Literasi fungsional dalam bahasa Inggris masyarakat Indonesia sangat terbatas. Untuk memacu kecepatan peningkatan kemampuan iptek masyarakat, perlu mengindonesiakan literatur iptek secara masif.
Oleh
BRAMANTYO DJOHANPUTRO
·4 menit baca
Mana lebih cepat untuk meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) masyarakat Indonesia: memacu generasi muda belajar bahasa Inggris untuk mampu belajar iptek atau mengindonesiakan seluruh iptek untuk dipelajari masyarakat Indonesia?
Mantan atasan sekaligus mentor saya yang kini lebih banyak tinggal di Amerika Serikat bercerita tentang observasinya. Dan, menurut saya valid. Beberapa negara Asia yang kini maju berhasil menjadikan pengetahuan dari negara barat ke dalam negeri mereka masing-masing dengan menggunakan bahasa masing-masing. China menerjemahkan semua ilmu dari negeri Barat ke dalam bahasa Mandarin. Demikian juga dengan Jepang. Mereka sudah lakukan itu di masa lalu.
Ambillah China sebagai contoh. Pada masa Mao Zedong, hanya sedikit masyarakat China yang memiliki kemampuan literasi fungsional, yaitu kemampuan membaca, menulis, dan menghitung yang terkait dengan ketrampilan hidup. Orang dengan literasi fungsional yang baik memiliki kapasitas, kompetensi, dan keterampilan praktik untuk bekerja dan melakukan suatu pekerjaan atau karya.
Karena kondisi tersebut, Mao Zedong menerapkan dua pendekatan. Pertama, menyederhanakan bahasa Mandarin, seperti penulisan huruf Mandarin sehingga lebih mudah digunakan. Bahasa Mandarin hasil penyederhanaan kemudian digunakan sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan. Kedua, menerjemahkan litertur-literatur iptek dari sejumlah bahasa asing ke dalam bahasa Mandarin.
Hasilnya pun paling tidak ada dua hal. Pertama, seluruh masyarakat China menjadi melek literasi fungsional. Mereka memiliki kemampuan membaca dan bisa menjalankan atau mengaplikasikan apa yang dibaca serta kemampuan menuangkan iptek ke dalam litertur baru atau teknologi tepat guna. Kedua, penyerapan iptek bisa berjalan cepat dan bisa dipelajari oleh seluruh masyarakat China sampai ke pelosok. Dampaknya, perkembangan iptek menjadi begitu cepat.
Tentu keberhasilan tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mao Zedong butuh waktu sekitar 30 tahun, satu generasi, untuk merasakan hasilnya. Butuh energi dan daya tahan yang prima, baik pemimpin maupun masyarakatnya, untuk tekun menunggu sampai mencapai hasil.
Saat ini produk-produk China menggunakan bahasa Mandarin, misalnya dalam hal manual produk. Tidak harus menggunakan bahasa Inggris. Banyak produk China yang unggul pada tataran dunia. Karena begitu pesatnya perkembangan produk-produk China dan perkembangan tersebut diakui dunia, masyarakat dunia sekarang merasa perlu untuk belajar bahasa Mandari dan belajar ke negeri China.
Mengajarkan iptek
Sekarang mari berkaca ke Indonesia. Secara sederhana, tentu jauh lebih mudah dan lebih murah mengajarkan iptek ke seluruh masyarakat Indonesia, terutama generasi mudanya, dalam bahasa Indonesia. Ini karena semua lapisan masyarakat Indonesia menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
Kondisi sebaliknya tidak berlaku. Mengajarkan iptek kepada generasi muda Indonesia dalam bahasa Inggris dan menggunakan buku-buku teks bahasa Inggris jauh lebih kecil tingkat keberhasilannya. Hal ini karena masyarakat Indonesia yang memiliki literasi fungsional dalam bahasa Inggris sangat terbatas.
