Menjaga Teknologi Nuklir dan Antariksa bagi Kemanusiaan
Meski sudah ada Perjanjian Nuklir dan Traktat Antariksa, tanpa ada batas yurisdiksi dan klaim kedaulatan oleh sebuah negara, perang yang terjadi di dan dari luar angkasa akan setara dengan perang dunia.
Oleh
AD AGUNG SULISTYO
·3 menit baca
Pengembangan teknologi nuklir dan luar angkasa bagi kepentingan militer telah memasuki babak yang mengkhawatirkan, dengan risiko yang lebih nyata dan mendesak. Instrumen internasional belum berdaya membentuk aturan, tata kelola, dan sistem terbaik bagi kepentingan pembangunan dan kemanusiaan. Menafikan kondisi ini sama dengan membiarkan ”gajah sama gajah bertarung, dan matilah pelanduk di tengah-tengah”.
Selain perlucutan dan nonproliferasi senjata nuklir, pilar utama dari Nuclear Nonproliferation Treaty (Perjanjian Nuklir) tahun 1968 adalah penggunaan bahan nuklir untuk tujuan damai. Namun, sulit untuk meyakini bagaimana pengembangan teknologi nuklir dapat dipakai untuk perdamaian dunia. Sejarah menunjukkan sebaliknya, bahwa sejak 1945 nuklir telah memicu berbagai konflik yang mengerikan.
Sulit pula memastikan negara-negara pemilik teknologi nuklir akan bertahan pada komitmen untuk tidak mengembangkan senjata nuklir dalam segala aspek. Konferensi Peninjauan Para Pihak dalam Traktat Nonproliferasi Senjata Nuklir dari tahun 2005 hingga 2022 yang mengkaji Perjanjian Nuklir telah menemukan banyak ketimpangan, terutama ketidakadilan yang dirasakan oleh negara-negara yang belum memiliki teknologi tersebut.
Perjanjian Nuklir belum berhasil menjadi hukum yang kuat dalam rangka mencegah para pihak mengembangkan teknologi nuklir bagi kepentingan militer. Kesepakatan antarnegara anggota PBB itu belum berlaku secara universal. Masih terdapat negara yang tidak bergabung ataupun mengundurkan diri dari perjanjian. Selain itu, tidak ada penalti ataupun sanksi tegas bagi negara yang terus menyimpan cadangan atau melakukan pengayaan uranium yang melebihi batas penggunaan sipil.
Terdapat keterkelindanan antara isu nuklir dan isu yang kini kian santer bersama perang Ukraina, yakni peperangan antariksa. Provokasi yang kian memanas di antara kekuatan antariksa utama sudah berada pada tingkat meresahkan. Tanpa adanya batas yurisdiksi dan klaim kedaulatan oleh sebuah negara, perang yang terjadi di dan dari luar angkasa akan setara dengan perang dunia.
Sebenarnya, dengan mempertahankan prinsip common heritage of mankind, Traktat Antariksa tahun 1967 bermaksud untuk tidak membatasi pengembangan teknologi yang dapat dinikmati oleh semua bangsa. Namun, traktat ini belum dapat menjadi pegangan dalam tata kelola antariksa yang berkelanjutan. Pada saat yang sama, rezim hukum ini tidak mencegah berkembangnya teknologi militer di luar angkasa.
Perlu dipahami bahwa outer space tidak memiliki definisi yang jelas. Pada 1960-an hingga 1970-an, kata ini diterapkan secara tergesa-gesa, di mana sebagian besar tujuannya adalah untuk mencegah Amerika Serikat dan Uni Soviet membawa perlombaan senjata nuklir mereka ke antariksa.
Sayangnya, sejak penandatanganan Perjanjian Bulan pada 1979, belum ada lagi perjanjian lain yang mengikat secara hukum. Karena itu, hingga kini kerangka hukum internasional yang ada tidak cukup memadai bagi pencegahan perlombaan senjata di antariksa.
Sayangnya, sejak penandatanganan Perjanjian Bulan pada 1979, belum ada lagi perjanjian lain yang mengikat secara hukum.
Meskipun negara-negara penjelajah antariksa utama turut menyerukan pembatasan dan pencegahan penempatan senjata di antariksa, ini seperti strategi pedagang yang ingin menguasai ceruk pasar. Setelah berhasil mendominasi, kemudian mengontrolnya agar tidak muncul pesaing. Hal ini tidak jauh berbeda dengan strategi negara-negara yang telah lebih dahulu mengembangkan teknologi nuklir bagi kepentingan pertahanan negaranya.
Peluang memanfaatkan ruang di luar angkasa masih didominasi oleh negara-negara yang lebih dahulu mampu membangun dan meluncurkan pesawat ataupun obyek lain secara mandiri ke antariksa (spacefaring nations). Pada saat kondisi ketimpangan ini ingin dikontrol, masyarakat internasional terjebak dan tak berdaya dengan hegemoni kekuatan antariksa utama.
Kepentingan tersembunyi di balik tujuan damai yang tertuang dalam Traktat Antariksa adalah contoh standar ganda negara-negara yang memiliki kemajuan teknologi, yang juga merupakan negara pemrakarsa traktat tersebut. Hal ini tidak sepenuhnya mengejutkan karena sejak awal pun pengembangan teknologi antariksa berkaitan dengan pengembangan kekuatan militer.
Kelemahan perjanjian internasional, terutama dalam aspek vertikal, semakin dirasakan oleh negara berkembang. Perhatian utamanya adalah bagaimana negara berkembang dapat memiliki kesempatan yang sama dalam mengembangkan dan memanfaatkan teknologi-teknologi tersebut. Bagaimana menjaga agar teknologi terkait nuklir dan antariksa tidak dimanfaatkan sebagai sumber daya perang, melainkan dapat berguna bagi kepentingan umat manusia?
Norma perilaku kolektif sukarela dan kesadaran akan teknologi bagi tujuan damai akan membantu mengurangi risiko eskalasi yang tidak diinginkan. Tanpa mengabaikan kemungkinan yang ada, segala tindakan harus berhubungan dengan kebutuhan pembangunan mendasar bagi semua bangsa dan umat manusia.
Untuk itu, masyarakat internasional perlu mendorong lebih kuat munculnya standar dan praktik terbaik dalam pendekatan berbasis aturan. Dibutuhkan instrumen yang mengikat secara hukum dan berlaku bagi semua negara dan sektor privat. Prinsip-prinsip dalam hukum humaniter dan hak asasi manusia dapat menjadi pedoman perilaku dan konsideran instrumen internasional tersebut.
Bagi Indonesia, terlaksananya komitmen internasional dalam pemanfaatan teknologi bagi kepentingan bersama dan tujuan damai merupakan kesempatan untuk mengatasi ketertinggalan. Dengan berperan aktif dalam promosi pencegahan militerisasi dan perlombaan senjata berteknologi nuklir, baik di bumi maupun luar angkasa, Indonesia pun dapat kembali membuktikan dan memantapkan diri sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok.