Urbanisasi dan Transformasi Kota
Pemerintah hendaknya menyadari bahwa berbagai rencana strategi pengelolaan kota di tingkat nasional ataupun daerah harus bermuara pada satu visi yang sama, membangun kota masa depan yang layak huni dan berkelanjutan.
Urbanisasi menjadi tantangan pembangunan nasional dalam upaya mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.
Sebagian kalangan memandang urbanisasi sebagai beban pembangunan yang semakin kompleks untuk dibenahi seiring dengan semakin menguatnya daya tarik kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan layanan publik. Hal ini terungkap dalam Rapat Kerja Nasional XVI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Makassar, Juli 2023. Pandangan ini tak sepenuhnya benar karena urbanisasi dapat dimaknai sebagai modal penggerak potensi pertumbuhan sebuah kota.
Bank Dunia (2019) memublikasikan hasil studi berjudulTime to ACT: Realizing Indonesia’s Urban Potential yang mengupas persoalan urbanisasi di Indonesia beserta sejumlah rekomendasi kebijakan. Tujuannya agar Indonesia mampu memaksimalkan potensi urbanisasi guna membuka kunci pendorong pertumbuhan nasional yang lebih tinggi di masa depan, becermin pada keberhasilan strategi penataan urbanisasi di negara-negara berkembang di Asia (China, Thailand, dan Vietnam).
Bank Dunia juga mengungkapkan bahwa penataan urbanisasi telah menyebabkan kenaikan pertumbuhan PDB per kapita meski besarannya berbeda-beda di setiap negara. Mengapa? Alasannya tidak lain karena terdapat perbedaan strategi pengelolaan kota.
Substansi kajian Bank Dunia ini telah memunculkan pemikiran baru: ”Agar urbanisasi dapat mendorong pertumbuhan PDRB per kapita suatu kota, diperlukan pembenahan strategi pengelolaan perkotaan”. Oleh karena itu, strategi pengelolaan kota-kota di Indonesia harus segera diperbaiki.
Bank Dunia juga mengungkapkan bahwa penataan urbanisasi telah menyebabkan kenaikan pertumbuhan PDB per kapita meski besarannya berbeda-beda di setiap negara.
Pemerintah hendaknya menyadari bahwa berbagai rencana strategi pengelolaan kota di tingkat nasional ataupun daerah harus bermuara pada satu visi yang sama, yakni membangun kota masa depan yang layak huni (liveable) dan berkelanjutan (sustainable).
Misalnya, bagaimana menciptakan kota yang: (i) memiliki tingkat pertumbuhan tinggi karena masyarakatnya produktif, (ii) ramah investasi agar membuka lapangan kerja dengan upah riil memadai, (iii) menyediakan akses infrastruktur dan utilitas dasar, seperti jaringan gas dan air bersih, dengan harga rasional, (iv) membangun fasilitas publik dengan kualitas pelayanan selayaknya dan bukan seadanya, serta (v) menawarkan biaya hidup terjangkau dan stabil agar masyarakat dari berbagai status ekonomi tetap bisa tinggal di perkotaan.
Transformasi fundamental
Untuk membangun kota masa depan yang layak huni dan berkelanjutan, perlu transformasi fundamental tata kelola ekonomi perkotaan. Strategi pengelolaan kota yang semula mengikuti batasan administratif kewilayahan harus diubah agar mampu mengikuti tren perubahan aglomerasi ekonomi kota yang dinamis.
Munculnya kawasan metropolitan Jabodetabek adalah contoh hasil aglomerasi ekonomi antara kota setingkat provinsi (DKI Jakarta) dan kota ataupun kabupaten lain yang sebagian wilayahnya tumbuh pesat akibat urbanisasi (Bekasi, Bogor, Depok, dan Tangerang).
Seiring waktu, interdependensi ekonomi antarkota di kawasan metropolitan akan semakin menguat. Aglomerasi ekonominya kian meluas dan jauh menjangkau daerah lain melampaui batas administrasi kota-kota penyangganya. Di titik inilah persoalan baru akan muncul.
Meskipun otonomi daerah telah memberikan mandat kepada pemda untuk mengelola wilayah perkotaan, hasil pembangunan hari ini menunjukkan bahwa strategi pengelolaan kota sudah tak dapat lagi bergantung pada good political will dan good governance management dari individu pemimpin daerah semata.
