Mencermati Polusi Udara Jakarta
Beberapa media internasional menobatkan Jakarta sebagai kota paling tercemar di dunia. Situs IQAir menyatakan kualitas udara di Jakarta berada dalam kategori tidak sehat dan tak layak hidup.
Jakarta adalah milik bersama. Sebagai ibu kota negara, keputusan politik Jakarta berhubungan dengan warga negara seluruh republik. Jakarta juga punya daya tawar tersendiri bagi aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya.
Meskipun demikian, Jakarta kini menjadi sorotan nasional dan global. Jakarta dinobatkan sebagai kota kotor karena polusi udara tinggi. Beberapa media internasional menobatkan Jakarta sebagai kota paling tercemar di dunia. Situs IQAir (11/8/2023) menyatakan kualitas udara di Jakarta berada dalam kategori tidak sehat dan tak layak hidup.
Berdasarkan situs tersebut, indeks kualitas udara di Jakarta mencapai angka 177 dengan polutan utamanya sebesar PM 2,5 dan nilai konsentrasi 105 mikrogram per meter kubik (m3). Itu artinya, kualitas udara di ambang petaka bagi manusia. Sejumlah analis kesehatan mengatakan kualitas udara dapat berakibat fatal bagi kesehatan tubuh manusia.
Terdapat banyak faktor penyebab. Namun, faktor paling dominan menurut data yang tersedia adalah transportasi umum dan pribadi berbahan bakar fosil atau bahan bakar minyak (BBM). Kendaraan berbahan bakar bensin dan solar menyumbang 32-57 persen terhadap tingkat PM 2,5. Namun, belum dapat ditentukan proporsi dari kendaraan di jalan raya dan emisi off-road, misalnya kendaraan logistik.
Sumber lainnya, nonkendaraan, menyumbang 17-46 persen terhadap udara ambien PM 2,5 di semua lokasi pengambilan sampel di kedua musim. Porsi ini sudah termasuk kontribusi dari sumber antropogenik, seperti pembakaran batubara, pembakaran terbuka, kegiatan konstruksi (nonpembakaran) dan debu jalan, juga sumber alam, seperti tanah dan garam laut.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menunjukkan bahwa transportasi paling dominan. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro menyebutkan, sektor transportasi merupakan faktor terbesar pencemaran udara di DKI Jakarta, yaitu sebesar 44 persen.
Studi Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Vital Strategies (2022) menyebutkan, asap knalpot kendaraan menjadi sumber utama polusi pada musim hujan ataupun musim kemarau. Pada musim hujan, emisi dari asap knalpot kendaraan berkisar 32-41 persen, sedangkan pada musim kemarau emisinya berkisar 42-57 persen.
Pesatnya jumlah kendaraan baru dan masih banyaknya kendaraan tua menyumbang polutan terbanyak. Saat ini terdapat lebih dari 25 juta kendaraan melintas di jalan-jalan Jakarta. Yang lebih miris, jumlah kendaraan bermotor meningkat pesat. Jumlah motor dan mobil di Jakarta meningkat 12 persen setiap tahun. Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta bertambah 5.500 hingga 6.000 kendaraan per hari. Sementara pengembangan jalan hanya sekitar 0,01 persen per tahun.
Jumlah kendaraan bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit. Angka itu didominasi kendaraan roda dua, yakni 13.084.372 unit. Diikuti mobil pribadi 3.226.009 unit, mobil barang 673.661 unit, bus 362.066 unit, dan kendaraan khusus 137.859 unit.
Sentralisasi pembangunan ekonomi dan politik membuat Jakarta sangat padat. Saat ini konsentrasi penduduk di Jakarta sudah lebih dari 15 juta. Prospek ekonomi yang begitu tinggi ternyata berbanding lurus dengan pertambahan jumlah penduduk tiap tahun. Ini tentu berkorelasi dengan tingginya konsumsi dan pembelian kendaraan roda dua dan roda empat berbahan bakar fosil.
Banyak pihak sekarang menyebutkan bahwa sumber polusi udara di Jakarta disebabkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau pembangkit dari batubara. Namun, itu hanya tuduhan tak berdasar. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK menyebutkan, emisi dari batubara hanya berkontribusi 0,42 persen terhadap polusi udara di Jakarta. Dua bahan bakar yang menjadi faktor penyebab terbesar adalah gas dengan 51 persen dan minyak sebesar 49 persen.
Selama masa pembatasan kegiatan kala pandemi Covid-19, terlihat kualitas udara di Jakarta menjadi lebih baik. Data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menunjukkan adanya penurunan emisi (PM 2,5) pada tahun 2020 hingga di angka 18,46 mikrogram per meter kubik (µg/m3).
Angka ini meningkat sebesar 191,4 persen, mencapai angka 53,8 µg/m3 pada 2022. Saat itu, pembatasan kegiatan masyarakat berangsur dilonggarkan.
Pembangkit PLN di sekitar wilayah DKI Jakarta tetap beroperasi normal selama pembatasan kegiatan masyarakat kala pandemi. Artinya, pembakaran batubara tidak signifikan sebagai penyebab polusi udara di Jakarta.
