Urgensi Pengembangan Lumbung Pangan
Untuk menghadapi krisis pangan, lahan suboptimal bisa diubah menjadi lahan pertanian yang produktif melalui penerapan teknologi secara berkelanjutan. Perlu sinergi banyak pihak berbasis perencanaan jangka panjang.
Food estate atau lumbung pangan merupakan program pemerintah dalam pengembangan pangan dan dilakukan dalam hamparan yang luas secara terintegrasi di suatu kawasan. Program ini masuk dalam salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.
Pengembangan food estate merupakan bentuk antisipasi yang dikembangkan pemerintah, menghadapi krisis pangan pada masa mendatang, sesuai prediksi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dalam Global Report on Food Crisis yang diterbitkan sejak beberapa tahun terakhir ini. Saat ini, program food estate dilaksanakan di beberapa daerah, antara lain Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
Setidaknya ada dua alasan utama kenapa pengembangan food estate perlu dilakukan. Pertama, berkaitan dengan pengembangan wilayah produksi pangan baru, dengan memanfaatkan keberagaman sumber daya yang dimiliki Indonesia. Pengembangan bahan pangan utama, dalam hal ini beras, jagung dan kedelai, selama ini masih terpusat di Jawa.
Baca Juga: ”Food Estate” dan Industri Pangan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 dan Laporan Tahunan Ditjen Tanaman Pangan pada 2023, selama tahun 2022, dari seluruh produksi padi di Indonesia yang mencapai 54,75 juta ton, sekitar 56,02 persen dihasilkan petani di Jawa. Sementara untuk jagung dan kedelai kontribusi Jawa berkisar 46,1 persen dan 70,9 persen.
Pesatnya pengembangan infrastruktur di Jawa, menyebabkan ancaman terhadap alih fungsi lahan pertanian pangan ke penggunaan lain semakin besar. Apalagi sekitar 84,31 persen petani sawah di Jawa, termasuk kategori petani gurem, dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar (BPS, 2018).
Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013, ada sekitar 5,04 juta rumah tangga petani yang terpaksa keluar dari pertanian, dan bagian terbesar dari mereka adalah petani gurem. Para petani ini terpaksa mengalihfungsikan lahannya dan keluar dari sektor pertanian.
Pada sisi lain, menilik perencanaan pembangunan jangka panjang 2025-2045 yang arahnya pada transformasi ekonomi, di mana, menurut Ari Kuncoro (Kompas, 18 Agustus 2023), transformasi tidak hanya diartikan sebagai pergeseran share sektor pertanian ke manufaktur dan seterusnya, tetapi juga diartikan sebagai pergeseran teknik produksi ke arah yang mempunyai nilai tambah dan produktivitas lebih tinggi. Maka, transformasi pertanian sempit di Jawa, arahnya akan banyak pada pengembangan komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, dan itu ada pada tanaman hortikultura. Dengan kondisi ini, maka ancaman keberlanjutan usaha tani tanaman pangan di Jawa semakin besar.
Alasan kedua, masih terbuka pemanfaatan lahan suboptimal di luar Jawa bagi pengembangan tanaman pangan. Lahan suboptimal, dalam hal ini lahan kering dan lahan rawa, adalah lahan yang secara alamiah mempunyai produktivitas rendah karena faktor internal, antara lain karena kondisi bahan induk tanah, dan eksternal seperti iklim. Rendahnya produktivitas pada lahan suboptimal, juga karena terbatasnya penguasaan teknologi tata kelola air dan teknik budidaya.
Alasan kedua, masih terbuka pemanfaatan lahan suboptimal di luar Jawa bagi pengembangan tanaman pangan.
Berdasarkan hasil penelitian Mulyani dan Sarwani (2013), teridentifikasi ketersediaan lahan kering iklim kering seluas 13,3 juta hektar, sementara lahan rawa yang tersedia berupa rawa pasang surut seluas 11 juta hektar, lahan rawa lebak 9,2 juta hektar, dan lahan gambut 14,9 juta hektar. Dari 35,1 juta hektar lahan rawa yang bisa dikembangkan untuk pertanian, sekitar 14,18 juta hektar berpotensi untuk pengembangan budidaya padi sawah. Sampai saat ini, lahan rawa yang sudah dikembangkan untuk lahan sawah baru sekitar 6,77 juta hektar.
Kegiatan food estate di Sumba, NTT dan Keerom, Papua, dilaksanakan di lahan kering untuk usaha tani jagung. Sementara di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, diusahakan tanaman hortikultura, antara lain bawang merah, bawang putih, dan kentang. Food Estate di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dilaksanakan di lahan rawa, dengan tanaman utamanya padi.
Belajar dari sukses di Sumsel
Lahan suboptimal bisa diubah menjadi lahan pertanian yang produktif, melalui penerapan teknologi secara berkelanjutan. Salah satu contoh sukses dalam pemanfaatan lahan suboptimal adalah pengembangan lahan rawa di Sumatera Selatan. Di wilayah ini ada sekitar 1.602.490 hektar lahan rawa, yang terdiri dari lahan rawa pasang surut 961.000 hektar dan rawa nonpasang surut atau lebak 641.490 hektar. Dari lahan pasang surut yang berpotensi untuk pertanian, seluas 359.250 hektar sudah direklamasi. Lahan yang direklamasi tersebut sebagian besar diperuntukkan sebagai kawasan transmigrasi untuk tanaman pangan (Badan litbang Pertanian, 2000).
Pengembangan lahan pasang surut di Sumsel, awalnya dilakukan melalui serangkaian kegiatan berbasis riset, dan dilaksanakan bersamaan dengan penempatan transmigran di wilayah baru. Beberapa kegiatan itu, di antaranya Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa (SWAMP) I tahun 1982-1986 dan SWAMP II 1986-1992. Kemudian dilanjutkan melalui Integrated Swamp Development Project (ISDP) tahun 1994-1997, dan Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan (P2SLPS2) tahun 1998-2000.
Pelaksanaan seluruh kegiatan di atas dikoordinasikan Kantor Wilayah Departemen Pertanian pada masa itu, bersama pemerintah daerah. Demo plot dan demo farm ditangani Badan Litbang Pertanian dan perguruan tinggi, pelatihan petani oleh Dinas Pertanian Tingkat I dan Tingkat II. Sementara itu, pembangunan infrastruktur tata air oleh Dinas Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum. Peneliti dan penyuluh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian melakukan pengawalan dan pengawasan terhadap penerapan teknologi di lapang.
Baca Juga: Kegagalan dan Keberhasilan ”Food Estate”
Hasil proses kerja bersama ini baru memperlihatkan hasilnya, setelah lebih dari 20 tahun kerja berkelanjutan dan bersifat akumulatif dari waktu ke waktu. Hasil evaluasi di lokasi pengembangan lahan rawa di daerah Telang Karya dan Simomulyo, Kabupaten Musi Banyuasin pada Mei 2012, menunjukkan hasil padi rata-rata di wilayah ini mencapai 5 ton gabah kering panen per hektar, hampir sama dengan produktivitas di wilayah sentra padi di lahan irigasi di Jawa.
Keberhasilan ini mengantarkan Sumsel pada posisi lima besar penghasil beras di Indonesia pada 2022, dengan produksi padi mencapai 2,78 juta ton dan berkontribusi pada produksi nasional sebesar 5,07 persen (BPS, 2023). Kondisi ini jauh meningkat dibandingkan dengan pada 1988, di mana pada waktu itu produksi padi Sumsel masih sekitar 1,28 juta ton, dan kontribusinya secara nasional hanya 3,08 persen. Dari seluruh lahan sawah di Sumsel saat ini, sekitar 45,1 persen atau 212.426 hektar merupakan lahan pasang surut.
Berbasis riset yang akumulatif
Belajar dari keberhasilan pengembangan lahan suboptimal di Sumsel, maka pengembangan food estate di lahan kering dan rawa memerlukan tiga hal penting, yang pertama dan utama adanya petani yang mau dan siap untuk belajar. Basis pengembangan dapat dimulai dari apa yang telah diinisiasi masyarakat setempat, melalui berbagai kearifan lokal yang mereka miliki. Namun, itu saja tidak cukup. Diperlukan juga keterbukaan untuk menerima teknologi baru. Adanya warga pendatang yang lebih inovatif dapat menjadi stimulan bagi terjadinya perubahan.
Hal kedua, kegiatan dilakukan berbasis riset yang akumulatif dan dilanjutkan dengan kaji tindak dalam hamparan yang luas. Penelitian tentang lahan suboptimal untuk usaha tani tanaman pangan telah dilakukan sejak zaman Belanda. Menurut Nugroho (2012), penelitian tentang lahan gambut sebagai salah satu tipologi lahan rawa di Indonesia, dimulai sejak 1860-an oleh Bernelot Moens.
Sayangnya, upaya tersebut timbul-tenggelam karena berbagai alasan sehingga akumulasi pengetahuan dalam suatu siklus penelitian yang berkelanjutan belum terjadi. Pengembangan dalam bentuk kaji tindak pada hamparan yang luas, memerlukan pendampingan intensif yang berkelanjutan. Ini memerlukan dukungan pendanaan riset yang tahun jamak dan basis penilaian keberhasilannya tidak hanya publikasi di jurnal internasional, tetapi yang lebih penting adalah hasil kerja riil bersama petani.
Karena pengembangan food estate di lahan suboptimal ini akan melibatkan banyak pihak, maka hal yang ketiga dari sejak awal pengembangannya, diperlukan adanya orkestra yang baik, berbasis suatu grand design perencanaan jangka panjang. Semua ini tentu perlu dukungan pendanaan yang lumintu. Jangan diulang lagi berbagai kegagalan yang telah lalu karena semua berharap serba instan.
Erizal Jamal Dt Tumangguang, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP); Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)