Tantangan Pengembangan Iptek Menuju Indonesia Maju
Penguatan peran iptek membutuhkan komitmen jangka panjang dengan alokasi sumber daya yang memadai. Tanpa dukungan kelembagaan iptek yang baik, masalah darurat yang dihadapi Indonesia akan sulit untuk diselesaikan.
Oleh
MAXENSIUS TRI SAMBODO
·4 menit baca
Posisi Indonesia yang dapat bertahan beberapa bulan dalam kategori negara berpendapatan menengah atas (upper middle) ternyata harus kembali turun peringkat karena pandemi Covid-19. Hal ini hendaknya menyadarkan para pengambil kebijakan bahwa fundamen pembangunan ekonomi masih rentan.
Pada sisi lain, kita meyakini ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah modal dasar untuk membangun ketangguhan ekonomi. Bahkan, banyak negara mendasarkan ciri pembangunannya dalam basis ilmu pengetahuan (knowledge based economy).
Sementara itu, posisi Indonesia saat ini tampaknya belum selesai dengan bongkar pasang kelembagaan iptek. Bahkan, hingga saat ini, banyak peneliti yang sebelumnya tergabung di dalam empat lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), yaitu LIPI, BPPT, Lapan, dan Batan, menghadapi ketidakjelasan akibat peleburan dalam wadah organisasi yang baru, yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Demikian juga beberapa pihak melakukan upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materi dalam menafsirkan kata integrasi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 48 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sinas Iptek).
Konsolidasi BRIN dalam mendukung tujuan pembangunan akan memerlukan waktu yang tidak pendek. Rekonfigurasi program, anggaran, infrastruktur, dan sumber daya manusia dari empat lembaga yang secara ”DNA” berbeda bukan tidak mungkin akan terjadi bias yang kian menjauh dari upaya optimalisasi peran iptek. Terlebih, dalam konstruksi politik yang lemah akan mekanisme check and balance yang substantif (Nugroho, Kompas, 8/12/2021), dapat dipastikan orientasi pengembangan iptek akan semakin pragmatis.
Empat titik darurat
Pada sisi lain, penguatan peran iptek membutuhkan komitmen jangka panjang dengan alokasi sumber daya yang memadai. Tanpa dukungan kelembagaan iptek yang baik, penulis menemukan empat titik darurat yang dihadapi Indonesia akan sulit untuk diselesaikan, bahkan dapat membuat Indonesia terjebak dalam posisi negara berpendapatan menengah (middle income trap). Keempat titik darurat ini kait-mengait dan penguatan elemen yang satu akan berdampak positif pada eleman lainnya.
Pertama, ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada ekstraksi sumber daya alam, dengan sentuhan teknologi yang minimal. Laporan terkait Kondisi Ketergantungan Komoditas (State of Commodity Dependence) yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2021 memperlihatkan peran ekspor komoditas Indonesia terhadap total ekspor barang sekitar 55,6 persen atau tidak jauh dari batas atas (60 persen) negara yang dikelompokkan sebagai ketergantungan pada ekspor komoditas. Dalam laporan tersebut tampak bahwa ekspor berbasis komoditas pertanian dan bahan bakar merupakan yang paling besar.
Pada sisi lain, ekspor produk manufaktur yang masuk dalam kategori teknologi tinggi (high technology) perannya baru mencapai 5,5 persen terhadap total ekspor barang. Kondisi ini berbeda jauh dengan Thailand dan Vietnam yang masing-masing mampu mencapai 19 persen dan 38 persen.
Tentu saja posisi Indonesia yang masih bergantung pada sumber daya alam dan tertinggal pada penciptaan nilai tambah yang lebih tinggi karena posisi Indonesia dalam Indeks Inovasi (Global Innovation Index) juga jauh tertinggal dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Peringkat Indonesia berada dalam urutan ke-85 dari 129 negara di dunia.
Kedua, perlu ada perubahan cara pandang dalam pemanfaatan sumber daya mulai dari tingkat hulu. Misalkan, jika Uni Eropa tidak akan menerima produk yang lahannya berasal dari deforestasi setelah 31 Desember 2020, maka potensi ekspor sawit Indonesia akan terdampak (Kompas, 8/12/2021). Tentu perhatian pasar global akan produk-produk yang ramah lingkungan juga terjadi untuk berbasis kayu dan rotan. Untuk mendapatkan peluang pasar global yang baik dan lebih menguntungkan, maka sertifikasi material bahan baku, misalnya yang dikeluarkan oleh Forest Stewardship Council (SFC), Business Social Compliance Initiative (BSCI), dan World Fair Trade Organization (WFTO), menjadi suatu keharusan.
Meski demikian, belum banyak pelaku usaha di Indonesia yang memiliki sertifikat tersebut. Hal ini karena ketidaktahuan, biaya pengurusan yang tidak murah, dan juga belum menjadi kebutuhan.
Lembaga penelitian dapat berkontribusi untuk menciptakan material-material baru yang lebih ramah lingkungan dan teknologi yang mampu memanfaatkan limbah produksi dan mendorong produktivitas.
Tentu saja asosiasi dan pemerintah perlu bekerja sama untuk memastikan pelaku usaha dapat semakin berdaya saing di pasar global. Dalam konteks ini, lembaga penelitian dapat berkontribusi untuk menciptakan material-material baru yang lebih ramah lingkungan dan teknologi yang mampu memanfaatkan limbah produksi dan mendorong produktivitas.
Lembaga penelitian dapat berkontribusi untuk menciptakan material-material baru yang lebih ramah lingkungan dan teknologi yang mampu memanfaatkan limbah produksi dan mendorong produktivitas.
Ketiga, menjadikan iptek sebagai pengungkit produktivitas di sektor pangan dan energi. Ketergantungan impor Indonesia atas kedua komoditas ini masih cukup tinggi, padahal Indonesia memiliki potensi sumber daya yang cukup besar. Pangan dan energi menjadi komoditas strategis yang menentukan kondisi ketahanan ekonomi makro, industri, sosial, dan lingkungan. Peranan iptek bagi penguatan kedua sektor tersebut tidak hanya pada ranah peningkatan produksi, tetapi yang lebih penting juga dalam koridor mendukung pembangunan rendah karbon.
Keempat, iptek perlu menjadi lokomotif bagi peningkatan pendapatan yang dapat menyisir kelompok aspiring middle class, yaitu pekerja yang tidak miskin dan juga tidak rentan menjadi miskin, tetapi tingkat pendapatannya dan kondisi konsumsinya belum stabil untuk masuk dalam kategori pendapatan menengah. Menurut Bank Dunia dalam Laporan Pathways to Middle-Class Jobs in Indonesia, hal ini terjadi karena produktivitas yang rendah. Dalam konteks ini, maka iptek perlu lebih proaktif dalam melayani kebutuhan teknologi di usaha kecil, menengah, dan koperasi dengan lebih berkesinambungan.
Maxensius Tri Sambodo, Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)