Melempangkan Jalan Demokrasi
Tanpa bermaksud mengecilkan arti kiprah dan sepak terjang para elite politik, ada satu hal yang absen dari hiruk-pikuk politik mutakhir di negeri ini: politik nilai dan politik makna bagi perubahan Indonesia lebih baik.
Mendekati tahun politik 2024, partai-partai sudah mulai ”memanaskan” mesin politiknya. Berbagai penjajakan koalisi dilakukan.
Konsolidasi antar-elite partai dalam rangka memaksimalkan peluang pemenangan pemilu juga telah diintensifkan. Hari-hari ini panggung politik diwarnai tingginya mobilitas elite partai, baik vertikal maupun horizontal. Tentu saja, tujuan mobilitas semacam ini hanya satu: memaksimalkan peluang perolehan suara setinggi-tingginya dalam pemilu mendatang.
Untuk memperkuat basis koalisi, sejumlah elite parpol menginisiasi pendirian sekretariat bersama hingga daerah. Apa pun namanya, sekretariat bersama bertujuan menjaga konsistensi ikatan koalisi hingga di tingkat akar rumput. Bagaimanapun, koalisi parpol selama ini sering kali bersifat sporadis, temporer, dan tanpa basis nilai yang kuat.
Akibatnya, koalisi antarparpol lebih banyak menjadi the hub of political crowd. Yakni, lokus berkumpulnya para tokoh dari sejumlah parpol berbeda yang tidak didasari basis nilai yang kuat, tetapi mereka diikat oleh kepentingan dan agenda politik elektoral yang sama.
Baca juga : Catatan dari Hasil Survei "Kompas"
Dalam perspektif politik demokrasi, berbagai ikhtiar para elite di atas panggung politik merupakan fenomena yang lumrah dan, karena itu, sah belaka. Namun, tanpa bermaksud mengecilkan arti kiprah dan sepak terjang mereka, ada satu hal yang absen dari hiruk-pikuk politik mutakhir di negeri ini: politik nilai dan politik makna bagi perubahan Indonesia lebih baik.
Dalam konteks inilah, menyiangi gulma, duri, batu kerikil, dan segala macam rintangan yang dapat menghambat lempangnya jalan demokrasi menjadi agenda penting yang perlu dikonsolidasikan bersama. Jangan sampai riuh rendah dan gegap gempita politik harian menjadi disinvestasi dan involusi, bukan investasi bagi masa depan demokrasi kita.
”Perang kecil” vs ”perang besar”
Kiprah dan sepak terjang para elite partai akan bernilai investasi bagi perbaikan demokrasi jika mereka tidak terjebak ke dalam apa yang disebut oleh HG Wells (1913) sebagai ”perang kecil” (little war). Hal ini terjadi manakala serangkaian mobilitas vertikal-horizontal elite bangsa berhenti pada strategi pemenangan gelaran politik elektoral lima tahunan.
Sayangnya, ”perang kecil” ini sering kali diperlakukan sebagai tujuan akhir dari kiprah politik para elite. Mereka alpa terhadap upaya membangun sesuatu yang jauh lebih besar dan bermakna bagi perbaikan kualitas politik demokrasi di negeri ini. Inilah ”perang besar” atau ”pertempuran besar” (great battle) yang akhir-akhir ini nyaris absen dari panggung politik bangsa. Dalam bahasa agama disebut ”jihad akbar.”
Dalam perang kecil, ideologi yang berlaku adalah (meraih) kemenangan. Apa pun cara yang ditempuh tidaklah penting sepanjang hasil akhirnya adalah kemenangan. Termasuk dalam konteks ini adalah eksploitasi politik identitas yang terbukti mengoyak harmoni sosial dan membelah masyarakat. Artinya, politik menjadi arena pertarungan jarak dekat yang penuh dengan aksi tipu daya, taktik kotor, dan segala macam jurus low politics yang mereduksi nilai-nilai luhur keadaban dan kemanusiaan.
Tak mengherankan jika yang muncul dari perang kecil adalah politik kebencian, fragmentasi, dan disharmoni sosial.
Secara generik, pertempuran besar dalam konteks politik demokrasi kita adalah upaya membumikan nilai-nilai luhur Pancasila dan mewujudkan cita-cita NKRI sebagaimana termaktub dalam UUD 1945: 1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum; 3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Cita-cita luhur politik demokrasi inilah yang semestinya menjadi visi politik seluruh elemen bangsa. Bukan sekadar memenangi ”perang kecil” setiap lima tahunan (baca: pemilu).
Secara lebih spesifik, perang kecil yang dilakukan secara rutin harus diarahkan untuk mengatasi berbagai persoalan mendasar yang tengah mendera bangsa ini, seperti meningkatkan kapasitas daya saing bangsa, menggempur rasio gini dan kesenjangan ekonomi, masalah gizi buruk, teker, kesehatan, kemiskinan, dan pengangguran. Idealnya, proses politik elektoral berkorelasi terhadap penyelesaian berbagai persoalan bangsa. Namun, yang terjadi sering kali sebaliknya: proses elektoral hanya menahbiskan para elite terpilih.
Artinya, politik menjadi arena pertarungan jarak dekat yang penuh dengan aksi tipu daya, taktik kotor, dan segala macam jurus low politics yang mereduksi nilai-nilai luhur keadaban dan kemanusiaan.
Akuntabilitas demokrasi
Salah satu strategi terpenting dalam rangka melempangkan jalan demokrasi adalah dengan menguatkan akuntabilitas demokrasi. Inilah yang menjadi keprihatinan terbesar bagi bangsa ini.
