Kudeta militer bukan solusi karena menciptakan kediktatoran, kekerasan, dan ketidakadilan baru. Hanya demokrasi serta "rule of law" yang menjadi jalan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kudeta militer berulang kali terjadi di Afrika. Otokrasi yang dominan, primordialisme yang mengakar, serta kemiskinan akut turut memicunya.
Kudeta militer terakhir dialami negara Gabon. Pengambilalihan kekuasaan oleh tentara itu berlangsung pada Rabu (30/8/2023). Sebelumnya, kudeta militer terjadi di Niger, 26 Juli 2023. Upaya merebut kekuasaan dengan moncong senapan tak ubahnya ”penyakit menular” karena negara-negara di sekeliling Niger juga didera kudeta. Sejak 2020, negara tetangga Niger—Burkina Faso, Mali, serta Guinea—mengalami lima kudeta (”Not Another Coup as Usual: What to Know About Niger’s Crisis”, The New York Times, 7 Agustus 2023).
Dalam rentang waktu lebih lama, yakni 10 tahun terakhir, rangkaian kudeta militer terus terjadi di Afrika. Ada kudeta yang menjungkalkan Presiden Mesir Mohammed Morsi pada 2013 dan penggulingan Robert Mugabe dari Zimbabwe pada 2017. Ada pula tiga kudeta pada 2012, 2020, dan 2021 di Mali. Tak ketinggalan kudeta militer di Sudan pada 2021 yang mengakhiri kekuasaan Presiden Omar al-Bashir. Kudeta-kudeta ini baru sebagian dari upaya perebutan kekuasaan oleh tentara selama satu dekade terakhir di Afrika (Enoch Ndem Okon, ”Why Military Coups are Back in Africa”, Brazilian Journal of African Studies, Desember 2022).
Apa penyebab kudeta? Ada berbagai faktor yang ikut memicunya. Okon (2022) tak menampik struktur kolonialisme yang ditinggalkan penjajah turut berkontribusi. Struktur menindas dan mengisap peninggalan kolonialisme masih kokoh dalam pemerintahan serta birokrasi negara-negara Afrika. Situasi ini menciptakan kemiskinan, ketidakadilan, ketidakpuasan sosial, serta kemarahan. Sementara itu, pada saat yang sama, institusi demokrasi tak berfungsi dengan baik dalam menyalurkan aspirasi perubahan. Akibatnya, kudeta atau pergantian kekuasaan dengan kekuatan militer dipandang sebagai cara untuk mengubah keadaan tersebut.
Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty juga menekankan struktur mengisap dan menindas yang ditinggalkan kolonialisme ikut menyebabkan kemiskinan serta korupsi di Amerika Latin. Bukan kebetulan kiranya, kudeta militer pernah berkali-kali terjadi di kawasan ini.
Karakteristik lain Afrika yang membuat benua itu didera kudeta militer ialah kemunculan orang-orang kuat setelah kemerdekaan, karena ada tuntutan untuk menekan habis-habisan primordialisme atau kesukuan yang begitu dominan di tengah masyarakat Afrika. Celakanya, setelah berkuasa, mereka enggan membangun institusi demokrasi dan malah memperkuat kekuasaannya secara personal. Hal ini berujung pada perlawanan berupa kudeta militer.
Kudeta militer jelas bukan solusi karena menciptakan kediktatoran, kekerasan, dan ketidakadilan baru. Hanya demokrasi, kebebasan berpendapat dan berorganisasi, akuntabilitas, serta rule of law yang menjadi jalan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.