Mengajarkan iptek kepada generasi muda Indonesia dalam bahasa Inggris dan menggunakan buku-buku teks bahasa Inggris jauh lebih kecil tingkat keberhasilannya.
Usaha untuk membangun literasi bahasa Inggris ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia sangat mahal. Perlu guru dan dosen bahasa Inggris yang banyak, literatur bahasa Inggris yang banyak. Selain itu, bahasa juga akan menjadi berguna dan dikuasai apabila dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang sulit untuk kemampuan bahasa Inggris berkembang secara masif di Indonesia sampai ke pelosok karena tidak ada tuntutan menggunakan bahasa Inggris setiap hari. Akibatnya, sulit mengharapkan masyarakat Indonesia memiliki literasi fungsional bahasa Inggris.
Hanya sekelompok kecil masyarakat kaum elite, anak-anak kota, atau mereka yang tinggal di wilayah yang banyak berinteraksi dengan orang asing yang memiliki potensi literasi fungsional bahasa Inggris yang tinggi. Di luar kelompok mereka, jangan diharapkan.
Mengacu ke hal-hal di atas, ada beberapa poin yang perlu dipertimbangkan untuk memacu kecepatan peningkatan kemampuan iptek masyarakat Indonesia. Pertama, mengindonesiakan literatur iptek secara masif. Ini bisa terjadi apabila pengindonesiaan literatur iptek menjadi gerakan nasional yang dimotori oleh Kemendikbudristek, lembaga-lembaga riset, dan didukung industri.
Kemendikbudristek bisa menjadi sentra gerakan pengindonesiaan iptek. Para dosen, khususnya yang berpendidikan doktor, dari setiap disiplin ilmu diminta mengusulkan literatur-literatur utama di tiap disiplin ilmu untuk diterjemahkan ke dalam bahas Indonesia. Literatur yang dipilih bisa dipersempit atau diprioritaskan untuk bidang STEM-science, technology, engineering, mathematics.
Kemendikbudristek dapat mengalokasikan anggaran penterjemahan untuk memberi insentif bagi tim penterjemah tiap litertur. Apabila satu buku membutuhkan waktu tiga bulan untuk penterjemahan, dengan total doktor sekitar 30.000, akan ada sekitar 120.000 judul buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam setahun.
Penyebaran buku-buku tersebut akan menjadi masif dan murah apabila Kemendikbudristek membeli hak penyebaran dari para penerjemah. Kementerian dapat menyebar buku dalam bentuk softcopy sehingga bisa dinikmati oleh siapa saja di seluruh Indonesia. Selain itu, setiap orang juga dibebaskan mencetak buku tersebut untuk keperluan belajar mereka.
Setiap doktor bidang STEM juga didorong menulis buku-buku ajar atau buku referensi dengan hak penyebaran oleh Kemendikbudristek sehingga penyebaran bisa dilakukan secara masif juga serta membebaskan setiap orang Indonesia menggandakan dan menggunakannya untuk pembelajaran. Langkah ini lebih berat, terutama bagi para penulis, tetapi lebih murah dibanding menerjemahkan karena tidak perlu membayar royalti ke pemilik hak cipta buku asing, yang berarti juga terjadi aliran devisa keluar.
Selain buku, jumlah orang berpendidikan tinggi, minimum tingkat master, untuk bidang STEM juga perlu mendapat priorotas. Ini didorong melalui pembukaan program studi baru di dalam negeri ataupun pemberian beasiswa kepada anak-anak unggul untuk mengenyam pendidikan di kampus-kampus ternama di seluruh pelosok dunia.
Kalau gerakan ini diintensifkan, dengan dibarengi peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru dan dosen, perkembangan pengetahuan iptek bisa dipercepat dan dalam tempo 20 tahun ke depan saat kita menjelang memasuki perayaan 100 tahun Indonesia. Kita bisa bebangga sebagai negara besar dengan iptek yang maju.