Permasalahan perumahan tak hanya di perkotaan. Di perdesaan, tingkat kepemilikan rumah memang lebih tinggi, tetapi secara kualitas lebih rendah di bandingkan di perkotaan.
Oleh
ABD HAKIM
·4 menit baca
Ada tiga kebutuhan pokok manusia dalam menjalani hidupnya, yaitu sandang, pangan, dan papan. Boleh jadi sebagian besar orang setuju bahwa untuk menjalani kehidupan yang aman dan nyaman, kita harus memenuhi ketiga kebutuhan pokok tersebut. Dari ketiga kebutuhan pokok tersebut, kebutuhan akan papan atau rumah merupakan kebutuhan yang relatif lebih sulit dipenuhi.
Kebutuhan hunian di Indonesia sangat besar. Kekurangan rumah mencapai 12,71 juta unit, sedangkan laju pertumbuhan keluarga baru mencapai 700.000-800.000 keluarga per tahun (Kompas, 10/8/2023). Jumlah kebutuhan tersebut belum memperhatikan rumah layak huni atau tidak, yang dapat dilihat dari kualitas rumah dan lingkungan yang sehat.
Salah satu impian besar seseorang adalah memiliki rumah sendiri. Dengan memiliki rumah sendiri, mereka akan lebih tenang dalam membangun keluarga dan mendidik anak. Jika setiap bulan atau tahun harus mengeluarkan uang sewa rumah, tentu akan mengganggu pikiran kita. Seakan-akan uang tersebut menguap begitu saja tanpa ada barang yang dimiliki.
Juga tidak terlalu nyaman jika masih menumpang di rumah orangtua/mertua. Memang sebagian besar orangtua/mertua senang jika anak dan menantunya tinggal bersama mereka. Rumah akan terasa ramai dan hidup, apalagi ditambah kehadiran cucu. Namun, bagi anak/menantu yang ingin hidup mandiri dan lebih bebas, akan lebih baik memiliki rumah sendiri.
Saat ini, dalam kehidupan di masyarakat, kepemilikan rumah masih dijadikan salah satu indikator keberhasilan seseorang. Orang akan dianggap sukses apabila sudah memiliki rumah sendiri, terutama di daerah perkotaan. Semakin hari harga tanah dan rumah terus melonjak sehingga bukan hanya menjadi permasalahan perorangan, melainkan juga pemerintah.
Memang capaian kepemilikan rumah sendiri relatif tinggi. Berdasarkan data BPS, pada 2022 terdapat 83,99 persen rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri. Selebihnya menempati rumah sewa/kontrak, rumah dinas, bebas sewa, atau menumpang.
Namun, seiring dengan kebutuhan rumah yang terus meningkat dengan harga yang tinggi, permasalahan perumahan di Indonesia patut menjadi perhatian, terutama daerah perkotaan. Dengan lahan yang semakin sempit, sementara pertumbuhan keluarga terus meningkat, tingkat kekurangan (backlog) rumah di perkotaan pun cukup tinggi.
Semakin hari harga tanah dan rumah terus melonjak sehingga bukan hanya menjadi permasalahan perorangan, melainkan juga pemerintah.
Jika dilihat kepemilikan rumah menurut tipe daerah, persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri di daerah perkotaan sebesar 78,31 persen, sedangkan di daerah perdesaan lebih tinggi, yaitu sebesar 91,76 persen. Terdapat selisih 13,45 persen, perbedaan yang cukup signifikan.
Hal tersebut berkaitan dengan migrasi masuk karena daya tarik perkotaan. Orang akan terdorong pindah ke perkotaan karena tertarik dengan pekerjaan dan sekolah. Ketersediaan lapangan pekerjaan di perkotaan lebih banyak dan kualitas sekolah relatif lebih baik. Namun, lahan untuk perumahan terbatas sehingga menjadikan harga rumah semakin mahal.
Kualitas rumah
Kita mungkin sepakat bahwa kualitas rumah dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan pemiliknya. Semakin sejahtera seseorang, akan semakin baik kualitas rumah yang ditempati. Kualitas rumah layak huni dapat dilihat dari kualitas atap, dinding, dan lantai. Selain itu, luas rumah, fasilitas buang air besar (BAB), sumber air minum dan sanitasi layak juga sangat penting.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2022 persentase rumah tangga yang menempati rumah dengan atap, dinding, dan lantai berkualitas baik lumayan tinggi. Hanya 1,08 persen rumah tangga yang menempati rumah dengan atap jerami/lainnya dan 3,54 persen yang berlantai tanah. Adapun rumah dengan dinding bambu/anyaman sebesar 3,83 persen.
Selain itu, luas rumah juga memengaruhi aktivitas penghuninya. Rumah yang sehat minimal memiliki luas lantai 7,2 meter persegi per orang. Biasanya luas rumah berkaitan dengan kondisi ekonomi seseorang. Semakin baik status ekonomi akan semakin luas rumah yang ditempatinya. Rumah tangga yang menempati rumah sempit relatif sedikit, yaitu sebesar 7,14 persen.
Selanjutnya sumber air minum. Kebutuhan terhadap air sangat krusial, terutama air minum layak. Salah satu indikator penting pemenuhan hak asasi manusia atas air adalah persentase rumah tangga yang mempunyai akses terhadap sumber air minum layak. Untuk hidup sehat, tentu kita membutuhkan sumber air minum yang layak dikonsumsi.
Masih berdasarkan data BPS, pada 2022 persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak capaiannya relatif tinggi, yaitu sebesar 91,05 persen. Jika dilihat menurut daerah, 95,51 persen rumah tangga yang tinggal di daerah perkotaan memiliki akses terhadap sumber air minum layak, sedangkan untuk perdesaan lebih rendah, yaitu 84,93 persen.
Berikutnya adalah sanitasi. Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan, antara lain fasilitas tempat BAB, jenis kloset yang digunakan, serta tempat pembuangan akhir tinja. Idealnya setiap rumah tangga memiliki fasilitas tempat buang air besar di rumahnya masing-masing.
Capaian sanitasi layak masyarakat Indonesia relatif baik. Terdapat 81 dari 100 rumah tangga mempunyai akses terhadap sanitasi layak. Namun, capaian untuk daerah perdesaan masih di bawah 80 persen, yaitu 76,99 persen, sedangkan daerah perkotaan sudah mencapai 83,80 persen.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan kondisi perumahan di daerah perkotaan dan perdesaan. Memang tingkat kepemilikan rumah di daerah perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan. Namun, secara kualitas, mereka yang tinggal di daerah perkotaan menempati rumah yang lebih baik daripada mereka yang tinggal di perdesaan. Demikian juga terkait dengan akses sumber air minum layak dan sanitasi layak, daerah perkotaan lebih baik.
Berdasarkan fakta dan data tersebut, dapat menjadi masukan bahwa permasalahan perumahan bukan hanya di daerah perkotaan. Namun, di daerah perdesaan juga banyak permasalahan, terutama terkait rumah sehat yang dapat digambarkan dengan sanitasi layak dan sumber air minum layak.
Pemenuhan rumah layak huni tak lepas dari peran semua pihak. Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus saling bahu-membahu dalam mewujudkan rumah layak huni menuju Indonesia Emas 2045. Selain kualitas rumah yang baik, sumber air minum dan sanitasi layak menjadi penting untuk dipenuhi.
Mari kita lanjutkan kolaborasi wujudkan hunian layak, berkelanjutan, dan terjangkau untuk semua.