Contohnya, belum ada satu pun kota di Indonesia yang memiliki jaringan terpadu distribusi air limbah sektor rumah tangga. Alih-alih membangun jaringan distribusi air limbah terpadu, mayoritas kota besar di Indonesia masih mengandalkan septic tank sebagai fasilitas pembuangan air limbah rumah tangga.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 41-47 telah mengatur mekanisme kerja sama antardaerah untuk mengatasi masalah lintas daerah, tetapi secara teknis ini tak mudah direalisasikan karena pembagian wewenang pemerintah daerah terikat aturan batas administrasi wilayah.
Implikasinya, strategi pengelolaan kota yang melibatkan penanganan lintas wilayah sering kali tak dapat dilakukan dengan efektif. Situasi ini menjustifikasi bahwa peningkatan kualitas pelayanan publik di perkotaan hanya bisa dilakukan ketika terdapat konsolidator yang berwenang penuh mengatur sistem dan menerapkan regulasi yang ada.
Otoritas khusus
Untuk itu, perlu kehadiran otoritas khusus untuk mengelola wilayah perkotaan dengan skala wewenang yang lebih luas—khususnya wilayah perkotaan yang sudah teraglomerasi menjadi kawasan metropolitan. Ruang lingkup otoritas khusus ini nantinya bersifat dinamis, mengikuti perubahan interdependensi ekonomi antarwilayah.
Ketika terdapat kota/kabupaten dengan skala aktivitas ekonomi yang besar-efisien-berpotensi menjadi sumber pertumbuhan baru di masa depan, kota/kabupaten itu dapat diaglomerasikan ke dalam kawasan metropolitan eksisting meski secara fisik wilayahnya saat ini berada di luar batas administratif.
Gagasan tentang otoritas khusus kawasan metropolitan bukanlah hal yang baru karena sudah sukses diterapkan oleh negara maju dan negara berkembang. Pengalaman internasional menunjukkan bagaimana tantangan pengelolaan kawasan metropolitan dapat diatasi melalui peran kelembagaan yang didukung UU dan peraturan nasional untuk mengoordinasikan penyediaan layanan perkotaan tanpa dihalangi aturan batas administrasi wilayah.
Praktik ini dapat ditemui di Inggris (Otoritas London Raya), Korea Selatan (Pemerintah Metropolitan Seoul), Jepang (Pemerintah Metropolitan Tokyo), dan Thailand (Administrasi Metropolitan Bangkok). Lebih jauh, keberadaan otoritas khusus akan lebih memungkinkan terakomodasinya kerja sama antarbidang dan koordinasi lintas wilayah antarinstitusi di tingkat pemerintah pusat dan daerah dalam upaya penyediaan fasilitas publik perkotaan yang berkualitas agar bisa dinikmati semua orang.
Meskipun demikian, kehadiran otoritas khusus kawasan metropolitan tak serta-merta membuat kerja sama dan koordinasi penyediaan fasilitas publik perkotaan menjadi mudah dilaksanakan.
Gagasan tentang otoritas khusus kawasan metropolitan bukanlah hal yang baru karena sudah sukses diterapkan oleh negara maju dan negara berkembang.
Perlu kehadiran institusi setingkat kementerian yang secara spesifik sanggup mengemban peran konsolidator dalam menyelesaikan permasalahan pembangunan dan pengelolaan perkotaan di tingkat nasional (misal, Kementerian Perumahan dan Pembangunan Perkotaan). Keberadaan kementerian sejenis telah dipraktikkan AS (US Secretary of Housing and Urban Development), Brasil (Ministry of Cities), Kolombia (Ministry of Housing, City, and Territory), Filipina (Department of Human Settlements and Urban Development), dan India (Ministry of Housing and Urban Affairs).
Kesemuanya dapat menjadi referensi praktis bagi Pemerintah Indonesia dalam merumuskan tugas dan fungsi kementerian yang secara spesifik menangani isu pembangunan perkotaan.
Pada akhirnya, penataan urbanisasi penting dilakukan untuk merealisasikan Visi Indonesia 2045 melalui percepatan pertumbuhan pendapatan per kapita.
Oleh karena itu, pemerintah perlu meyakinkan publik bahwa gagasan pembentukan otoritas khusus kawasan metropolitan serta Kementerian Perumahan dan Pembangunan Perkotaan bukanlah sekadar upaya menambah lembaga baru dalam struktur pemerintahan. Itu merupakan cara terbaik menata urbanisasi serta menyelesaikan berbagai tantangan pengelolaan perkotaan yang kompleks demi mewujudkan kota masa depan yang layak huni dan berkelanjutan.
Bambang PS BrodjonegoroGuru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia