Menanti Berakhirnya Perang Rusia-Ukraina
Perang Rusia-Ukraina terus berlangsung, Jutaan orang Ukraina eksodus mencari tempat yang aman. Ribuan warga sipil tewas, termasuk anak-anak menjadi korban. Ada tujuh skenario yang bisa hentikan perang. Apa saja itu ?
Kabar jatuhnya pesawat di wilayah Rusia yang menewaskan pimpinan The Wagner Group, Yevgeni Prigozhin, sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin pada 24 Agustus, seakan menjadi hadiah ulang tahun ke-32 kemerdekaan Ukraina.
Prigozhin dengan tentara bayarannya adalah motor utama perang Rusia di Ukraina yang telah berlangsung lebih dari 18 bulan sejak serangan Rusia ke ibu kota Kyiv, 24 Februari 2022.
Rencana Putin yang ingin menaklukkan Ukraina dalam sepekan menjadi kenyataan buruk yang panjang bagi Rusia. Sebaliknya, bagi Ukraina, berkonfrontasi melawan Rusia dimaklumkan sebagai takdir sejarah sejak abad ke-10, diawali dengan invasi penaklukan Kyiv oleh Pangeran Oleg, pewaris takhta pertama dinasti Kekaisaran Rusia, Ryurik.
Jatuh bangun Kyivan-Rus berlangsung lebih dari sepuluh abad, tidak membuat bangsa Ukraina menyerah hingga merdeka lepas dari Federasi Uni Soviet, 24 Agustus 1991.
Kecaman masyarakat dunia yang cinta damai terhadap agresi Rusia ke wilayah kedaulatan Ukraina tidak menyurutkan Presiden Putin atau membuatnya menarik pasukannya.
Ditekan 141 negara anggota PBB di sidang Majelis Umum PBB tanggal 2 Maret 2022, dan dikeluarkannya Rusia dari keanggotaan Dewan HAM PBB pada 7 April 2022 (93 negara setuju), juga tak membuat Presiden Putin bergeming.
Bahkan, pada 18 Maret 2023, Peradilan Kriminal Internasional (ICC) yang bermarkas di Den Haag, Belanda, menetapkan Putin sebagai penjahat perang. Ia dituduh telah menyebabkan kematian rakyat sipil dan deportasi paksa anak-anak Ukraina ke Rusia.
Konsekuensinya, Putin tidak bisa melakukan perjalanan luar negeri ke negara-negara anggota ICC. Semua itu tidak menghentikan Rusia untuk terus memerangi Ukraina.
Meluasnya perang ke wilayah Rusia ditandai dengan serangan balasan (counter offensive) yang dilakukan Ukraina untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki militer Rusia, seperti Bakhmut, Donets, Kherson, Zhaporozhia, dan Crimea, yang melewati perbatasan Rusia.
Serangan drone Ukraina telah berhasil menembus pertahanan ibu kota Moskwa berkali-kali, meruntuhkan moral kedigdayaan militer Rusia.
Serangan drone Ukraina telah berhasil menembus pertahanan ibu kota Moskwa berkali-kali, meruntuhkan moral kedigdayaan militer Rusia. Pasokan senjata-senjata mutakhir dari Amerika Serikat-NATO, dan negara-negara yang pro- Ukraina, kepada Ukraina belum membuat Rusia berhitung ulang untuk berdamai.
Andalan Rusia adalah tembakan-tembakan misil rudal jarak jauh yang menghancurkan, tetapi rendah akurasi target sasarannya. Akibatnya, lebih banyak menyasar fasilitas sipil dibandingkan dengan target militer.
Dengan bantuan persenjataan senilai 40,4 miliar dollar AS dari AS dan 70 miliar euro dari Uni Eropa, persenjataan yang saat ini dimiliki militer Ukraina jauh lebih modern teknologinya ketimbang persenjataan militer Rusia yang minim bantuan.
Itulah mengapa perang masih terus berlangsung, berakibat lebih dari 7,8 juta orang Ukraina eksodus ke negara-negara Eropa dan sekitarnya mencari tempat yang aman. Ribuan warga sipil tewas, termasuk 200-an anak-anak menjadi korban. Tidak kurang dari 50.000 rumah rusak dan hancur akibat serangan lebih dari 5.000 tembakan misil rudal Rusia.
Dua reaktor listrik energi nuklir Ukraina di Chernobyl dan Zhaporozhia rusak, mengancam radiasi ke sejumlah negara sekitarnya. Tak kurang dari 2.000 anak-anak Ukraina di deportasi paksa ke wilayah Rusia.
Menurut Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley, tidak kurang 40.000 orang sipil Ukraina tewas dan Rusia kehilangan nyawa 100.000 tentaranya dalam pertempuran.
Sanksi ekonomi, tidak dapat dimungkiri, menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian nasional dan pertumbuhan ekonomi Rusia terkoreksi.
Dampak embargo
Di sektor ekonomi, embargo negara-negara di dunia yang dipelopori AS dan Uni Eropa telah dijatuhkan kepada Rusia, dan menyasar pada lebih dari 2.000 individu dan 33 entitas korporasi. Membekukan lembaga keuangan, termasuk Bank Central Rusia, dengan memblokir aset 300 miliar euro.
Menghentikan 90 persen impor barang Rusia ke Eropa, termasuk bahan mineral-energi serta produk-produk konsumen, seiring dengan larangan ekspor ke Rusia sebesar 49 persen, yang di dalamnya berupa barang-barang teknologi, transportasi, industri, militer, navigasi, hingga barang konsumen.
Sanksi ekonomi, tidak dapat dimungkiri, menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian nasional dan pertumbuhan ekonomi Rusia terkoreksi. Mantan pejabat Bank Central Rusia, Alexandra Prokopenko, menyebutkan, ekspor minyak Rusia anjlok 42 persen pada tahun 2023, dan penerimaan minyak akan terkuras dalam 2-3 tahun ke depan.
Inflasi mencapai 17,1 persen, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi negatif 2,5 persen, mengakibatkan penurunan PDB 7,8 persen di akhir tahun 2022. Cadangan devisa Rusia saat ini sebesar 415,6 miliar dollar AS dipastikan akan tergerus dalam beberapa bulan atau tahun mendatang jika perang terus berlangsung.
Terasingnya Rusia dari masyarakat dunia yang menentang perangnya di Ukraina, perlahan tetapi pasti, berdampak negatif terhadap ketahanan ekonomi nasionalnya dan memengaruhi kesejahteraan rakyat Rusia yang semakin menurun.
Stagnasi seluruh sektor pembangunan industri, selain militer, akan berlangsung. Sulit bagi Rusia mengatasi persoalan jangka panjang yang akan dihadapi tanpa dukungan komunitas internasional. China saat ini merupakan satu-satunya negara besar yang menjadi harapan Rusia untuk bisa mengatasi masalahnya.
Namun, China belum sepenuhnya menjadi kekuatan dunia yang utuh untuk dapat diandalkan. China masih perlu waktu untuk memperkuat fondasi dan stabilitas ekonomi internasionalnya. China juga bukan penyokong perang Rusia di Ukraina. Sangat berat bagi Rusia untuk memenangi perang seorang diri.
Di sisi lainnya, bantuan keuangan negara-negara dunia untuk Ukraina terus mengalir dalam bentuk tiga paket bantuan, yaitu kemanusiaan, militer, dan pemulihan ekonomi-rekonstruksi. Ukraina mendapatkan komitmen bantuan dari banyak negara, terutama Uni Eropa, AS, dan negara-negara kaya dunia yang tergabung di G7.
Bantuan sebesar setara Rp 1.182 triliun untuk Ukraina dari Eropa, yang akan ditambah lagi sebesar Rp 827 triliun tahun ini, adalah angka yang fantastis dalam sejarah bantuan luar negeri kepada suatu negara yang sedang berperang. Negara-negara Eropa juga berkomitmen menambah bantuan sebesar 50 miliar euro yang setara Rp 822 triliun untuk rekonstruksi kerusakan akibat perang.
Inflasi Ukraina tembus 30 persen pada akhir 2022. Perekonomiannya anjlok 15 persen dengan pertumbuhan negatif.
Ukraina adalah pemasok hasil industri pertanian: 16 persen jagung, 10 persen gandum, 49 persen bunga matahari, ke pasar dunia, yang devisa ekspornya terpuruk akibat perang. Bagi Ukraina yang berulang kali mengalami masa perih dalam sejarah perjuangannya memisahkan diri dari cengkeraman ”Kekaisaran Rusia”, perang kali ini sepertinya tidak seberat menghadapi peristiwa ”Holodomor” tahun 1932-1933 di bawah rezim Soviet era Stalin dan kurun waktu 1942-1945.
Juga tidak seberat menghadapi pasukan Nazi Jerman di perbatasan barat, Lviv, dan pasukan tentara merah Rusia di perbatasan timur, Kharkiv, sepanjang Perang Dunia II, tahun 1939-1945. Cukup beralasan bagi para pemimpin Ukraina untuk tidak menegosiasikan wilayahnya yang dicaplok Rusia untuk direbut kembali.
Ukraina memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk memenangi perang di wilayahnya, bahkan mampu menyerang ke wilayah lawannya.
Ukraina memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk memenangi perang di wilayahnya, bahkan mampu menyerang ke wilayah lawannya. Dengan mengesampingkan spekulasi penggunaan senjata nuklir, di atas kertas, sangat sulit bagi militer Rusia untuk menguasai wilayah Ukraina.
Realitas hari ini, belum ada tanda-tanda perang Rusia di Ukraina akan berakhir. Bahkan, wilayah perang telah melintasi perbatasan Rusia. Berbagai upaya damai yang digagas Uni Eropa, Turki, Perancis, Arab Saudi , dan China belum mampu menyadarkan Putin untuk menghentikan serangannya.
Di tengah kecaman dunia, Rusia menarik diri dari Black Sea Grain Initiative yang sangat vital bagi ketahanan pangan dunia, khususnya negara-negara Afrika, dan Timur Tengah yang tergantung pada gandum sebagai bahan makanan pokoknya. Rusia menutup jalur pasokan makanan yang melintasi laut hitam dari tiga pelabuhan besar di Ukraina: Odessa, Pivdennyi, dan Chornomorsk.
Akibatnya, jutaan metrik ton gandum tidak bisa dikirim ke negara-negara yang memerlukan, termasuk Indonesia.
Sementara dari sisi Ukraina, perang adalah perlawanan heroik mempertahankan kedaulatan tanah airnya. Rusia telah kehilangan argumentasi logisnya atas perang. Respons dunia adalah keberpihakan yang lebih besar kepada Ukraina.
Tujuh skenario
Menurut hemat penulis, menjawab pertanyaan kapan perang ini berakhir, ada tujuh skenario yang bisa menghentikan perang. Pertama, dalam jangka pendek karena kecerobohan Rusia mendorong NATO terlibat dalam perang ”maximum force” yang tak seimbang, memaksa Rusia keluar tanpa syarat dari wilayah Ukraina.
Kedua, tekanan yang kuat dari China atas dasar kepentingannya dengan AS dan Eropa kepada Rusia untuk berhenti berperang dan kembali berunding dalam Kesepakatan Minks atau kesepakatan OSCE sebelum serangan Rusia ke Ukraina 24 Februari 2022.
Ketiga, kesepakatan pemulihan sanksi-sanksi ekonomi AS dan Uni Eropa terhadap Rusia dengan syarat kembali ke meja perundingan akan menarik Rusia menghentikan perang.
Keempat, ada operasi intelijen yang berhasil membuat presiden Rusia tidak lagi dapat menjalankan kekuasaannya.
Kelima, dalam jangka panjang, kelangkaan amunisi militer dan ketertinggalan teknologi mesin perang Rusia membuat Rusia harus meninggalkan wilayah Ukraina yang didudukinya. Secara bertahap, perang semakin mundur ke perbatasan Rusia, yang akhirnya memaksa Rusia mengandalkan serangan-serangan jarak jauh dari luar wilayah Ukraina, hingga Rusia menghentikan serangannya.
Keenam, dalam jangka panjang, ekonomi Rusia menuju kebangkrutan, memicu kekacauan sosial sebagaimana sejarah perang Rusia di Afghanistan pada 24 Desember 1979-15 Februari 1989, yang berujung pada bubarnya Uni Soviet pada 24 Desember 1990.
Ketujuh, proses peralihan kekuasaan di Kremlin ditandai kejatuhan Putin, digantikan rezim baru yang berlawanan dengan rezim sebelumnya.
Lalu, skenario mana yang paling mungkin terjadi? Tentu kita berharap, skenario yang paling cepat mampu menghentikan perang dalam waktu sesegera mungkin, dengan korban seminimal mungkin.
Baca juga : Pertempuran Laut Hitam Kian Membara, ”Drone” Ukraina Hantam Tanker Rusia
Baca juga : Nasib Wagner Sepeninggal Prigozhin
Yuddy ChrisnandiGuru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional, Dubes RI di Ukraina 2017-2021