Indikator yang digunakan untuk menilai indeks demokrasi Indonesia perlu disempurnakan berdasarkan indikator demokrasi Pancasila, yaitu berdasarkan prinsip-prinsip filosofis demokrasi Pancasila.
Oleh
GANJAR RAZUNI
·4 menit baca
Bangsa Indonesia terus berupaya meningkatkan kualitas demokrasinya. Hal ini terlihat dalam dinamika politik menjelang Pemilihan Presiden 2024. Perjuangan dari berbagai kekuatan politik tidak hanya bersifat elektoral, tetapi juga menentukan peningkatan kualitas demokrasi kita.
Kualitas demokrasi masih bersifat dinamis. Oleh dunia internasional, kualitas demokrasi kita dinilai cacat (flawed democracy) menurut Indeks Demokrasi Global 2022 oleh Economist Intelligence Unit (EIU). Sama dengan skor pada 2021, EIU menempatkan demokrasi Indonesia dalam skor 6,71. Meskipun memiliki skor sama, peringkat dunia demokrasi Indonesia turun dari urutan ke-52 pada 2021 menjadi ke-54 pada 2022.
Mengapa demokrasi Indonesia disebut cacat? Menurut EIU, karena efektivitas pemerintah hasil pemilihan umum kurang berhasil menciptakan kesejahteraan rakyat. Pada saat bersamaan, kebebasan sipil juga belum dinikmati secara maksimal oleh masyarakat.
Tepatkah penilaian EIU tersebut? Benarkah demokrasi kita bersifat cacat? Tentu kita menghargai penilaian EIU sebagai penilaian dunia internasional. Penghargaan tersebut kita lakukan demi introspeksi agar kualitas demokrasi kita tidak benar-benar cacat. Akan tetapi, sebuah penilaian tentu berangkat dari perspektif dan teori tertentu. Bisa saja sebuah perspektif memiliki kelemahan akibat teorinya yang lemah.
Kelemahan ini juga menghinggapi parameter yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam merumuskan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Dalam konteks kebebasan sipil, misalnya, IDI 2022 menurun menjadi 80,63, dari IDI 2021 yang mencapai 84,00.
Hanya saja, menurut hemat penulis, IDI memiliki kelemahan konseptual karena menggunakan teori demokrasi liberal dalam menentukan indikator demokrasinya. Dalam kerangka IDI, indikator demokrasi hanya dinilai dari kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kelembagaan demokrasi. Dalam konteks teori demokrasi, indikator ini bersifat minimalis (a minimalist conception of democracy).
Berbagai kritik terhadap parameter, baik oleh EIU maupun IDI, bisa dilakukan berdasarkan idealitas konsepsi demokrasi khas Indonesia, yakni demokrasi Pancasila. Persoalannya, apakah yang dimaksud dengan demokrasi Pancasila?
Prinsip filosofis
Dalam wacana politik, bahkan pada level akademik, demokrasi Pancasila sering diidentikkan dengan demokrasi era Orde Baru. Biasanya demokrasi Pancasila yang khas Orde Baru dibedakan dengan demokrasi era Orde Lama, yakni demokrasi terpimpin. Model demokrasi terpimpin sering dinilai tidak demokratis.
Persoalannya, perumusan model demokrasi Pancasila berdasarkan rezim politik tidak tepat karena tidak bersifat konseptual. Artinya, tidak berangkat dari konsep atau prinsip-prinsip filosofis Pancasila itu sendiri. Konsep demokrasi Pancasila berdasarkan prinsip filosofis Pancasila itulah yang dirumuskan oleh tulisan ini.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, berbagai hal tentang Pancasila mesti kita dasarkan pada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Sebab, pidato itu bukan bersifat seremonial, melainkan konseptual. Ini berarti, pemikiran Pancasila Bung Karno pada 1 Juni 1945 merupakan akar konseptual untuk memahami prinsip-prinsip filosofis Pancasila.
Perumusan model demokrasi Pancasila berdasarkan rezim politik tidak tepat karena tidak bersifat konseptual.
Dalam hal ini terdapat beberapa prinsip filosofis dari demokrasi Pancasila yang dicetuskan Bung Karno. Pertama, demokrasi adalah sistem politik terbaik yang mampu menguatkan Indonesia sebagai negara nasional, satu untuk semua. Karena negara nasional adalah negara yang dibangun untuk semua golongan, demokrasi lalu menjadi sistem politik yang memastikan semua golongan berhak terlibat dalam negara.
