Solusi Internasional dan Domestik Kenaikan Harga Beras
Indonesia sebagai negara dengan paradigma politik internasional yang bebas aktif seharusnya bisa meningkatkan peran untuk menghadirkan perdamaian atau paling tidak menghentikan penggunaan pangan sebagai alat perang.
Dalam sambutan pada Dies Natalis Ke-60 IPB University, 15 September 2023, Presiden Joko Widodo menyinyalir ada 19 negara yang sudah membatasi ekspor pangan demi menyelamatkan kepentingan domestik mereka.
Presiden juga mengungkapkan, kebijakan penghentian ekspor beras India baru-baru ini telah menyebabkan kenaikan harga beras dunia. Indonesia terkena imbasnya, impor beras untuk memperkuat cadangan strategis beras menjadi sulit dilakukan.
Dampak perang Rusia-Ukraina
Walaupun Presiden tidak menghubungkan langsung kenaikan harga beras domestik dengan konflik Rusia-Ukraina, data kenaikan harga beras DKI Jakarta sebagai barometer harga beras nasional menunjukkan benang merah yang tebal antara perang Rusia-Ukraina dan kenaikan harga beras di Indonesia.
Pada 17 Juli 2023, Rusia kembali menggunakan pangan sebagai senjata untuk menaklukkan Ukraina dengan membatalkan perjanjian biji-bijian Laut Hitam (The Black Sea Grain Initiative/BSGI). Dampak dari batalnya perjanjian ini tampak jelas dalam perubahan harga beras di Indonesia.
Pada pekan kedua Mei sampai Juli 2023—saat BSGI masih berlaku—harga beras di DKI relatif stabil pada level Rp 14.500 per kilogram. Dengan tak diperpanjangnya BSGI oleh Rusia, harga beras di DKI mulai merangkak naik signifikan.
Merujuk Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga beras setiap pekan naik rata-rata Rp 130 per kilogram selama periode awal Agustus hingga pekan kedua September, yakni dari Rp 14.550 per 1 Agustus menjadi Rp 15.200 pada pekan kedua September 2023.
BSGI diratifikasi pada Juli 2022. Kesepakatan ini lahir untuk memperlancar pergerakan biji-bijian dari Ukraina ke negara-negara Asia dan Afrika yang membutuhkan pangan tersebut. Rusia menilai BSGI dalam implementasinya tak bertujuan untuk membantu negara-negara miskin yang menghadapi kelaparan.
Indonesia terkena imbasnya, impor beras untuk memperkuat cadangan strategis beras menjadi sulit dilakukan.
Memang benar sejak BSGI diratifikasi tercatat total 32,8 juta biji-bijian telah dikirim dari Ukraina. Namun, kebijakan ini ternyata lebih menguntungkan negara-negara maju dan berpenghasilan tinggi di Eropa (Spanyol, Italia, Jerman, Belanda, Perancis) dan China.
Menurut Rusia, yang diuntungkan dari kesepakatan tersebut adalah Eropa, bukan negara-negara miskin yang ada di kawasan Asia dan Afrika yang sesungguhnya menjadi target dari ratifikasi BSGI tersebut.
Rusia juga menilai bahwa pengiriman produk gandum dari Ukraina merupakan bagian dari usaha Barat, khususnya Uni Eropa, untuk mendanai pembelian senjata militer oleh Ukraina selama konflik. Pendapatan Ukraina dari ekspor tersebut telah digunakan untuk membeli senjata dari Barat.
Oleh karena itu, pada 17 Juli 2023 Rusia menarik diri dari BSGI, yang berkonsekuensi pemboikotan pergerakan bahan pangan dari Ukraina melalui Laut Hitam. Bahkan lebih dari itu, Rusia membombardir tempat-tempat yang menjadi gudang pasokan dan infrastruktur ekspor biji-bijian penting Ukraina setelah Rusia menyatakan diri keluar dari BSGI.
Sebagai pemasok penting biji-bijian global dan penyedia mayoritas biji-bijian ke Afrika Timur dan Selatan, gangguan Rusia terhadap ekspor biji-bijian Ukraina menyebabkan gangguan terhadap pasokan biji-bijian dunia.
