Selama lebih dari satu dekade terakhir, partisipasi perempuan dalam dunia kerja tidak pernah bertambah. Diperlukan intervensi yang lebih inovatif.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan, partisipasi perempuan di dunia kerja berkisar pada angka 50 persen. Itu pun 65,35 persen di antaranya berada di sektor informal.
Ada hambatan kultural yang membuat partisipasi perempuan belum optimal, seperti diakui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam acara Empowering Equality: Advancing Care Economics and Social Protection (Kompas, 29/8/2023).
Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2024 sebesar 5,2 persen. Sejumlah ekonom menyebut, untuk menjadi negara kaya, pertumbuhan kita harus di atas 7 persen per tahun. Cara utama mendorong pertumbuhan ekonomi ialah meningkatkan produktivitas. Salah satunya, meningkatkan partisipasi perempuan tenaga kerja di sektor formal.
Pada tahun 2012, McKinsey Global Institute (MGI) dalam laporannya, ”The Archilepago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential” menyebut, Indonesia memerlukan 113 juta tenaga kerja terdidik apabila ingin masuk sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketujuh dunia pada 2030. Potensi ekonomi kita 1,8 triliun dollar AS atau Rp 27.000 triliun dengan kurs Rp 15.000 per dollar. Saat ini besar ekonomi kita atas dasar harga berlaku menurut BPS adalah Rp 5.226,7 triliun.
Mendorong lebih banyak perempuan memasuki dunia kerja formal dengan produktivitas tinggi, utamanya sektor manufaktur, diyakini akan meningkatkan produktivitas nasional. Untuk itu, hambatan terbesar, yaitu pengaruh budaya, perlu diarahkan untuk mendukung perempuan memasuki dunia kerja.
Pemerintah perlu masuk lebih dalam, melakukan rekayasa sosial guna mengubah budaya patriarki yang masih diyakini sebagian besar masyarakat. Budaya patriarki melihat peran utama perempuan adalah pengasuhan di rumah tangga. Perempuan yang bekerja untuk mendapat penghasilan atau masuk ke sektor formal dianggap bisa menyaingi pasangan dan mengganggu harmoni rumah tangga.
Fakta lain, produktivitas sektor informal lebih rendah, kurang memberi perlindungan hukum, dan kerap mendiskriminasi pekerja. MGI mencatat, pada 2018, kesenjangan pendapatan antara pekerja perempuan dan laki-laki di sektor informal 36 persen, sementara di sektor formal 20 persen.
Pemerintah sudah membuat aturan mendukung perempuan bekerja di sektor formal, antara lain pengadaan fasilitas penitipan anak di tempat kerja, tetapi perlu implementasi lebih nyata.
Beberapa aturan dapat dibuat pemerintah, seperti insentif bagi dunia usaha untuk membuat kondisi tempat kerja lebih fleksibel, memberi suami cuti untuk ikut mengurus anak yang baru lahir, serta kampanye masyarakat untuk mengubah pandangan mengenai perempuan bekerja. Perempuan juga memerlukan perlindungan hukum agar memiliki hak sama dengan laki-laki atas aset produktif tanah, harta waris, dan akses pada kredit.