Kesan mewah kuliner Indonesia terpancar dalam jamuan-jamuan kenegaraan. Namun, pada realitas keseharian masyarakat, kekayaan kuliner itu kontras dengan tren industri kuliner yang kebanyakan tidak berakar kuliner tradisi.
Oleh
FADLY RAHMAN
·4 menit baca
Kemewahan kuliner Indonesia tersaji dalam gala dinner perhelatan KTT Ke-43 ASEAN 2023 di Hutan Kota Gelora Bung Karno pada 6 September 2023. Sebagaimana diberitakan, menu seperti kepiting andaliman dari Sumatera Utara, nasi campur nusantara dari Sumatera Barat, rawon Jawa Timur, serta rujak buah Jawa disajikan untuk menjamu para pemimpin ASEAN, negara mitra, organisasi internasional, dan tamu undangan.
Kesan mewah kuliner Indonesia galib terpancar dalam jamuan-jamuan kenegaraan semacam itu. Meski demikian, pada realitas keseharian masyarakat, kekayaan kuliner yang diagungkan itu kontras dengan tren industri kuliner yang kebanyakan justru tidak berakar pada kuliner tradisi.
Hal itu diperparah pula dengan kerawanan pangan yang dihadapi masyarakat. Apa pengaruh kedua hal ini terhadap kontinuitas kekayaan tradisi kuliner Indonesia?
Perlu sekali ditekankan bahwa hubungan pangan dengan kuliner sebagai identitas dari tradisi lokal masyarakat sangatlah erat. Pangan lokal adalah denyut nadi dari kebutuhan pokok konsumsi sehari-hari masyarakat.
Dari pangan lokal terbentuk aneka jenis makanan tradisional yang menjadi ciri budaya masyarakat. Kristbergsson dan Oliveira dalam Traditional Foods: General and Consumer Aspects; Integrating Food Science and Engineering Knowledge into the Food Chain (2016) menyatakan bahwa makanan tradisional berakar pada alam dan memiliki preseden sejarah di dalamnya.
Kontekstual dengan kuliner Indonesia, perpaduan antara alam dan sejarah telah menghasilkan kekayaan yang melimpah. Jika dibentangkan dari kepulauan di barat hingga timur, ada ribuan jenis kuliner telah melekat menjadi identitas budaya dari ratusan suku bangsa.
Banyak jenis makanan dan minuman khas setiap suku bangsa dibuat dari bahan pangan lokal yang tersedia di lingkungan alamnya, antara lain telah diolah oleh para leluhur sejak berabad lampau. Berbagai nama makanan dan minuman tertulis pada prasasti dan naskah kuno karya para empu. Kekayaan pangan lokal hingga tradisi boga juga dapat kita lihat buktinya dari pahatan para seniman di dinding-dinding candi peninggalan masa Hindu-Buddha.
Meski demikian, pada realitas keseharian masyarakat, kekayaan kuliner yang diagungkan itu kontras dengan tren industri kuliner yang kebanyakan justru tidak berakar pada kuliner tradisi.
Kekayaan tradisi kuliner Indonesia sebenarnya mulai memudar citranya pada dekade 1970-an hingga puncaknya pada 1990-an. Berbagai faktor saling berhubungan, mulai dari masifnya alih fungsi lahan pangan, gagalnya pembangunan desa sebagai lumbung pangan lokal, hingga derasnya laju industri makanan instan dan cepat saji.
Pada masa lalu, budaya makan dapat berubah secara perlahan karena masuknya pengaruh budaya kuliner asing. Pengaruh ini berupa seni memasak serta produk-produk makanan dan minuman yang diterima melalui proses asimilasi dan akulturasi.
Namun, pada masa modern, budaya makan bisa berubah begitu cepat karena penyebaran berbagai produk konsumsi massa yang dibuat secara massal oleh industri makanan dan minuman instan serta cepat saji. Tanpa disadari, hal itu mengubah selera masyarakat. Perlahan, berbagai jenis makanan dan minuman lokal warisan para leluhur terlupakan.
Hal ini menyuarakan pemikiran sosiolog George Ritzer dalam The McDonaldization of Society (1993) yang menerangkan hilangnya keanekaragaman makanan khas daerah dan etnik di Amerika Serikat akibat ekspansi produk makanan instan dan cepat saji. Menurut Ritzer, berbagai jenis produk makanan yang dibuat dengan teknik pengolahan dan pengemasan canggih telah memungkinkan kita mengabaikan perbedaan budaya makan banyak daerah.
Di Indonesia, kekhawatiran akan redupnya kekayaan kuliner lokal terlihat ketika, pada 1994, Soeharto meluncurkan paket kebijakan program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan pangan. Salah satunya adalah pengembangan makanan tradisional melalui Gerakan Memasyarakatkan Aku Cinta Makanan Indonesia (Gema ACMI).
Pada 1995-1996, Gema ACMI mengadakan pelatihan bagi 200 anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di 27 provinsi serta pelatihan bagi 100 guru sekolah dasar dan menengah dalam upayanya mengembangkan makanan tradisional.
Program yang digemakan pemerintah Orde Baru itu tidak berjalan langgeng setelah memasuki masa reformasi. Penyebabnya bukan karena berakhirnya kekuasaan rezim Soeharto, melainkan lebih disebabkan program itu berjalan tanpa diimbangi strategi pangan yang jitu serta antisipasi ketat terhadap berbagai inovasi industri makanan oleh pemerintah demi memproteksi kelestarian kekayaan tradisi kuliner Indonesia.
Perlu strategi
Sejak 1998, industri kuliner di Indonesia berkembang pesat. Berbagai inovasi kuliner baru terus bermunculan dan saling bersaing. Pada sisi lain, pemerintah dan para pegiat kuliner terus berupaya mengangkat derajat kuliner Indonesia. Namun, mirisnya krisis pangan terus menjadi isu yang menghantui kehidupan masyarakat.
Ditambah lagi, konsumsi masyarakat terhadap produk makanan pabrikan sudah tidak mampu lagi dikendalikan dan malah makin menjauhkan mereka dari tradisi kuliner lokal. Kondisi itu semua tanpa disadari telah menggerus kekayaan kuliner Indonesia.
Kekayaan kuliner Indonesia yang selama ini diagungkan memang suatu keniscayaan sejarah. Akan tetapi, tanpa disertai strategi edukasi kuliner lokal secara terpadu bagi masyarakat dengan penguatan sektor pangan dan industri, kuliner yang selama ini dianggap kaya pada masanya akan menjadi maya.
Jangan sampai kekayaan tradisi kuliner hanya dapat dinikmati di gala dinner kenegaraan, sedangkan masyarakat kelak hanya dapat ”menikmati” di galeri-galeri museum boga tanpa pernah mereguk kelezatan boga warisan leluhur.
Fadly RahmanPengajar Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran