari berbagai analisis, jelas bahwa prinsip-prinsip baru diperlukan agar pengembangan dan penggunaan ed-tech lebih humanistik. Sekolah dan pembelajaran tatap muka harus dijamin bahkan ketika teknologi semakin maju dan konektivitas menjadi lebih luas.
Pemerintah perlu mendasarkan jaminan ini pada arsitektur hukum yang menjunjung tinggi hak atas pendidikan, khususnya bagi siswa di kelas-kelas awal.
Selain itu, penerapan ed-tech di masa depan harus menunjukkan kepedulian yang lebih besar terhadap kesejahteraan siswa secara utuh. Meskipun pembelajaran akademis merupakan hal yang penting dalam pendidikan, pembelajaran akademis bukanlah satu-satunya komponen.
Teknologi pendidikan perlu mendukung berbagai tujuan pendidikan individu dan kolektif, mulai dari pengembangan sosio-emosional dan pribadi hingga pembelajaran untuk hidup bersama, dengan planet ini, serta dengan teknologi. Hal ini sesuai dengan visi Pendidikan UNESCO 2050.
Kita semua harus memainkan peran yang lebih tegas dalam mengarahkan digitalisasi pendidikan.
Komunitas pendidikan dapat —dan harus—bergerak lebih dari sekadar reaktif terhadap perubahan teknologi. Kita semua harus memainkan peran yang lebih tegas dalam mengarahkan digitalisasi pendidikan.
Teknologi apa pun harus digunakan untuk memfasilitasi pendidikan yang lebih holistik untuk membentuk masa depan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan bagi semua.
Telah kita catat berbagai konsekuensinya karena perpindahan terburu-buru ke daring, akibat tidak ada pilihan, saat pandemi. Pelajaran ini mesti kita jadikan acuan. Banyak perusahaan ed-tech kini mulai menerapkan AI dalam skala besar untuk keperluan pendidikan.
Mestinya mereka harus memperhitungkan berbagai risiko dan konsekuensi yang dapat ditimbulkan pada masa depan anak. Perlukah buru-buru dan langsung dalam skala besar? Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian kerugian.
Baca juga : Pembelajaran Jarak Jauh Bikin Siswa Jenuh, Guru Dituntut Variatif
IsmunandarDuta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO dan Anggota AIPI