Pasar biji-bijian dunia adalah pasar yang tipis. Hanya sekitar 10 persen produksi negara-negara penghasil biji-bijian dunia yang diperjualbelikan di pasar internasional. Oleh karena itu, tak diperpanjangnya BSGI oleh Rusia tentu saja berdampak melambungkan harga gandum dengan Rusia dan Ukraina adalah eksportir utamanya.
Sebagai dampak lanjutannya, harga beras dunia juga ikut melambung walaupun Rusia dan Ukraina bukan negara eksportir beras. Hal ini terjadi karena konsumen gandum dunia beralih membeli beras, sebagai imbas dari kesulitan mendapatkan gandum di pasar internasional.
Dampak ikutan lain adalah negara-negara eksportir beras dan gandum menjadi protektif. Mereka enggan melepaskan produk pangan mereka ke pasar dunia sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya krisis pangan. Hal itu juga berimbas pada harga beras di pasar dunia, yang juga ikut-ikutan melambung.
Negara-negara eksportir beras dunia, seperti India, Thailand, dan Vietnam, melarang beras mereka dijual di pasar dunia. Hal itu ditujukan untuk menjaga kecukupan pangan di dalam negeri mereka sendiri, di tengah panic buying yang melanda dunia untuk bahan pangan.
Kita bisa merujuk pada pengalaman 2007-2008, yakni kegagalan panen di sejumlah negara produsen pangan dan naiknya harga energi telah menghadirkan perpaduan dari panic buying negara importir beras seperti Filipina dan tindakan protektif negara-negara produsen beras seperti India dan Vietnam. Akibatnya, harga beras di pasar dunia naik lebih dari dua kali lipat saat itu.
Fenomena tersebut terulang lagi saat ini dengan pemantik yang berbeda, yakni perang Rusia-Ukraina.
Penggunaan pangan sebagai senjata oleh Rusia telah berimbas ke seluruh dunia. Indonesia merasakan dalam bentuk kenaikan harga beras yang signifikan sejak awal Agustus hingga September 2023.
Peran aktif
Di sini perlu digarisbawahi pentingnya Indonesia berperan aktif mencegah terjadinya bencana kemanusiaan akibat krisis pangan global yang dipicu penggunaan pangan sebagai senjata oleh Rusia.
Larangan terhadap blokade pangan sesungguhnya telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional. Salah satu instrumen hukum yang mencakup larangan tersebut adalah Pasal 54 Protokol Tambahan I (Additional Protocol I) dari Konvensi Geneva tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional.
Dinyatakan dalam pasal tersebut bahwa pihak dalam konflik bersenjata tak dapat menghalangi pasokan makanan dan barang-barang penting lain yang dipersyaratkan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil, termasuk anak-anak baru lahir yang belum selesai menyusui, dan perawatan medis yang diperlukan penduduk sipil yang bergantung pada perawatan tersebut karena keadaan yang tak dapat dihindari sebagai akibat dari konflik bersenjata.
Di sini perlu digarisbawahi pentingnya Indonesia berperan aktif mencegah terjadinya bencana kemanusiaan akibat krisis pangan global yang dipicu penggunaan pangan sebagai senjata oleh Rusia.
Indonesia sebagai negara dengan paradigma politik internasional yang bebas aktif seharusnya bisa meningkatkan peran untuk menghadirkan perdamaian atau paling tidak menghentikan penggunaan pangan sebagai alat perang dalam konflik Rusia-Ukraina.
Sementara, dari sisi domestik, kita diingatkan kembali bahwa ketergantungan pada satu pangan pokok bisa berbahaya bagi keberlanjutan ketahanan pangan nasional.
Konsumsi pangan masyarakat yang beragam dan berbasis sumber daya lokal akan menjadi perangkat yang bisa memperlemah tsunami harga pangan dari pasar internasional ke pasar domestik.
Semakin kita mampu menghadirkan perilaku konsumsi pangan yang beragam dan bersifat lokal, semakin kita bisa selamat jika terjadi lonjakan harga pangan internasional.
Baca juga : Kelas Bawah Tanggung Kenaikan Harga Beras Terbesar
Andi IrawanGuru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu dan Ketua Bidang Kebijakan Publik Perhimpunan Akademisi dan Saintis Indonesia