Keprihatinan yang sama juga dilontarkan oleh Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia, dalam sambutannya di CT Corp Leadership Forum, Senin (9/1/2023). Kata Anwar, ”Kita ini riuh rendah, hiruk pikuk soal demokrasi, tetapi tidak accountability. Demokrasi itu tidak bisa ditentukan kewajarannya, kehebatannya, semata-mata dalam pemilu. Tetapi, relevance-nya kepada kita atas pertimbangan akhlak, moral, dan ethics mesti tentang accountability.”
Akuntabilitas demokrasi melingkupi dua hal: 1) proses politik elektoral dan 2) pendayagunaan atau utilitas demokrasi pasca-pemilihan.
Pada proses politik elektoral, makna akuntabilitas ditentukan oleh sejauh mana proses dan mekanisme demokrasi dipastikan berjalan di atas prinsip-prinsip yang dapat dipercaya, amanah, dan dipertanggungjawabkan. Pada aspek utilitas demokrasi, makna akuntabilitas ditentukan oleh maksimalisasi pemanfaatan atau pendayagunaan demokrasi bagi pemenuhan aspirasi para pemilih (Mark Philp, ”Delimiting Democratic Accountability”, Political Studies, 2009).
Sebagian ilmuwan politik mendefinisikan akuntabilitas dalam perspektif teori principal-agent, yakni dengan melihat persoalan akuntabilitas dalam konteks tingkat kepatuhan para pihak terpilih terhadap janji-janji politiknya selama kampanye. Pemerintah bisa dikatakan akuntabel jika warga pemilih merasa puas terhadap kinerja mereka dalam menjalankan pelayanan publik dengan baik. Sebaliknya, warga pemilih dapat memberikan sanksi kepada mereka yang tak performed dengan cara mencabut mandat di setiap proses politik elektoral (Przeworski et al, Democracy, Accountability, and Representation, 1999).
Pembusukan demokrasi
Pernyataan Anwar itu juga sangat relevan bagi upaya pendewasaan dan pematangan demokrasi di republik ini yang masih diwarnai dengan berbagai macam pembusukan di sana-sini, seperti korupsi, politik uang, dan jual-beli suara (vote-buying).
Fenomena pembusukan demokrasi semacam ini diprediksi akan tetap mewarnai tahun politik mendatang. Jika kita tak bisa melepaskan diri dari pembusukan demokrasi semacam ini, dapat dipastikan jalan ke arah demokrasi penuh (full-fledged democracy) akan semakin terjal dan berliku.
Indikasi menggejalanya politik uang pada pemilu mendatang tampaknya bukan isapan jempol belaka. Penambahan jumlah uang yang begitu fantastis (selain anggaran resmi pemilu) menjadi dasar kecurigaan kita akan menguatnya kembali praktik politik uang yang dapat menggerus akuntabilitas demokrasi kita.
Fenomena pembusukan demokrasi semacam ini diprediksi akan tetap mewarnai tahun politik mendatang.
Menurut informasi Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putera Rinaldy, terdapat injeksi peredaran uang selama 2023 sebesar Rp 118,9 triliun hingga Rp 270,3 triliun sebagai bagian dari bantuan sosial dan berbagai bentuk ”biaya politik” menjelang pemilu. Sebuah bilangan yang teramat fantastis!
Dalam perspektif demokrasi, praktik politik uang dan berbagai derivasinya jelas dapat merusak dan menggerus tingkat akuntabilitas demokrasi di negeri ini. Dalam UU No 10/2016 Pasal 73 telah diatur tentang larangan politik uang dalam pemilu. Dalam Pasal 73 ditegaskan, (1) calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Siapa saja yang terlibat politik uang, seperti tim kampanye, anggota parpol, relawan, atau pihak lain, dikenai sanksi pidana berupa penjara dan denda sejumlah uang.
Selain praktik politik uang, jual beli suara selama penghitungan hasil pemilu juga merupakan ancaman lain yang dapat menggerus akuntabilitas demokrasi kita. Di negeri ini, praktik jual beli suara sudah lama menggejala di setiap gelaran pemilu (Burhanuddin Muhtadi, Vote Buying in Indonesia, 2019). Di sinilah dibutuhkan komitmen bersama untuk melakukan pengawasan yang jauh lebih ketat tentang berbagai bentuk penyimpangan selama pemilu berlangsung, terutama peredaran politik uang.
Selain itu, pengawasan terhadap berbagai kebijakan politik oleh para petahana, terutama dalam bentuk penyaluran bantuan sosial, juga perlu diperketat oleh pihak pengawas, baik internal maupun eksternal.
Alhasil, tidak ada pilihan lain untuk melempangkan jalan demokrasi kita kecuali memperlakukan proses politik elektoral lima tahunan (pemilu) sebagai ”perang kecil” dari sebuah ”perang besar” yang sesungguhnya. Yakni, pertempuran untuk membumikan cita-cita bersama pendirian NKRI; memperbaiki kualitas kehidupan bangsa yang lebih baik, berkeadilan, dan berkeadaban; serta menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit bangsa ini.
Selain itu, pembenahan demokrasi juga bisa dilakukan melalui penguatan akuntabilitasnya berbasis nilai-nilai etis dan moral agar tak terjadi pengeroposan dan pembusukan demokrasi dari dalam.
Masdar Hilmy Guru Besar Ilmu Sosial dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel