Memahami Kritik Joseph Stiglitz dalam Konteks Indonesia
Dalam pandangan Stiglitz, perhatian terhadap pertumbuhan ketidaksetaraan dan munculnya otoritarianisme beberapa tahun terakhir menjadi isu penting. Relevansi pandangan Stiglitz untuk Indonesia tidak dapat diabaikan.
Joseph Stiglitz, seorang ekonom berpengaruh yang telah meraih penghargaan Nobel, menarik perhatian dunia dengan analisisnya terhadap kapitalisme neoliberal dalam artikel ”Inequality and Democracy” di Project Syndicate, 31 Agustus 2023.
Melalui pandangannya yang kritis, Stiglitz menghadirkan gambaran yang mempertanyakan dampak dari praktik kapitalisme tanpa kendali terhadap ketidaksetaraan yang kian muncul.
Meski analisis ini terutama bersifat global, relevansi pandangan Stiglitz untuk Indonesia tidak dapat diabaikan. Sebagai negara dengan sejarah panjang dalam konteks kapitalisme, terutama melalui pengaruh kolonialisme VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), Indonesia memiliki landasan historis yang memungkinkan untuk memahami dan merespons pandangan Stiglitz.
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan lebih lanjut pandangan Stiglitz dalam konteks Indonesia, menjelaskan kaitannya dengan sejarah ekonomi Indonesia, serta mengeksplorasi solusi potensial untuk mencapai ekonomi yang lebih inklusif di masa depan.
Pesan utama ”ketidaksetaraan dan demokrasi”
Dalam pandangan Stiglitz, perhatian terhadap pertumbuhan ketidaksetaraan dan munculnya otoritarianisme dalam beberapa tahun terakhir menjadi isu yang mendalam.
Figur seperti Viktor Orban di Hongaria dan mantan Presiden AS Donald Trump merupakan contoh otoriter yang semakin banyak muncul. Terlepas dari janji mereka melindungi rakyat, tindakan mereka cenderung lebih mendukung elite berkuasa dan mengabaikan nilai-nilai demokrasi yang telah ada.
Salah satu akar permasalahan yang menonjol adalah meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi, yang menjadi hasil dari dominasi kapitalisme neoliberal modern.
Ketidaksetaraan dalam aspek ekonomi ini turut berkontribusi pada ketidaksetaraan politik, terutama di negara-negara seperti AS, di mana sumbangan finansial dalam kampanye politik mengubah prinsip ”satu orang, satu suara” menjadi ”satu dollar, satu suara”.
Ketidaksetaraan ekonomi yang semakin besar ini semakin diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang memperkuat kesenjangan tersebut. Dominasi media oleh perusahaan swasta yang dimiliki oleh kelompok berkuasa cenderung memperbesar kesenjangan ini.
Media sosial, yang dikuasai oleh orang-orang kaya, menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan informasi yang tidak akurat atau menyesatkan.
Melalui pandangannya yang kritis, Stiglitz menghadirkan gambaran yang mempertanyakan dampak dari praktik kapitalisme tanpa kendali terhadap ketidaksetaraan yang kian muncul.
Dalam konteks kapitalisme tanpa aturan yang jelas, pertanyaan muncul: apakah kita boleh mengkritisi akumulasi kekayaan yang berlebihan? Kekhawatiran bahwa demokrasi telah melahirkan ketidaksetaraan yang signifikan telah mengikis kepercayaan terhadap demokrasi itu sendiri.
Diskusi ini mencerminkan pertanyaan lama mengenai sejauh mana demokrasi dapat bertahan di tengah ketidaksetaraan yang merajalela. Namun, perdebatan ini berlangsung dalam dunia di mana kelompok berkekuatan memiliki kemampuan untuk membentuk pandangan nasional dan global.
Dampak dari situasi ini adalah meningkatnya polarisasi yang menghambat fungsi demokrasi. Polaritas yang berlebihan ini mengancam stabilitas demokrasi dan membuka peluang bagi munculnya paham otoritarian. Keadaan ini mencerminkan kerentanan ekonomi dan politik yang muncul dari ketidaksetaraan ekstrem.
Sejarah AS sebagai model demokrasi berlandaskan nilai-nilai kebebasan semakin terancam oleh kesenjangan ekonomi dan politik yang tidak terkendali. Situasi ini menjadi pelajaran bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Refleksi bagi Indonesia
Dalam menyikapi pandangan Stiglitz dan konteks ekonomi Indonesia, sangat penting melihat kembali sejarah ekonomi Indonesia dan hubungannya dengan kapitalisme.
Salah satu titik awal dalam sejarah ekonomi Indonesia adalah kehadiran VOC, perusahaan multinasional pertama di dunia, yang mendominasi perdagangan dan perekonomian Indonesia pada masa kolonial.
Praktik eksploitasi sumber daya alam (SDA), dominasi pasar, dan kendali atas kebijakan ekonomi oleh VOC menjadi cikal bakal dari apa yang oleh Stiglitz disebut sebagai kapitalisme neoliberal.
Fakta bahwa kekayaan ekonomi dapat memengaruhi kuatnya pengaruh politik juga tecermin dalam sejarah Indonesia, di mana dominasi ekonomi asing selama era kolonial mengakibatkan hilangnya kedaulatan dan pengambilan kebijakan.
Stiglitz menyoroti bagaimana ketidaksetaraan ekonomi berkontribusi pada ketidaksetaraan politik.
Refleksi atas era kolonial di Indonesia menghadirkan gambaran serupa, di mana kesenjangan ekonomi yang tajam antara penguasa kolonial dan masyarakat pribumi berkontribusi pada pengambilan keputusan yang tak mengakomodasi kepentingan rakyat lokal.
Meski begitu, sejarah juga menunjukkan bahwa Indonesia mampu bangkit dan membangun kembali ekonominya setelah era kolonial, dengan mengadopsi model yang sesuai karakter dan identitas nasional.
Stiglitz secara tajam mengkritik model kapitalisme neoliberal yang menekankan deregulasi, privatisasi, dan pasar bebas tanpa intervensi. Baginya, jenis kapitalisme ini mengarah pada ketidaksetaraan yang merajalela, di mana sekelompok kecil individu atau korporasi memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang dominan.
Stiglitz menunjukkan bahwa hal ini membahayakan fondasi demokrasi dan merusak ketahanan ekonomi suatu negara. Pemikiran Stiglitz ini memiliki relevansi dengan konteks Indonesia mengingat bahwa kapitalisme neoliberal sering kali menghasilkan eksploitasi SDA, pergeseran ekonomi tradisional, dan peningkatan ketidaksetaraan ekonomi.
Namun, Indonesia juga memiliki landasan ideologis yang kuat melalui Pancasila, dasar ideologi nasional yang menegaskan prinsip-prinsip seperti ”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Prinsip ini sejalan dengan upaya untuk mengurangi ketidaksetaraan ekonomi dan mendorong pemerataan kesempatan dan kesejahteraan bagi semua warga.
Dalam pandangan ini, Pancasila memainkan peran yang serupa dengan pandangan Stiglitz tentang perlunya melawan ketidaksetaraan ekonomi dan politik yang merusak.
Selain Pancasila, Indonesia juga memiliki potensi dalam prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Dengan mayoritas penduduk yang menganut Islam, prinsip-prinsip seperti keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan masyarakat memiliki relevansi yang kuat. Konsep seperti zakat, wakaf, dan riba dalam ekonomi Islam menawarkan alternatif bagi model kapitalisme yang cenderung merugikan sebagian besar populasi.
Pemikiran Stiglitz ini memiliki relevansi dengan konteks Indonesia mengingat bahwa kapitalisme neoliberal sering kali menghasilkan eksploitasi SDA, pergeseran ekonomi tradisional, dan peningkatan ketidaksetaraan ekonomi.
Menghadapi masa depan
Dalam sintesis pandangan Joseph Stiglitz dan refleksi terhadap sejarah ekonomi Indonesia, terlihat dengan jelas bahwa solusi atas problematika ketidaksetaraan ekonomi memerlukan pendekatan holistik.
Integrasi antara prinsip- prinsip dasar Pancasila, potensi ekonomi Islam, dan kritik terhadap kapitalisme neoliberal memiliki potensi untuk membentuk dasar yang kokoh bagi pengembangan struktur ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, serta adil.
Sudut pandang Joseph Stiglitz terhadap hubungan antara ketidaksetaraan ekonomi dan politik memiliki dampak yang signifikan bagi Indonesia.
Kekhawatiran yang serupa muncul dalam konteks Indonesia, di mana ketidaksetaraan telah muncul sebagai konsekuensi dari proses demokratisasi yang cenderung diarahkan oleh kekuatan kapital.
Solusi yang diusulkan adalah perbaikan simultan terhadap dimensi ekonomi dan politik, dengan cara menguatkan institusi sebagai prasyarat mutlak untuk menghindari eksploitasi kapitalistik yang merugikan kepentingan publik, sambil melindungi demokrasi dari ancaman yang sama.
Dalam perjalanan menuju Visi Indonesia 2045, penting sekali untuk melakukan penguatan terhadap institusi sebagai landasan kuat bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Melalui peningkatan supremasi hukum, pembangunan demokrasi substantif, serta peningkatan kualitas pelayanan publik, Indonesia akan memiliki fondasi yang kokoh untuk merangkul pembangunan inklusif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat.
Dalam arena geopolitik, penguatan peran kepemimpinan regional dan global menjadi imperatif, dengan tujuan mempertahankan kepentingan nasional dan memberikan kontribusi aktif dalam kerja sama internasional.
Dengan menerapkan langkah-langkah strategis tersebut, Indonesia dapat mengarahkan diri untuk menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan masyarakat yang lebih sejahtera.
Secara keseluruhan, melalui pemahaman terhadap sejarah ekonomi Indonesia dan pengintegrasian prinsip-prinsip ideologis, seperti Pancasila dan ekonomi Islam, Indonesia memiliki peluang untuk menangani ketidaksetaraan dan membentuk fondasi ekonomi yang lebih inklusif dan adil.
Dengan merencanakan masa depan yang berlandaskan pada prinsip pemerataan dan keadilan, Indonesia dapat menghindari dampak negatif yang timbul akibat disparitas ekonomi dan membangun masyarakat yang lebih sejahtera .
Baca juga : Pancasila Bisa Jadi Dasar Etika Penggunaan Kecerdasan Buatan
Rahmat Mulyana Indef Associate dan Dosen IAI Tazkia