Kedua, demokrasi adalah sistem politik yang menjadi saluran ideologis, termasuk bagi kelompok yang memperjuangkan ideologi non-Pancasila. Dalam konteks pidato 1 Juni, demokrasi diarahkan oleh Bung Karno kepada kelompok Islam. Artinya, Bung Karno memberikan jaminan kepada kelompok Islam bahwa meskipun negara Pancasila bukan negara Islam, kelompok Islam tetap bisa memperjuangkan aspirasi Islam melalui demokrasi.
Ketiga, demokrasi dilakukan melalui metode musyawarah untuk mencapai mufakat. Pada pidato 1 Juni, Bung Karno menekankan prinsip mufakat sebagai nilai utama dari usulan sila demokrasinya. Mufakat atau konsensus menjadi produk dari demokrasi, menandai kemampuan aktor-aktor demokrasi dalam menggunakan rasionalitas publik demi kebaikan publik (res publica), bukan kepentingan kelompok.
Keempat, demokrasi tidak hanya memenuhi hak-hak politik, tetapi juga hak sosial-ekonomi. Itulah yang membuat Bung Karno menambahkan sila kesejahteraan sosial (sociale rechtvaardigheid) sebagai nilai yang imanen dalam demokrasi. Bagi Bung Karno, demokrasi politik adalah anak kandung kapitalisme karena tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat kecil.
Kelima, demokrasi Pancasila adalah demokrasi berlandaskan ketuhanan (teo-demokrasi), di mana kedaulatan rakyat merupakan upaya menghadirkan kedaulatan Tuhan. Tentu nilai ketuhanan yang telah dimaknai oleh nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan dalam Pancasila. Dalam konteks ini, demokrasi Pancasila tidak bisa dibenturkan dengan agama karena ia tidak menganut sekularisme, tetapi justru teisme dalam politik.
Berbagai prinsip filosofis inilah yang menjadi isi dari demokrasi Pancasila. Hal ini yang membuat Roeslan Abdulgani (1964), misalnya, menyebut demokrasi Pancasila sebagai ”demokrasi material”, bukan ”demokrasi formal”. Yang dimaksud dengan ”demokrasi material” adalah demokrasi yang berisi materi Pancasila, bukan demokrasi yang menyediakan diri sebagai bentuk (prosedur) dari demokrasi elektoral.
Indikator Pancasila
Prinsip-prinsip filosofis dari demokrasi Pancasila menurut Bung Karno ini baiknya digunakan dalam menilai kualitas demokrasi kita. Dalam hal ini, baik indikator yang digunakan oleh EIU maupun IDI perlu disempurnakan berdasarkan indikator demokrasi Pancasila dalam beberapa hal.
Pertama, demokrasi tidak hanya berisi pemenuhan hak sipil dan politik, tetapi juga hak sosial-ekonomi. Dengan demikian, indikator yang dinilai bukan hanya kebebasan dalam demokrasi, baik kebebasan sipil maupun politik, melainkan sejauh mana kebebasan itu berdampak pada kesejahteraan rakyat.
Indikator hak sosial-ekonomi ini pula yang perlu kita gunakan dalam pemilu, baik legislatif maupun pilpres. Ketidakmampuan kita dalam menjadikan pemenuhan hak sosial-ekonomi sebagai indikator dalam pemilu akan terus menjebak kita dalam siklus apa yang Max Weber (1921) sebut sebagai ”demokrasi kaisaris”. Dalam siklus ini, kita hanya memilih pergantian kaisar atau raja ke raja.
Kedua, mekanisme demokrasi tidak hanya terbatas pada lembaga-lembaga formal demokrasi, tetapi harus diperluas juga ke dalam aktivasi ruang publik dalam rangka demokrasi deliberatif (deliberative democracy). Inilah makna terpenting dari konsep demokrasi permusyawaratan dalam Pancasila.
Dalam konteks pemilu, proses demokrasi akan mengalami pendalaman (deepening democracy) jika lembaga-lembaga formal demokrasi telah bersinergi dengan kekuatan masyarakat sipil dalam proses deliberasi publik. Dalam konteks ini, modal berpolitik bukan sebatas logika-taktis elektoral, melainkan nalar publik (public reason) demi kepentingan publik. Berdasarkan nalar publik, yang dalam istilah Pancasila disebut ”hikmat kebijaksanaan” inilah kita sebaiknya memilih pemimpin, termasuk presiden mendatang.
Persoalannya, berbagai indikator demokrasi Pancasila ini akan sulit terwujud. Sebab, sejak berlakunya Undang-Undang Dasar NRI 2002 pasca-amendemen 1999-2002, sadar atau tidak, secara substansial telah terbangun Negara Demokrasi Liberal Republik Indonesia. Inilah problem fundamental penegakan nilai-nilai demokrasi Pancasila ke depan.