Tuduhan PLTU sebagai sumber polutan memang beralasan. Per radius 250 kilometer, Jakarta dikelilingi 16 PLTU milik PLN, produsen listrik swasta (IPP), ataupun milik kawasan industri. Untuk PLTU milik PLN ataupun IPP, PLN memastikan pengelolaan emisi di pembangkit-pembangkit tersebut sudah mematuhi standar. PLN memantau emisi secara real time dengan teknologi continuous emission monitoring system (CEMS).
Semua pembangkit PLN juga dilengkapi alat pengendali emisi, seperti low nox burner dan electrostatic precipitator (ESP) dengan tingkat efektivitas 99 persen. Hasil pengukuran emisi, baik SO2, NOx, dan partikulat secara keseluruhan rata-rata masih di bawah baku mutu lingkungan sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 15 Tahun 2019.
Meskipun demikian, sektor transportasi dan juga batubara memiliki andil dalam pencemaran udara di Jakarta. Hanya saja, kadar dan tingkat polusinya berbeda. Polusi dari sektor transportasi sangat besar, sedangkan batubara lebih kecil.
Diperlukan komitmen politik pemerintah untuk mengubah arah kebijakan transportasi Jakarta. Sebagai miniatur Indonesia, pengabaian Jakarta dengan sendirinya memperlihatkan potret buram wajah Indonesia.
Pada 2019, jumlah kendaraan di Jakarta tercatat 23.863.396 unit. Pada 2020 naik menjadi 24.266.996 unit. Kemudian, 25.263.077 unit pada 2021 dan 26.370.535 unit pada 2022. Tak sebanding dengan pengembangan jalan yang hanya sekitar 0,01 persen per tahun.
Kendaraan bertambah, moda transportasi juga bertambah seiring jumlah penduduk yang datang. Risiko selanjutnya adalah polusi udara akan menjadi alarm kematian bagi penduduk Jakarta.
Multisolusi
Upaya mengurangi polusi udara Jakarta tentu tak bisa satu cara. Sejumlah langkah konkret perlu ditempuh pemerintah untuk itu. Dalam jangka pendek, pemerintah melalui KLHK bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan kepolisian perlu melakukan uji emisi semua kendaraan bermotor dan mobil yang melintas di seluruh jalan Jakarta. Pemantauan perlu dilakukan secara berkala. Jika tidak lolos uji emisi, tidak bisa diperbolehkan melintas di jalan-jalan Jakarta.
Dalam jangka panjang, pemerintah pusat dan Pemprov DKI perlu memperbanyak transportasi umum dan melakukan kampanye besar-besaran agar masyarakat beralih menggunakan transportasi publik untuk berbagai aktivitas.
Ini tentu memerlukan desain besar kebijakan transportasi agar implementasinya tak terkendala. Transportasinya harus dipersiapkan matang, infrastruktur jalannya juga harus rapi. Ini juga penting untuk mengurangi kemacetan Jakarta. Kampanye kesadaran menggunakan transportasi publik harus dimulai dari pejabat negara pada berbagai tingkatan sampai masyarakat kelas bawah.
Solusi jangka panjang yang lain adalah mendorong pembangunan kendaraan listrik. Upaya mengurangi emisi kendaraan dapat dilakukan melalui strategi pengendalian polusi kendaraan yang komprehensif dan sinergis dengan menyasar perbaikan kualitas bahan bakar, standar pengendalian emisi, pengujian emisi wajib bagi semua kendaraan, teknologi alternatif (misalnya kendaraan hibrida atau listrik), dan pemeliharaan jalan.
Pengalihan penggunaan kendaraan konvensional ke kendaraan berbasis listrik sangat perlu didorong. Emisi kendaraan listrik lebih kecil dibandingkan dengan kendaraan berbasis fosil atau BBM.
Sebagai perbandingan, 1 liter BBM sama dengan 1,2 kWh listrik. Emisi karbon 1 liter BBM adalah 2,4 kilogram ekuivalen karbon dioksida (kg CO2e), sementara emisi karbon 1,2 kWh listrik adalah 1,3 kg CO2e. Itu artinya, kendaraan listrik sudah mengurangi hampir 50 persen emisi karbon.
Selain itu, kemudahan dan kenyamanan menggunakan motor listrik karena infrastruktur sudah mulai disiapkan, seperti stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), stasiun pengisian listrik umum, dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum tersebar di mana-mana.
PLN sebagai perusahaan penyedia jaringan telah menyediakan layanan home charging untuk memudahkan pengisian daya di rumah. PLN juga telah membangun ekosistem kendaraan listrik dalam Super Apps PLN Mobile. Dengan itu, masyarakat tak hanya bisa menemukan lokasi SPKLU dan mengakses infrastruktur pengisian daya lainnya, tetapi juga bisa membeli mobil listrik langsung melalui fitur lokapasar (marketplace).
Kini tinggal soal komitmen politik pemerintah. Apakah tetap menggunakan transportasi berbahan bakar fosil atau menuju transisi energi dengan kendaraan listrik untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang sudah terjadi.
Ferdy Hasiman Peneliti Alpha Research Database, Indonesia